Berita OKI

Kisah Rumah 100 Tiang di Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan, Tentang Lamaran Putra Pangeran Rejed

Salah satu tempat bersejarah di Kota Kayuagung memiliki nilai sejarah dan cerita unik untuk diulas adalah Rumah 100 Tiang di OKI Sumatera Selatan.

Editor: Tarso
Tribunsumsel.com/Nando Zein
Rumah 100 Tiang di Desa Sugiwaras Teluk Gelam OKI Sumatera Selatan ini masih tetap utuh dan terawat. Rumah ini menjadi tujuan destinasi wisata di OKI. 

SRIPOKU.COM, KAYUAGUNG -- Salah satu tempat bersejarah di Kota Kayuagung memiliki nilai sejarah tersendiri dan cerita unik untuk diulas adalah Rumah 100 Tiang di OKI Sumatera Selatan.

Rumah 100 Tiang di OKI ini, bisa dijumpai di Desa Sugih Waras Kecamatan Teluk Gelam Kabupaten OKI yang dulu termasuk dalam wilayah pemerintahan kecamatan Tanjung Lubuk.

Meski telah berdiri ratusan tahun, rumah tersebut hingga kini masih bisa kita temukan dan dipelihara dengan baik oleh warga setempat untuk kunjungan wisatawan.

Yuslizal Sejarawan Kabupaten Ogan Komering Ilir menjelaskan bagaimana asal muasal adanya rumah seratus tiang ini, dimana rumah tersebut dibangun oleh seorang raja demi mendapatkan restu dari orangtua sang calon mempelai wanita.

"Kita tahu bahwa pada zaman dahulu pemimpin wilayah dipegang oleh pangeran, dalam artian pemerintah masih dalam bentuk kerajaan,"

"Seperti didaerah Ogan Komering llir, pada masa itu setiap wilayah atau marga dipimpin oleh pejabat yang disebut Pangeran," ungkapnya mengawali cerita, Senin (9/3/2020).

Kisah pernikahan Putra dari Pangeran Rejed dan putri dari Pangeran Ismail menjadi latar belakang pembangunan rumah seratus tiang yang merupakan syarat pinangan putra dari pangeran Rejed.

"Pangeran Rejed ini berkuasa di daerah Sugihwaras yang merupakan daerah bagi kekuasaan marga Bengkulah pada tahun 1716,"

"Lalu, sekira abad ke-18 putranya yang bergelar Depati Malian berniat mengawini gadis keturunan ningrat yaitu putri dari Pengeran Ismail suku Kayuagung," terangnya.

Mendengar kabar tersebut, pangeran Ismail mempunyai permintaan pada Pengeran Rejed, apabila akan menjadikan putrinya menantu maka tempatkan putrinya pada tempat yang layak, rumah berukuran besar yang dibangun dari kayu besi atau kayu onglen.

"Tak hanya itu, Pangeran Ismail juga meminta syarat supaya tiang rumahnya harus berjumlah seratus buah yang juga terbuat dari jenis kayu serumpun berupa onglen," jelasnya.

Karena ingin memberikan yang terbaik bagi putranya maka Pangeran Rejed menyanggupi dan ia langsung mendatangkan arsitek dari Cina dan juga dari Arab untuk membangun rumah tersebut.

Anggotanya Ditahan Polisi, Puluhan Pemuda Pancasila Datagi Markas Polres dan Kejari Lubuklinggau

RESMI Iuran BPJS Batal Naik, Ini Besaran Iuran BPJS Setelah MA Batalkan Aturan Kenaikan 100 Persen

Perahu yang Ditumpangi Rombongan Paspampres Terlibat Kecelakaan di Sungai Sebangau, 5 Orang Hilang

"Namun sayang, para arsitek yang didatangkan tidak mampu menyelesaikan rumah tersebut dalam waktu sepuluh tahun," bebernya.

Disebutkannya jika Pangeran Rejed selalu tidak pernah merasa puas dengan hasil yang dikerjakan oleh para arsitek.

"Sehingga para ahli atau arsiteknya tidak kuasa meneruskan keinginan Pangeran Rejed maka dengan hasil yang sudah setengah jadi, dan arsitek selalu berganti ganti," tandasnya.

Namun faktor kasulitan adalah mengenai ornament rumah yang harus semuanya diukir, baik ukir timbul 3 dimensi maupun ukir dalam bentuk lukisan.

Tepatnya pada abad 18 atau tahun, jadilah rumah yang disebut rumah seratus tiang dikarenakan memang tiang penyanggah rumah betul betul berjumlah seratus batang.

"Keberadaan rumah tersebut sebenarya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Pangeran Rejed, dikarenakan masih banyak ukiran lukisan yang belum terselesaikan,"

"Dia merencanakan seluruh tiang rumah harus bemuansa ukir, namun si arsitek tidak mampu menyelesaikan dia keburu pulang kenegeri cina," tuturnya.

Lanjutnya, oleh anak Pangeran Rejed Wira laksana rumah tersebut dijadikan sebagai pusat kekuasaan pemerintahan marga Bengkulah. Setiap diadakan pertemuan para pangeran atau pertemuan dengan pemerintah Belanda maka rumah tersebut menjadi pilihan utama.

"Pada awalnya dibeberapa bagian rumah dibalut dengan kain sebagai kasta tempat pertemuan para ningrat, sekarang rumah tersebut dihuni oleh titisan ketujuh keturunan dari Pangeran Rejed,"

"Pengakuan dari penghuni rumah semua ornament rumah belum ada yang direnovasi kecuali genteng bagian atas. Hal tersebut dilakukan dikarenakan sudah ada yang pecah atau rapuh dimakan waktu," ujarnya.

Oleh orang setempat perkampungan rumah seratus tiang dimaksud disebut sebagai kampong Pengeran. Secara historisasinya, dikatakan sebagai kampong Pengeran karena hampir seluruh rumah yang ada disekitar wilayah tersebut adalah masih ada kaitan darah dari si pengeran.

"Kondisi rumah disekitar wilayah ini masih dapat dikatakan utuh ditilik dari kondisi bangunan rumah huninya. Walaupun ada yang direnovasi, namun tetap tidak meninggalkan keaslian dari bentuk semula sebagai cermin rumah adat atau rumah bersejarah masa lalu," tutupnya.

Rumah tersebut juga pernah ditinggal dalam beberapa tahun dikarenakan anak cucu keturunan pangeran banyak hidup diperantauan akibat pergeseran nilai peradaban yang ingin mencari kehidupan di negeri orang.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved