Seorang Anak Stres karena Gagal Masuk SMA, Jarak Sekolah Cukup Dekat, Sistem Zonasi Dianggap Aneh
Merasa ada yang aneh dengan sistem zonasi Belasan wali murid mendatangi kantor DPRD Jember. Wali Murid mengaku anaknya sampai stres
Penulis: Chairul Nisyah | Editor: Welly Hadinata
SRIPOKU.COM - Saat ini para siswa atau murid sekolahan harus mengikuti sistem zonasi. Sistem zonasi adalah sebuah sistem pengaturan proses penerimaan siswa baru sesuai dengan wilayah tempat tinggal.
Sistem tersebut diatur dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 dan ditujukan agar tak ada sekolah-sekolah yang dianggap sekolah favorit dan non-favorit.
Namun sistem zonasi nampaknya masih memunculkan beberapa masalah baru, salah satunya yang terjadi di Jember, Jawah Timur.

Melansir dari laman Kompas.com, Belasan wali murid yang tergabung dalam persatuan orangtua peduli pendidikan anak mendatangi kantor DPRD Jember, Kamis (2/7/2020).
Mereka menyampaikan keresahan terkait PPDB sistem zonasi.
Para wali murid menemukan banyak kejanggalan dari sistem zonasi, yakni dugaan pemalsuan Surat Keterangan Domisili (SKD). Wali murid menyebut ada anak yang rumahnya dekat dengan sekolah, tetapi gagal masuk.
• 2 Wanita Ini Sewa Pembunuh Bayaran, Otak Pembunuhan Suami Sendiri, Divonis Hukuman Mati!
• Resep Kue Lapan Jam Khas Palembang dari Bahan Sederhana, Gampang Dibuat Cocok Disajikan saat Santai
• Rizki DAcademy Diam-Diam Sudah Resmi Bertunangan, Lesti Dikomentari Netizen Usil, Ini Balasannya!
• Gelagat Kekecewaan Laudya Cynthia Bella pas Ngomong Sudah Pisah Dikuliti: Gestur Tubuhnya Berubah
Sedangkan anak yang jaraknya jauh dari sekolah, malah lolos karena menggunakan SKD palsu.
“Kalau tidak ada kecurangan mungkin saya terima,” kata Dwi Riska, salah satu wali murid dalam rapat dengar pendapat dengan komisi D DPRD Jember.
Dia mencontohkan, anak yang berasal dari Kecamatan Wuluhan dan Jenggawah, bisa masuk di SMAN 1 dan SMAN 2.
Padahal jarak sekolah dengan Kecamatan Wuluhan sekitar 36 kilometer.
Sementara, anak Dwi tidak lolos di SMAN 2, padahal jaraknya sekitar 1,6 kilometer.
Anak Dwi malah lolos di SMAN 5 yang jaraknya lebih jauh.
“Sampai anak saya stres, sampai sekarang tidak mau masuk SMAN 5. Saya dibikin pusing, kadang (sang anak) tertawa sendiri, tidak mau makan. Bagaimana seorang ibu melihat anaknya seperti itu,” jelas Dwi lalu menangis.
Kejadian itu tak hanya dialami oleh DW, tetapi juga beberapa wali murid lainnya.
“Akibatnya muncul anak saling bully, orangtua saling sindir,” tambah David K Susilo, salah satu wali murid lainnya.