Kekerasan Dalam Beragama Menjadi Gumpalan Rigid
Keanekaragaman ummat beragama termasuk didalamnya umat Islam dalam memahami dan menginterpretasi sumber-sumber ajarannya dari kitab sucinya
Oleh: Dr. A. Rifai Abun M.Hum.MH
Dosen Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang
Keanekaragaman ummat beragama termasuk didalamnya umat Islam dalam memahami dan menginterpretasi sumber-sumber ajarannya yang berasal dari kitab sucinya.
Termasuk di dalamnya umat Islam, adalah sebuah keniscayaan.
Hasil dari pemahaman/interpertasi yang beranekaragam tersebut, tentunya akan berimplikasi pada tataran aktualisasi di tengah kehidupan masyarakat.
Persoalan itu semakin menjadi krusial manakala disikapi dengan sikaf eksklusif yang tentu saja akan menimbulkan keresahan.
Lebih-lebih di tengah kehidupan masyarakat yang pluralis dan majemuk seperti halnya di Indonesia ini.
Dalam kaitan ini, paling tidak ada dua kecenderungan ummat Islam dalam memahami ajaran agamanya, yaitu “substantif” dan “literalis”.
Substantif adalah memahami ajaran agama melalui pemahaman yang tidak terlalu mengedepankan makna yang ditunjukkan dari teks-teks secara literalis.
Sedangkan literalis adalah memahami ajaran agama melalui pemahaman yang ditunjukkan dari teks-teks secara lahir.
Dengan demikian, seringkali tidak mementingkan esensi jika bertentangan dengan makna literal yang dikandungnya.
Ketika pemahaman terhadap konsep-konsep ajaran agama khususnya Islam dengan menggunakan pendekatan literalis kemungkinan besar akan melahirkan pemahaman yang sempit.
Sehingga, memunculkan sikap arogansi yang diikuti dengan sikap pemaksaan yang kemudian mengklaim dirinya sebagai satu-satunya kebenaran.
Polarisasi berpikir dan sikap semacam ini pada waktunya nanti akan menjadi bom waktu dan meledak lalu melahirkan paham radikalisme yang penuh dengan nuansa “kekerasan”.
Jika dicermati lebih jauh, banyak teks yang terdapat dalam ajaran agama tersebut menawarkan pemahaman yang bersifat terbuka.
Hal ini dapat dilihat dari tafsir Al Qur’an tematik oleh Departemen Agama.
Umpamnya: larangan menghina keyakinan dan simbol agama lain.
Islam melarang umatnya untuk menghina simbol dan Tuhan Agama lain (Al An’an 108). Larangan memaksa keyakinan dalam menganut Agama.
Karena Allah menghendaki setiap orang merasakan kedamaian.
Sedangkan paksaan adalah tindakan yang salah (Al Baqoroh: 256).
Kemudian penghormatan Islam terhadap agama lain.
Agama selain Islam, juga harus mendapatkan penghormatan yang sama dari komunitas muslim.
Karena toleransi beragama akan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat manakala ada saling menghormati khususnya terhadap keyakinan agama (Al Haj:40).
Akan tetapi ayat-ayat tersebut bisa saja menjadi eksklusif, tertutup dan bahkan kaku karena dipengaruhi oleh subjektifitas penafsir.
Apalagi kemudian berkembang menjadi sebuah konsumsi komunitas dan gerakan kelompok tertentu.
Pemaknaan yang kaku dan rigid tersebut justru menambah deratan kekeringan atas makna dan hikmah dari sebuah teks yang bersangkutan.
Salah satu konsep ajaran Islam yang sering digunakan terutama oleh sebagian komunitas umat Islam adalah persoalan “amar ma’ruf nahi munkar”.
Ini yang merupakan salah satu perintah Allah --menjadi trend ketika sebagai komunitas umtat Islam tersebut melakukan berbagai kritik terhadap kebijakan pemerintah, dan terhadap penyakit masyarakat seperti halnya kemaksiatan dalam berbagai bentuknya, yang mereka anggap sudah keluar dari ketentuan agama.
Dengan melihat sepak terjang sebagian komunitas umat beragama tersebut selama ini, dalam menyuarakan “nahi munkar” nampaknya sedikit berlebihan.
Sehingga, memunculkan stigma bahwa Islam didakwahkan dengan “kekerasan”.
Padahal tidak demikian, Qur’an mengajarkan dan mengajak kepada manusia dengan sikap bi al-hikmah dan al-mauizati al-hasanah (nasehat yang arif, bak dan bijak).
Dalam melakukan aksinya, komunitas sebagian umat Islam tersebut selalu menggunakan simbol sebagai perjuangan jihad di jalan Allah.
Semangat inilah yang kemudian menguatkan mereka untuk melakukan tindakan kekerasan. Arogansi tidak mau mengikuti aturan pemerintah seperti terjadi baru-baru ini.
Dan mereka berkeinginan untuk meninggal dalam keadaan demikian (jihad).
Sementara mereka lupa untuk memperhatikan kehidupan/nafkah keluarga.
Padahal perhatian mereka terhadap keluarga juga merupakan jihad.
Wajah agama akhir-akhir ini seperti bergerak turun drastis, dari yang awalnya sebagai “perekat bangsa”, turun ke arah “pemecah bangsa”.
Ke-agamaan yang di awal-awal kemerdekaan menjadi lem (perekat) berubah menjadi pedang.
Agama, sebagai kumpulan doktrin yang mendamaikan berubah menjadi ajaran kekerasan.
Agama, sebuah kupulan teks yang membebaskan bermetamorfosis menjadi gumpalan yang rigid.
Lebih jauh pada tataran praksis mereka yang berbeda agama selalu dianggap kafir, sesat, dan harus diperangi.
Mengapa sebagaian dari kaum agamawan selalu terjebak dalam peraşaan benar, terutama dalam perilaku bergama.
Salah satu jawabannya karena mereka merasa agama berasal dari Tuhan.
Satu wilayah yang sakral.
Wilayah yang tidak berdosa yang tidak terjangkau oleh pikiran manusia.
Wilayah romantik yang diwarisi pertama dari moyangnya.
Wilayah sesungguhnya mengajak manusia memuntahkan darah, lewat perang suci/jihad.
Agama warisan semacam ini kemudian memproduk tafsir agama pinggiran yang menjauhi kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan.
Secara kultural historis, embrio munculnya sikap-sikap semacam itu atau sebut saja benih radikalisme Islam (jihad) berawal dari pengikut khalifah Ali bin Abi Thalib yang membangkang hingga memutuskan keluar dari barisan Ali.
Dan kolompok ini kemudian dikenal dengan sebutan “khawarij”.
Doktrin khawarij sangat kaku dan keras, diantaranya: “siapa yang tidak berhukum dengan hukum Tuhan, maka dia dikategorikan sebagai kelompok kafir”.
Khalifah Ali-pun mereka anggap kafir, karena pemikiran dan sikap keagamaan Ali sudah tidak sesuai lagi dengan khawarij, yang akhirnya terjadi pembunuhan terhadap diri Ali.
Agama rendah kemudian mentradisikan tafsir dan aktualisasi absolut yang skriptual, kepatuhan dan ketundukan pada pemimpin agama, seperti yang juga tengah terjadi sekarang ini.
Keberagamaan semacam ini telah melahirkan corak beragama menjadi religius-aristoktaris.
Merendahkan dan menyalahkan kepercayaan lain.
Supaya keagamaan semacam ini semakin kuat, mereka membangun dan merapatkan barisan dengan corak kepercayaan monolitik yang sesat.
Paham keagamaan semacam ini juga selalu memagari dirinya terhadap ajaran atau faham yang datang dari laur dengan jargon “minna wa minhum”, dari kami yang benar dan dari mereka yang salah.
Di lain pihak fenomena kemunculan agama rendah yang mengikat – bersifat radikalisme/revolusioner, dan memperkuat pecahnya suatu bangsa adalah sebuah fenomena yang lumrah.
Gerakan seperti ini selalu menjadi bagian terpenting dari “social moment”, dan protes sosial.
Ia mendorong identitas tertentu untuk memberontak ketika gagasan; pembagian sumber daya alam yang tidak merata, ekonomi yang tidak stabil --pembagian politik kekuasaan yang tidak merata dan tidak jelas, lapangan kerja yang terbatas dan bertambah panjangnya deretaran pengangguran, penegakkan hukum yang tebang pilih dan lainnya.
Sehingga, komunitas ini bertindak dengan menggunakan dalil-dalil agama terhadap munculnya berbagai ketimpangan dan ketidak sesuaian tersebut.
Ke depan tentu saja, perlu diluruskan guna menghindari citra negatif terhadap Islam tentang istilah “jihad”.
Sebab, perjuangan yang didasarkan pada emosi apalagi balas dendam, seungguhnya hal itu tidak dapat dikatakan jihad yang sesungguhnya.
Karena perjuangan yang mereka lakukan saat ini khususnya penuh dengan nuansa memperturutkan hawa nafsunya untuk membinasakan, menjegal, membunuh karaketer seseorang.
Padahal, jihad sesungguhnya dan yang paling besar menurut salah satu hadist adalah “jihadunnafsu”, jihad melawan hawa nafsu.
Mengatasi problem di atas, dapat dilakukan dengan cara memperdalam pemahaman agama yang benar.
Karena sebagian dari umat Islam seringkali mengambil teladan Rasulullah SAW hanya sekedar membaca beberapa hadist nabi yang terdapat dalam buku-buku himpunan hadist, namun kurang membaca sejarah perjalanan hidup Nabi SAW.
Dengan melakukan pembacaan ulang terhadap sejarah kehidupan Nabi secara holistik dan tidak parsial dapat mengurangi munculnya paham kekerasan atau radikal dalam masyarakat.
Di samping itu tentu harus tetap memelihara nilai-nilai lokal yang dianut oleh masyarakat Indonesia dengan menjaga harmonisasi, melalui simpul-simpul dan modal sosial yang terdapat dalam masyarakat.
Sehingga dengan demikian dapat mengantisipasi munculnya kecemberuan sosial.