Breaking News

Berburu Babi

Berburu Babi, Tradisi Unik dan Kaya dengan Makna, Alternatif Solidaritas Masyarakat di Minangkabau

Salah satu budaya yang turun-temurun tersebut adalah solidaritas antar sesama pemburu. Di kalangan masyarakat Minangkabau, pemburu disebut badunsanak

Editor: aminuddin
Farmers Weekly
Ilustrasi babi 

SRIPOKU.COM, MINANGKABAU -- Bagi masyarakat Minangkabau, adat adalah aturan, nilai, dan norma yang mengatur berbagai aktivitas kehidupan.

Sebagai aturan, adat dianggap tidak lekang oleh  panas, dan tidak lapuk oleh hujan.

Sehingga adat bagi masyarakat Minangkabau akan berlaku dan diberlakukan sepanjang kehidupan mereka.

Kebertahanan adat sebagai aturan tidak bisa terlepas dari ditunjukkannya sebagai alat pembenaran berbagai aktivitas kehidupan.

Adat sebagai alat pembenaran inilah yang diperkirakan telah mengesahkan berbagai gerakan yang membuat aktivitas buru babi menjadi sebuah tradisi.

Tradisi buru babi tampaknya sudah lama membudaya di Minangkabau.

Konon tradisi ini diperkenalkan oleh para pejabat lapangan Belanda di zaman kolonial.

Di zaman kolonial biasanya pada akhir pekan atau waktu senggang para pejabat Belanda pergi berburu binatang.

Masyarakat Minangkabau kadangkala diajak turut serta (kala itu pejabat Belanda dekat dan disenangi oleh masyarakat Minangkabau).

Selain itu, terkadang ada juga dari penduduk pribumi yang mengikutinya ke hutan, misalnya para centeng pejabat Belanda.

Cukup gagah dan sangar juga para pemburu babi di zaman lampau.

Mereka biasanya memakai baju, bersepatu, dan bertopi.

Para pengikut pribumi kebanyakan hanya bertelanjang kaki.

Senjata yang dipakai adalah bedil dan tombak.

Beberapa ekor anjing juga digunakan untuk berburu babi, seperti yang masih dapat dipakai oleh para pemburu sampai sekarang. 

Berburu babi telah mendarah daging dan menjadi suatu kebanggaan bagi diri mereka.

Sebagaimana yang disebutkan dalam pepatah adat, “Baburu babi suntiang niniak mamak, pamenan dek nan mudo dalam nagari”. 

Kata suntiang dalam pepatah ini menggambarkan sebuah mahkota. Mahkota ini bermakna sebagai sebuah kebanggaan.

 Tradisi buru babi telah menjadi bagian dari kehidupan budaya masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat.

Aktivitas budaya ini merupakan satu bentuk folklor yang masih terpelihara dengan baik.

Oleh karena itu, sampai saat ini tradisi buru babi terus diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Salah satu budaya yang turun-temurun itu adalah solidaritas antar sesama pemburu.

Di kalangan masyarakat Minangkabau, pemburu disebut badunsanak (bersaudara).

Berburu babi bukan hanya bertujuan membunuh hama tanaman, bukan juga dilandasi oleh motif ekonomi untuk menjual daging babi.

Melainkan sebagai media untuk membangun kesadaran kolektif, egaliter, dan solidaritas tingkat tinggi antar sesama masyarakat Minangkabau.

Prosesi Tradisi  

Bagi masyarakat Minangkabau buru babi dikenal sebagai istilah alek baburu babi (tradisi berburu babi).

Tradisi ini dilaksanakan tiga kali dalam setahun.

Biasanya sebelum alek buru babi  digelar akan diadakan musyawarah yang melibatkan niniak mamak dan beberapa pemuka adat lainnya yang dilengkapi dengan sajian sirih dan pinang.

Setelah menggelar musyawarah tersebut, barulah tradisi buru babi bisa dilakukan.

Selanjutnya pemburu akan dibagi beberapa kelompok, setiap kelompok akan menunjuk seorang dari mereka untuk menjadi penunjuk jalan ketika menembus hutan. 

Setelah rangkaian upacara adat dilakukan, para pemburu akan mulai bersiap-siap memasuki kawasan hutan belukar.

Di hutan mereka terbagi beberapa kelompok supaya target buruan bisa terkepung, anjing buruan diikat menggunakan tali di bagian lehernya.

Jika target buruan babi terlihat maka para pemburu akan melepaskan anjing mereka untuk mengejar target.

Sorak-sorai suara pemburu akan pecah diiringi suara lolongan anjing, mereka bahu-membahu bekerja sama supaya babi yang menjadi target tidak luput dari buruan.

Terkadang hewan buruan seperti babi sudah mati tertangkap dan digigit anjing pemburu sebelum ditemukan oleh pemburu, hingga menjelang sore tiba pemburu terkadang bisa menangkap hingga puluhan ekor babi dalam satu kali perburuan.

Taneko B. Soleman dalam bukunya System Sosial Indonesia (1994:16) menjelaskan aktivitas buru babi merupakan suatu bentuk kehidupan kolektif yang dipandang sebagai suatu sistem sosial.

Sistem sosial disini berarti suatu keseluruhan dari unsur-unsur sosial yang saling berkaitan, yang berhubungan satu sama lain dan saling mempengaruhi dalam satu kesatuan tersebut.

Sebagai sistem sosial, buru babi memiliki unsur yang berdiri sendiri namun masih berhubungan dan merupakan satu kesatuan masing-masing unsur.

Kesimpulan

Jadi dapat disimpulkan bahwa dari tradisi buru babi banyak hal yang bisa kita, warga Minangkabau, dapatkan khususnya para pemburu.

Tidak hanya perihal kesenangan dan memacu adrenalin semata, tetapi lebih dari itu.

Ada nilai kerjasama, kebersamaan, dan gotong royong yang tersirat di dalamnya. 

“Pamburu itu rang nan badunsanak”, ungkapan tersebut menggambarkan bahwa para pemburu itu memiliki rasa persaudaraan yang dibangun dengan kuat antara para pemburu.

Hal inilah yang memcerminkan bahwa tradisi buru babi sebagai media solidaritas dalam kearifan budaya Minangkabau, serta memiliki nilai-nilai yang terkandung di setiap keunikan budayanya yang patut dilestarikan secara turun-menurun.

Dengan demikian, banyaknya budaya asing yang bermunculan, seiring itu pula kita juga harus mengembangkan dan memperkuat kebudayaan yang telah kita miliki.

Sebab, dari warisan itulah kita menjadi bangsa yang berkarakter serta tidak mudah terombang-ambing.

Meskipun tradisi buru babi telah menjadi turun-temurun dalam masyarakat, bahkan kita juga tidak bisa menampik masih ada sebagian dari masyarakat yang tidak melaksanakan.

Tidak masalah, tidak ada larangan, yang terpenting adalah tetap menjaga dan mempertahankan tradisi tersebut di tengah kehidupan masyarakat khususnya Minangkabau.

Karena menjaga solidaritas antar sesama merupakan suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan.

Biodata

Sepno Fahmi lahir di Bayang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Merupakan anggota Dapur Sastra Jakarta (DSJ), Sastra Bumi Mandeh (SBM), dan aktif mengelola Rumah Baca Pelopor 19. Beberapa esai dan puisi pernah dimuat di beberapa media massa, Facebook: Sepno Fahmi. WhatsApp: 0812 6680 5090.

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved