news
Penghapusan UMK Sampai Outsourcing, 7 Hal Penting Omnibus Law Cipta Kerja yang Sengsarakan Rakyat
Ditengah protes yang diutarakan pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Dewan Perwakilan Rakyat
SRIPOKU.COM, JAKARTA-DPR RI telah mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, pada Rapat Paripurna yang dipimpin oleh Azis Syamsuddin. Berikut 7 poin penting yang jadi perhatian untuk masa depan buruh, Selasa (6/10/2020).
Ditengah protes yang diutarakan pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Dewan Perwakilan Rakyat DPR RI justru mengesahkannya.
Pengesahan Ombinus Law RUU Cipta Kerja ini disaksikan dalam Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin oleh Azis Syamsuddin pada Sabtu (3/10/2020) lalu.
"Kepada seluruh anggota, saya memohon persetujuan dalam forum rapat peripurna ini, bisa disepakati?" tanya Azis Syamsuddin dikutip dari siaran TV Parlemen kanal YouTube DPR RI.
"Setuju," ungkap mayoritas anggota yang hadir. Azis kemudian mengetok palu tanda persetujuan pengesahan. ( buruh unjuk rasa tentang UU Cipta kerja, ini penyebabnya
Dengan demikian, pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja telah tuntas diselesaikan DPR dan pemerintah setelah melalui bahasan maraton pada Sabtu (3/10/2020) malam.
Dalam rapat kerja pengambilan keputusan Sabtu malam lalu, hanya dua dari sembilan fraksi yang menolak hasil pembahasan RUU Cipta Kerja.
Dua fraksi tersebut adalah PKS dan Partai Demokrat. Kedua Fraksi menyatakan menolak RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang.
Namun sejak awal isi Omnibus Law UU Cipta Kerja ini diprotes buruh dari berbagai elemen.
Lalu apa saja sebenarnya hal-hal dalam RUU ini yang membuat buruh sangat keberatan?
Dilansir dari Tribunnews.com, setidaknya ada tujuh item krusial dalam UU Cipta Kerja yang amat merugikan buruh seperti dinyatakan Presiden KSPI Said Iqbal.
Apa saja? Berikut rinciannya:
1. UMK bersyarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus.
Said Iqbal menyatakan buruh menolak keras kesepakatan ini, lantaran UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Dimana UMK tiap kabupaten/kota berbeda nilainya.
Said Iqbal juga menjelaskan bahwa tidak benar jika UMK di Indonesia lebih mahal dari negara ASEAN lainnya.
Hal itu lantaran jika diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, justru UMK di Indonesia disebutnya jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam.
