Korupsi Pilkada
Jabar Provinsi Paling Korup *Pilkada Rawan Korupsi
KETUA KPK Firly Bahuri mengingatkan hampir seluruh provinsi di Indonesia, rawan korupsi. Termasuk korupsi pelaksanaan Pilkada 2020
SRIPOKU.COM -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengungkapkan, sepanjang tahun 2004-2020 ada 26 (dari 34) provinsi terjaring perkara korupsi. Jumlah kasus korupsi terbanyak, yakni Jawa Barat berjumlah 101 kasus.
Hal ini diungkapkan Firli dalam diskusi Webinar Nasional Pilkada Berintegritas 2020 yang ditayangkan melalui saluran Youtube KPK, Selasa (20/10). Jumlah kasus korupsi terbanyak berikutnya adalah Provinsi Jawa Timur yakni 93 kasus.
“Dari sebaran 34 provinsi, 26 daerah itu pernah terlibat korupsi. Ini memprihatinkan bagi kita,” kata Firli.
Jenderal bintang tiga Polri ini menguraikan, posisi tertinggi ditemukan di Jawa Barat berjumlah 101 kasus tindak pidana korupsi. Kemudian, Jawa Timur (93 kasus), Sumatera Utara (73), Riau dan Kepulauan Riau (64 kasus); serta DKI Jakarta sebanyak 61 kasus.
“Ada delapan provinsi yang tidak ada kasus korupsi, mudah-mudahan ini adalah pencegahannya berjalan karena ada intervensi KPK terkait pencegahan korupsi,” kata Firli.
Mantan Kapolda Sumatera Selatan itu pun menyebut daerah-daerah yang berhasil melaksanakan pencegahan dan diberikan dana insentif dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
“ Baru tahun ini (diberikan insentif). Bu Menteri (Sri Mulyani) kalau ini seandainya orang sudah bekerja untuk pencegahan korupsi tetapi tidak ada imbalan, tidak ada reward-nya, orang malas’. Akhirnya Alhamdulillah oleh Ibu Menteri diberikan insentif daerah yang sukses melaksanakan kegiatan pencegahan korupsi,” ujarnya.
Ketua KPK membeberkan data jenis perkara yang melibatkan kepala daerah sepanjang 2004 sampai 2020. ”Kita lihat fakta, kasus-kasus korupsi yang terjadi 2004 sampai 2020 itu paling banyak karena kasus suap itu 704, di proyek 224 perkara, penyalahgunaan anggaran 48, TPPU 36. Ini kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah,” ujar Firli.
Kemudian, Firli Bahuri menyoroti secara khsuus potensi korupsi dalam pelaksanaan Pilkada. Setidaknya, setiap calon wali kota/bupati harus mengantongi uang minimal Rp65 miliar.
“Jadi ini wawancara indepth interview, ada yang ngomong Rp5 sampai Rp10 miliar. Tetapai ada juga yang ngomong, kalau mau ideal menang di Pilkada itu, bupati/wali kota setidaknya punya uang Rp 65 miliar,” kata Firli.
Ia kemudian menguti penuturan si calon kepala daerah, yang memiliki anggaran Rp18 miliar. ”Uang memang masih menjadi kunci untuk memenangkan pertarungan dalam Pilkada,” kata Firli.
Politik uang yang sangat besar ini, menurut Firly, akan menjadi beban kepala daerah terpilih yang dikeluarkan selama kampanya dan harus dikembalikan setelah terpilih. Alasan ini dianggap menjadi pekerjaan rumah, tak hanya bagi KPK, namun bagi semua masyarakat.
“Ini PR kita bersama. Dari mana uangnya? Uangnya dibiayai pihak ketiga, dan hasil penelitian kita 82,3 persen, biaya itu dibantu pihak ketiga, 2017, 82,6 persen dibantu pihak ketiga, 2018, 70,3 persen dibantu oleh pihak ketiga,” kata Firli.
Menurut Firly, pihak ketiga itu mau membantu karena dijanjikan sesuatu oleh calon kepala daerah jika terpilih. “Artinya, para calon kepala daerah ini sudah menggadaikan kekuasannya kepada pihak ketiga itu," katanya.
Firli mengingatkan potensi tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pilkada akibat biaya tinggi. Hal ini menjadi pintu masuk terjadinya korupsi oleh kepala daerah setelah terpilih.
