Makna Kemanakan Dalam Adat Istiadat Minangkabau 

Sebagai Ketua Pembina Adat Sumsel, Albar S Subari SH.MH beberapa waktu belakangan dalam tulisannya banyak menukil masalah adat istiadat Minangkabau

Penulis: Salman Rasyidin | Editor: Salman Rasyidin
internet
Albar S Subari  SH.MH 

SRIPOKU.COM – Sebagai Ketua Pembina Adat Sumsel, Albar S Subari  SH.MH beberapa waktu belakangan dalam tulisannya banyak menukil masalah adat dan budaya Minangkabau.

Makna tersirat di balik itu bisa mungkin jadi sebagai “Studi Perbandingan” antar dua budaya Melayu yang ada di Sumatera.

Seperti diketahui  antara Adat Budaya Sumsel dan Minangkabau punya  historis yang tidak bisa diambaikan begitu saja.

Kenang-kenangann pembina Adat Sumsel saat berkunjung pas pelantikan wali nagari. Awal  berlakunya uu 22 / 1999.
Kenang-kenangann pembina Adat Sumsel saat berkunjung pas pelantikan wali nagari. Awal berlakunya uu 22 / 1999. (ist)

Kali ini Albar S Subari  SH.MH mengedepakan masalah  Makna Kemanakan Dalam Adat Istiadat Minangkabau yang diungkap pada SRIPOKU.COM beberapa hari lalu.

Menurut Albar, ketika kita bicara struktural masyarakat adat Minangkabau ,kita sering mendengar istilah Anak Dipangku Kemenakan Dibimbing.

Di dalam sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau dikenal jenis jenis kemanakan yaitu sebagai berikut:

1.Kemenakan bertali darah, ialah kemenakan yang mempunyai garis keturunan dengan mamak –Mamang (dalam istilah Sumsel).

Dalam hal harta pusaka mereka berhak menggarapnya dan sebaliknya bila tergadai mereka berkewajiban menebusnya.

Kemenakan bertali darah ini berhak menerima warisan gelar dan harta pusaka.

Namun yang menerima warisan itu ialah yang tertua dan bila ada halangan pindah ke saudaranya adiknya.

2. Kemenakan bertali akar. Yaitu kemenakan yang sudah jauh atau dari belahan kaum itu yang sudah menetap di kampung lain.

Bila penghulu di tempat itu tidak ada lagi kemenakan yang dekat, tentu dengan kesepakatan ninik mamak dan keluarga sepayung.

Begitu pula kalau ada harta kekayaannya mereka boleh menebus harta mamak tempat menumpu tersebut.

3. Kemenakan bertali emas. Kemenakan ini tidak berhak menerima warisan gelar pusaka tetapi mungkin dapat menerima harta warisan jika diwasiatkan kepadanya karena memandang jasa jasanya atau disebabkan uangnya. 

4.Kemenakan bertali budi

Dalam masyarakat Minangkabau tidak dikenal istilah anak angkat (baca adopsi).

Tetapi mereka mengenal kemenakan angkat.

Yaitu bila seseorang datang di satu keluarga dan mengakui sebagai mamak kepada seorang penghulu kampung itu dan diterima.

 Dan dia melakukan tugas tugas sebagai kemenakan yang biasa.

Dan lazim di masyarakat Minangkabau kepada mereka seperti ini diberi setumpuk tanah untuk berkebun, sepiring sawah, sebuah tebat ikan dan beberapa pohon kelapa.

Itu menjadi modal awal mereka tadi. Kadang kadang terjadi kemenakan kandung penghulu sudah tiada dan kemenakan yang ngaku mamak ini berkembang biak.

Harta pusaka mungkin dapat dikuasai me­reka tetapi gelarannya tak mungkin.

Dari uraian di atas soal kemenakan yang sudah lama hidup di struktural atau sistem kekerabatan di masyarakat adat Minangkabau dapat kita ambil beberapa makna di dalam nya,:

1. Struktural kekerabatan tetap menggunakan tali garis keturunan, namun apabila ada hal hal tertentu bisa dicarikan jalan keluarnya tentu prinsip musyawarah tetap dilakukan. Ini merupakan ciri has dari satu sistem kemasyarakatan di dalam adat istiadat masyarakat Indonesia.

2. Masyarakat adat Minangkabau mengenal istilah " kemenakan angkat " .

Namun prinsipnya hampir sama dengan sistem pemeliharaan anak kemenakan atau orang lain.

Dengan pengakuan sebagai ninik mamaknya.

Hal serupa sama dengan sistem hukum Islam yang tidak mengenal anak angkat (baca adopsi).

Sebab pengertian "anak angkat " dan "adopsi" sangat beda jauh.

Namun bagi yang kurang memahaminya selalu disamakan.

Bukan saja kalangan masyarakat awam namun di kalangan orang berpendidikan masih mencampur baurkan istilah ini.

 Menurut penulis ini berawal terjemahan BW oleh penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia (baca adat).

3. Sifat kolektifisme di dalam masyarakat adat Minangkabau tetap terpelihara dengan baik.

Wa­laupun pelan pelan melemah adanya.

Seperti ungkapan yang pernah ditulis oleh buya Hamka dalam bukunya. Adat Minangkabau mengalami revolusi.

Demikianlah simpul yang dapat dimaknai dari konsep"kemenakan' yang hampir mirip dengan struktur masyarakat Semende di Sumatera Selatan (Muaraenim).

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved