Berita Palembang

Bahas Raperda Pajak Restoran, Pengusaha Rumah Makan di Palembang Was-was, Ngaku Omset Turun

Selain itu, akibat penerapan pajak tersebut restoran kecil mengalami penurunan omset paling tidak 30 persen.

Penulis: maya citra rosa | Editor: Yandi Triansyah
SRIPOKU.COM/Yandi Triansyah
pemasangan e tax di restoran pempek di Palembang setelah sebelumnya dikenakan SP 2 oleh BPPD, Selasa (23/7) 

Jalannya pembahasan revisi mulai dari mendengarkan aspirasi para pelaku usaha kuliner hingga saat ini masih menentukan limit omset yang didapat pelaku usaha untuk dikenakan pajak.

"Terjadi diskusi yang cukup menarik antara pihak eksekutif dan legislatif terutama terkait batas bawah omset sebuah usaha dikenakan pajak restoran," ujarnya.

Pada awalnya pemerintah Kota Palembang mengusulkan limit omset sebesar Rp. 6.000.000 per bulan, namun hal ini dianggap terlalu membebani.

"Sebelumnya ada demo dari pelaku usaha kuliner, ini berarti apa yang dikatakan DPRD sejalan dengan kondisi masyarakat saat ini yang merasa terlalu berat," ujarnya.

Hibbani juga mengatakan berkaca dengan Kota Surabaya, limit omset yang diambil sebagai pajak restoran sebesar Rp. 15.000.000 per bulan, seharusnya limit tersebut juga menjadi patokan pajak restoran Kota Palembang.

Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Palembang ini juga mengatakan sampai saat ini Reperda tersebut masih dibahas, dengan tetap mempertimbangkan target pajak daerah Tahun 2020 yang naik hingga 1,5 Triliun, namun juga tidak membebani pelaku usaha kuliner atau UMKM kecil.

"Kita usahakan untuk mencari solusi bersama pemerintah kota, saat ini sudah tahap finishing," ujarnya.

Seperti dikutip dari Instgram DPW PKS Sumsel, Hibanni menjelaskan pajak restoran harus bersahabt dengan UMKM.

Menurut dia, jika pemerintah kota memaksakan batas omset dikenakan pajak restoran sebesar Rp 6.000.000 per bulan atau sama dengan Rp 200.000 per hari.

Pulang dari Persembunyian untuk Bertemu Istri, Buronan Pencuri di Lubuklinggau Ini Ditangkap

Anggota Gerombolan Perampok Dibekuk Polres OKU Timur Pasca Buron Empat Tahun

"Angka itu sama saja pemerintah akan memunggut pajak dari pedagang nasi uduk yang berhasil menjual dagangannya 20 bungkus per hari,' kata dia.

Selanjutnya, pajak restoran merupakan pajak daerah yang betul-betul menyentuh lapisan masyarakat paling bawah.

Sehingga pemungutan pajaknya betul-betul harus dikalkulasi dengan baik, agar tidak menimbulkan gejolak.

Menurut dia, berbeda halnya dengan pajak hotel yang menyasara pemilik hotel, kos kosan atau bangunan sejenis yang dimiliki oleh masyarakat menengah.

"Restoran warung makan, kios makan sebagian dimiliki oleh masyarakat kecil," kata dia.

Selain itu, dalam analisis yang dilakukannya, Pemerintah kota tidak menemukan alasan yuridis darimana angka omset Rp 3 juta per bulan (berdasarkan Perda nomor 2 tahun 2018) dan omset Rp 6 juta per bulan (berdasarkan Raperda) menjadi limit Wajib Pajak (WP), untuk dikenakan pajak restoran.

Halaman
123
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved