Virus Coorona
Turbulensi Regulasi Di Tengah Pandemi
Dinamika kehidupan manusia dunia internasional termasuk Indonesia saat ini mengalami fase yang sangat tidak biasa.
Oleh : Muhammad Syahri Ramadhan, S.H., M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Dinamika kehidupan manusia dunia internasional termasuk Indonesia saat ini mengalami fase yang sangat tidak biasa.
Berdasarkan data pada 11 Mei 2020, dari 215 negara yang terdampak virus covid–19, ada 4.013.728 orang yang terkonfirmasi positif corona, 278.993 meninggal dunia.
Khusus di Indonesia, 14.192 orang dinyatakan positif, 2. 881 sembuh dan 991 orang meninggal dunia (covid19.go.id).
Banyak jumlah orang yang terjangkit virus yang pertama kali menempa daerah Wuhan, Negara Tiongkok tersebut.
Fenomena ini membuat sebagian negara membentuk regulasi seperti lockdown atau karantina kewilayahan sebagai upaya untuk memutus rantai wabah virus corona tersebut.
Di Indonesia, pemerintah belum mengambil keputusan lockdown atau karantina kewilayahan, mengingat banyak sekali dampak yang akan timbul apabila kebijakan tersebut harus dilakukan.
Namun, hal tersebut bukan berarti pemerintah tidak menangani secara serius atas wabah yang terjadi saat ini.
Keseriusan pemerintah dapat dilihat dari banyak aturan yang dibuat terkait penanganan virus corona.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum dan menganut kepada sistem hukum civil law, yakni mengedepankan kepada hukum tertulis, maka pemerintah dalam membuat kebijakan regulasi termasuk mengenai penanganan wabah virus covid–19, semuanya harus dilandasi dengan peraturan hukum yang tertulis.
Berbagai aturan hukum jika dikaitkan dengan isu virus corona, sebenarnya sudah lama. Adapun regulasi yang berkaitan dengan situasi nasional saat ini di antaranya adalah UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, PP No. 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, Permenkes No. 82 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Penyakit Menular.
Adanya regulasi ini membuktikan bahwa pemerintah sudah siap menghadapi wabah pandemi penyakit sebelum isu virus corona terjadi sampai saat ini.
Tidak hanya sampai disitu, pemerintah juga banyak mengeluarkan beberapa regulasi yang secara spesifik mengatur soal penanganan pandemi virus saat ini mulai dari Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), hingga Keputusan Presiden (Keppres).
Setidaknya ada 8 (delapan) peraturan perundang–undangan yang dibuat oleh pemerintah pusat yaitu Keppres No. 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19; Perpres Nomor 52 tahun 2020 tentang Pembangunan Fasilitas Observasi dan Penampungan dalam Penanggulangan COVID-19 atau Penyakit Infeksi Emerging di Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau; Inpres No. 4 tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19; PP No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19; Keppres No. 11 tahun 2020 tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; Perppu No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Covid-19; Perpres No. 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020;dan Keppres Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana non-alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional.
Dalam konteks pembuatan regulasi sebagaimana disebutkan penulis di atas, kinerja pemerintah memang layak diapresiasi, namun yang sering jadi kendalanya ialah dalam tahapan implementasi regulasi itu sendiri.
Turbulensi Regulasi
Banyaknya regulasi yang dibuat menandakan isu virus covid–19 ini bukanlan perkara yang biasa, tetapi sangat luar biasa.
Pola penyebaran virus yang begitu cepat dan masif, membuat pemerintah harus tanggap dalam menanganinya.
Over-regulasi yang dilakukan pemerintah saat ini sebenarnya mengandung dilema tersendiri bagi pemerintah yang mencanangkan deregulasi yang menghambat visi dan pemerintah Indonesia.
Mari mengingat kembali bagaimana pemerintah yang berupaya merealisasikan kebijakan omnibus law di RUU Cipta Lapangan Kerja, yang dimana berbagai pasal dari peraturan perundang–undangan, semuanya dipangkas demi meningkatkan pertumbuhan investasi.
Fenomena omnibus law dikaitkan dengan begitu gencarnya regulasi yang dibuat saat ini, tentunya menimbulkan paradoks terhadap sikap pemerintah itu sendiri.
Dalam tahapan implementasi, regulasi terkait isu virus corona ini masih menimbulkan kebingungan tersendiri dari masyarakat bahkan dari segi pemerintah itu sendiri.
Salah satu contoh kongretnya adanya aturan terkait operasional penggunaan transportasi umum, di sisi lain pemerintah juga membuat regulasi tentang menghimbau masyarakat untuk tidak mudik terlebih dahulu.
Hal semacam ini tentu yang akan menjadi korban ialah masyarakat yang akan menjadi bingung.
Bahkan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang merupakan representasi perwakilan dari pemerintah pun mengakui bahwa ada beberapa aturan terkait penangan virus covid–19 ini membuat kebingungan di masyarakat (tribunnews.com).
Tidak ada yang mengherankan jika banyaknya peraturan perundang–undangan yang dibuat bagi negara–negara yang bermahzab sistem hukum eropa kontinental, termasuk salah satunya Indonesia.
Sistem hukum eropa kontinental merupakan sistem hukum yang fokus kepada kodifikasi atau aturan hukum yang ditulis dan tersusun secara sistematis (Peter Mahmud Marzuki, 2017: 245).
Makna sistematis disini, jangan hanya cukup diartikan bahwa seluruh aturan tertulis yang dibuat hanya memenuhi aspek formalitas belaka.
Salah satu contoh misalnya ialah Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang–Undang (konsep ini dikenal asas Lex superior derogat legi inferiori atau aturan yang lebih tinggi mengenyampingkan aturan yang lebih rendah).
Lebih dari itu, aturan tertulis yang dibuat mempunyai tujuan mengharmonisasikan antara aspek teks maupun konteks dari regulasi yang dibuat itu sendiri.
Mengukur kebahagiaan masyarakat atas aturan hukum yang dibuat tidak hanya berhenti kepada banyak regulasi yang dibuat di situasi pandemi saat ini.
Meningkatnya kasus orang yang positif terjangkit virus corona, walaupun pemerintah sudah banyak membuat regulasi untuk menangani permasalahan tersebut.
Menandakan timbulnya turbulensi atas setiap regulasi yang dibuat, artinya perlu dievaluasi kembali setiap aturan yang dibuat tersebut jangan sampai menimbulkan ambiguitas dalam tahap implementasi di tengah masyarakat.
Makna lain dari turbulensi disini ialah banyaknya regulasi yang dibuat jangan sampai disalahtafsirkan sebagai bentuk kepanikan pemerintah sehingga masyarakat pun turun menjadi panik dalam menghadapi isu pandemi saat ini.
Ada 3 (tiga) cara yang dapat dilakukan dalam menghadapi turbulensi regulasi saat ini.
Pertama, adanya koordinasi terkait regulasi yang dibuat tersebut, baik dari aspek horizontal maupun vertikal.
Aspek horizontal ini salah satu contoh kongretnya ialah koordinasi antar kementerian yang ada.
Penanganan virus covid–19 saat ini pastinya akan melibatkan seluruh kementerian yang ada, terutama kementerian kesehatan dikarenakan isu saat ini erat kaitannya dengan persoalan kesehatan umat manusia.
Jangan ada lagi cerita timbulnya ego sektoral dari antar lembaga kementerian yang menyebabkan disharmonisasi atau tumpang tindih atas aturan yang dibuat.
Selanjutnya, dari aspek vertikal yaitu hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam membuat satu persepsi atas kebijakan terkait penanganan virus covid–19.
Realita kurang optimalnya hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam menafsirkan regulasi ini memang bukanlah cerita baru.
Namun, bukan berarti tidak ada solusi dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Asalkan mempunyai satu visi untuk mewujudkan masyarakat yang akan bebas dari wabah pandemi saat ini, maka sinkronisasi atas regulasi yang dibuat pemerintah pusat hingga daerah bukan hanya mimpi belaka.
Tidak boleh dilupakan juga ialah pemerintah pusat harus melihat secara komprehensif setiap daerah yang dimana mempunyai latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya yang berbeda–beda.
Hal ini penting supaya pemerintah pusat dapat bijak dalam membuat regulasi, sehingga pemerintah daerah pun dapat merealiasasikan dengan membuat aturan bijak pula.
Kedua, pemerintah harus gencar memberikan edukasi terhadap regulasi yang dibuat agar masyarakat jangan sampai dibuat bingung kembali.
Sosialisasi atas setiap aturan ini jangan secara parsial disampaikan kepada masyarakat, namun harus diberitahukan secara komprehensif demi menghindari distorsi informasi yang akan didapatkan oleh masyarakat.
Tidak hanya pemerintah, masyarakat juga harus turut serta membantu pemerintah dengan memfilter segala informasi terkait isu virus corona saat ini terutama informasi di media sosial.
Di era keterbukaan informasi saat ini, media sosial merupakan senjata utama bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan info hoax.
Jika info hoax ini terus dibiarkan maka akan tercipta informasi yang simpang siur, lalu berujung kepada kepanikan bagi masyarakat itu sendiri.
Aturan–aturan yang berkaitan seperti pelarangan kegiatan kerumunan massal, harus diedukasi bahwa itu bukan sebagai upaya memusnahkan hakekat manusia sebagai makhluk sosial yaitu makhluk yang tidak dapat terlepas dari adanya interaksi sosial dengan manusia atau kelompok manusia lainnya.
Akan tetapi, kebijakan tersebut merupakan upaya untuk memutus rantai wabah pandemi yang sedang meraja rela hingga sampai saat ini.
Ketiga, menetapkan kebijakan deregulasi.
Mengutip dari pernyataan Satjipto Rahardjo, hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Maknanya ialah hukum tersebut seyogianya diciptakan (making the law) demi adanya ketertiban dan kesejahteraan bagi manusia itu sendiri.
Jika hukum yang dibuat tidak memberikan rasa ketentraman, kebaikan bahkan keadilan bagi masyarakat, maka harus ada keberanian untuk mengubah kembali aturan hukum tersebut (breaking the law) dalam mewujudkan tujuan hukum itu sendiri (Satjipto Rahardjo, 2010: 13).
Jika sekiranya setiap regulasi yang banyak dibuat tersebut justru tidak memberikan implikasi positif bahkan menimbulkan kekacauan, maka tidak ada salahnya pemerintah mulai memangkas aturan yang dianggap tidak perlu dilakukan.
Mengingat pemerintah juga sedang gencar melaksanakan kegiatan deregulasi terkait kegiatan investasi, maka pemerintah juga tidak perlu sungkan melaksanakan deregulasi terkait penanganan virus covid–19.