Pembelajaran dari Rahim Sungai Musi, Mulai dari Tiga Dunia Hingga Perda Perlindungan Sungai Musi

Beranjak dari proses pengkaryan tersebut, hasil diskusi Sonia Anisah Utami dengan tim diskusi serta masyarakat, tampaknya dibutuhkan peraturan daerah

Editor: aminuddin
Pembelajaran dari  Rahim Sungai Musi,  Mulai dari Tiga Dunia  Hingga Perda Perlindungan Sungai Musi - musi1jpg.jpg
teater potlot
Pentas Rahim Sungai Musi
Pembelajaran dari  Rahim Sungai Musi,  Mulai dari Tiga Dunia  Hingga Perda Perlindungan Sungai Musi - musi2jpg.jpg
teater potlot
Pentas Rahim Sungai Musi
Pembelajaran dari  Rahim Sungai Musi,  Mulai dari Tiga Dunia  Hingga Perda Perlindungan Sungai Musi - musi3jpg.jpg
teater potlot
Pentas Rahim Sungai Musi

SRIPOKU.COM, PALEMBANG - PERTUNJUKAN tari Rahim Sungai Musi karya koreografer Sonia Anisah Utami, yang disiarkan secara live streaming di youtube melalui kanal Rumah Sriksetra, pada 13 Oktober 2020, bukan sebatas peristiwa kesenian.

Tapi merupakan peristiwa kebudayaan.

Sebagai peristiwa kebudayaan, kita tidak hanya melihat produk akhirnya juga melihat proses lahirnya tari Rahim Sungai Musi yang ditampilkan di badan Sungai Ogan yang dilakukan 43 perempuan bukan penari.

Menurut Sonia Anisah Utami, pada awalnya gagasan ini mencoba menghidupkan kembali kesadaran kebhinekaan masyarakat di sepanjang Sungai Musi, termasuk pada delapan anak sungainya, yang diperkirakan mengalami “penurunan” sebagai akibat berubahnya bentang alam Sungai Musi, yang disebabkan pengaruhnya kebudayaan kontinental dan mediterania yang lebih memanfaatkan wilayah daratan sehingga menurunkan kepedulian terhadap sungai, serta rusaknya Sungai Musi sebagai dampak dari aktivitas ekonomi ekstraktif.

Upaya itu melalui karya seni tari yang melibatkan kaum perempuan dari masyarakat yang menetap di Sungai Musi.

“Pada awalnya saya hanya menduga ini proses sederhana.

Belajar menari bersama.

Ternyata tidak.

Banyak hal yang harus dilalui dalam proses ini,” katanya.

Saya yang mengikuti proses ini, karena saya dilibatkan sebagai tim diskusi konsep bersama Conie Sema dan Dr. Husni Tamrin, banyak hal yang harus dilalui Sonia Anisah Utami dalam proses pengkaryan tersebut, yang saya pahami sebagai sebuah pembelajaran.

Tiga dunia

Bila sebelumnya pengkaryan ini dipahami hanya memadukan karya seni dengan dunia maya atau cyberspace [internet dan peralatan live streaming] ternyata ada faktor lain yang juga cukup pentingnya, yang terkait dengan kondisi lokasi latihan dan pertunjukan di badan sungai.

Misalnya keselamatan para penampil dari gangguan makhluk air, mulai dari antu banyu, buaya, hingga mambang [makhluk halus penunggu air], serta gangguan cuaca seperti angin, panas, hujan, yang juga berpengaruh pada arus sungai.

Beranjak dari kepercayaan masyarakat di tepian sungai, guna menjaga gangguan tersebut harus dilakukan tradisi ritus sungai.

Sebuah tradisi berupa silahturahmi dengan mereka yang “gaib” agar menjaga atau tidak mengganggu proses latihan dan pertunjukan.

Artinya, sebagai makhluk Tuhan, semua makhluk untuk saling menjaga.

Dengan fakta tersebut, maka proses pengkaryaan ini menjadi kolaborasi tiga dunia; yakni seni, maya, dan spiritual.

Perempuan lebih peduli

Proses pengkaryan ini ternyata menujulkan jika kaum perempuan—contohnya kaum perempuan di kampung 15 Ulu—ternyata lebih antusias dan peduli mendiskusikan tentang persoalan pencemaran sungai.

Mereka lebih terbuka mengatakan jika masyarakat di tepian sungai pada saat ini terpaksa membuang sampah ke sungai.

Sebab banyak kampung tidak memiliki tempat pembuangan sampah.

Jika pun sampah rumah tangga dikumpulkan pada satu tempat, mereka membutuhkan biaya membawanya ke lokasi TPA [Tempat Pembuangan Akhir] sampah.

Setelah beberapa kali berdiskusi, akhirnya 13 perempuan kampung 15 Ulu yang terlibat pengkaryaan Rahim Sungai Musi, sepakat membentuk kelompok perempuan peduli Sungai Musi.

Baca juga: Teater Potlot Selalu Bersikap Terbuka dan Melibatkan Para Ahli dalam Setiap Proyek yang Dikerjakan

Mereka akan mengembangkan bank sampah, yang bertujuan agar sampah rumah tangga tidak dibuang ke sungai, lalu dipilah sampah organik dan nonorganik, sebelumnya akhirnya dibawa ke TPA.

Sampah organik dijadikan pupuk, sementara sampah nonorganik dipilah menjadi sampah yang dapat dijual [menghasilkan] sebagai bahan daur ulang, dan yang tidak.

Mereka pun akan melakukan kerja bersih sungai setiap bulan.

Selain peduli sampah, kelompok perempuan ini juga akan menghidupkan tradisi atau seni yang mulai terhilang.

Bagaimana 30 perempuan yang mewakili delapan anak Sungai Musi, yang sebagian tercatat sebagai mahasiswa Universitas PGRI Palembang dan UIN Raden Fatah Palembang.

Pada pertemuan awal, mereka sepakat tidak akan menggunakan bahan, seperti air minum dan makanan, yang menghasilkan sampah plastik.

Selanjutnya, mereka sepakat untuk membawa isu pelestarian sungai ke dusun atau kampung.

Pembelajaran lainnya, ternyata masih ada jejak “kebhinekaan” pada masyarakat di tepian sungai.

Misalnya di kampung 15 Ulu, wong Palembang, Jawa, Tionghoa, India, serta orang huluan sungai, hidup membaur dan harmonis tanpa pernah terjadi konflik.

Bahkan sebuah rumah ibadah kelenteng hadir di kampung 15 Ulu.

Baca juga: Diskusi Teater Potlot

Masyarakat 15 Ulu juga terbuka atas kehadiran Sonia Anisah Utami bersama 30 perempuan lainnya, yang sebelumnya tidak mereka kenal.

Yang terjadi adalah proses pengenalan, mulai dari hal yang bersifat pribadi maupun berbagai informasi terkait seni dan ilmu pengetahuan.

Mereka pun sangat berharap terhadap Sonia Anisah untuk melahirkan sebuah program yang terus melibatkan masyarakat di tepian sungai.

Perda Perlindungan Sungai Musi

Beranjak dari proses pengkaryan tersebut, hasil diskusi Sonia Anisah Utami dengan tim diskusi serta masyarakat, tampaknya dibutuhkan peraturan daerah [Perda] Perlindungan Sungai Musi.

Perda ini cukup kuat dalilnya, sebab Sungai Musi beserta anaknya selama puluhan abad telah membangun kebudayaan masyarakat Sumatera Selatan, yang juga mempunyai pengaruh besar bagi kebudayaan bahari bangsa Indonesia.

Selain itu, hingga saat ini Sungai Musi beserta anaknya tetap dibutuhkan masyarakat, baik sebagai sumber air bersih, pangan, dan transportasi.

Kiriman T. Wijaya,  Pekerja seni, jurnalis dan aktif di Teater Potlot

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved