Mimbar Jumat

Konsistensi Terhadap Moderasi Keberagamaan Nahdlatul Ulama

Konferwil merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi di tingkat wilayah. Acara ini dia­gen­dakan akan dihadiri ratusan ulama yang terlibat

Editor: Bejoroy
Istimewa
Dr. H. Muhammad Adil, MA (Akademisi UIN Raden Fatah Palembang) 

Refleksi untuk Konfrensi Wilayah Sumatera Selatan
Oleh: Dr. H. Muhammad Adil, MA
(Akademisi UIN Raden Fatah Palembang)

Konferensi Wilayah Nahdlatul Ulama (Konferwil NU) Provinsi Sumatera Selatan(Sumsel) ke-22 akan berlangsung 17-19 Januari 2020 bertempat di Pondok Pesantren ash-Shiddiqiyah Ka­bu­paten Ogan Komering Ilir. Hajatan besar ini rencananya akan dihadiri oleh Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj, dan akan dibuka langsung oleh Gubernur Sumatera Selatan, Herman Deru.

Konferwil merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi di tingkat wilayah. Acara ini dia­gen­dakan akan dihadiri ratusan ulama yang terlibat sebagai pengurus di berbagai tingkatan se­per­ti pengurus wilayah, pengurus cabang di seluruh kabupaten/kota, badan otonom, dan lembaga.

Berkolaborasi dengan Nahdlatul Ulama, GoPay Kembangkan Metode Bersedekah Lewat QR Code

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Sumsel Komitmen Perangi Hoax

Agenda utamanya antara lain membahas berbagai masalah yang terjadi di masyarakat melalui sidang-sidang komisi meliputi persoalan keagamaan dan kebangsaan. Agenda penting lainnya,a­­kan ada pergantian kepengurusan, yang diditandai dengan pemilihan ketua wilayah yang baru.

Idealnya, jika agenda kegiatan ini berhasil dilaksanakan sesuai dengan urutan-urutannya, maka a­kan menghasilkan banyak keputusan-keputusan penting, yang implikasinya, diharapkan bukan hanya untuk warga NU, tapi juga untuk semua komponen masyarakat berbangsa dan bernegara.

Keputusan penting ini nanti akan dikawal oleh sang pengemban amanah, ketua wilayah yang ter­pi­lih. Namun demikian, jika kegiatan ini tidak berhasil, maka konferwil ini hanya berupa ke­gi­atan rutinitas biasa saja, tidak akan ada dampaknya sama sekali kepada masyarakat. Mungkin, akan menjadi cemoohan banyak pihak.

Karenanya, yang perlu diwaspadai adalah banyaknya kepentingan yang dikhawatirkan “mem­bon­cengi” kegiatan ini. Jika ini terjadi, maka alih-alih konferensi ini berjalan ideal sesuai ha­rapan, malah yang terjadi bahwa arena konferwil disusupi oleh kepentingan tertentu.NU, pasca re­formasi, memang memiliki daya pikat yang luar biasa.

Karena, memiliki jumlah anggota yang sa­ngat besar, ditambah lagi bahwa organisasi ini digawangi oleh para kiai, yang umumnya me­miliki jumlah umat yang banyak. Apa lagi, bila sang kiai adalah kiai pesantren yang memiliki pengajian di banyak tempat. Kondisi seperti ini membuat NU terkadang berada pada posisi yang ser­ba sulit, dan tidak jarang, NU “terseret” oleh kepentingan politik. Faktanya, selama ini NU me­mang sulit untuk menghindar.

Kondisi ini terjadi karena perubahan sistem ketatanegaraan kita. Misalnya sistem pemilihan, dari perwakilan ke pemilihan langsung. Baik saat pemilihan presiden/wakil presiden, pemilihan kepa­la daerah (gebernur, bupati, dan walikota), maupun saat pemilihan anggota legislatif di berbagai ti­ngkatan. Karena pemilihan langsung, maka organisasi yang memiliki jumlah umat yang banyak seperti NU, tentu akan menjadi rebutan.

Dan, pada konferwil NU kali ini, demi menjaga marwah organisasi, maka, sejak jauh-jauh hari, Gu­bernur Sumsel, Herman Deru, yang juga sebagai ketua ISNU Sumsel, sudah memberikan pe­ringatan, bahwa konferwil NU hendaknya tidak dimaknai dan dilakukan secara politis, karena NU bukan lembaga politik. Pesan ini, seolah mengajak kepada semua peserta yang terlibat dalam ke­giatan konferwil untuk memerhatikan khittah NU sebagai organisasi keagamaan yang inde­pen­den, harusnya berdiri di atas semua kepentingan.

Sebenarnya, memang banyak pihak menaruh harapan yang begitu besar kepada NU. Tidak hanya warga NU, tapi juga pihak lain. Masyarakat berharap bahwa konferwil ini akan menghasilkan ber­bagai keputusan yang dapat menyentuh substansi keumatan. Terlebih lagi, konferwil kali ini, waktu pelaksanaannya, dihelat tepat 10 hari lagi NU akan memeringati hari lahirnya, yaitu tang­gal 31 Januari (1926—2020). Artinya, konferensi ini, jika dilakukan dengan serius dan sunguh-sung­guh, maka, akan memiliki momentum yang sangat tepat melakukan refleksi kehadiran NU di tengah-tengah masyarakat Sumatera Selatan.

Dalam kontek konferwil, maka hajat besar ini tidak hanya sekadar melaksanakan konferwil seba­gai agenda rutin pergantian kepengurusan periodik 5 tahunan, tapi lebih dari itu, bahwa arena ini se­jatinya dijadikan sebagai sarana membincang banyak hal, dan yang paling penting akan meng­hasilkan berbagai keputusan strategis berkaitan dengan kondisi keberagamaan dan kebangsaan yang sekarang ini sedang mengalami fase yang tidak begitu produktif. Tentu, peran NU di semua tingkatan sangat diharapkan sebagai respon positif untuk menjaga marwah organisasi, terutama menyangkut konsistensi peran dan posisi organisasi sejak ini didirikan.

Terkait dengan haul NU, mestinya warga NU yang sekarang sedang menjadi pengurus, baik di tingkat wilayah, maupun di kabupaten/kota, hendaknya perlu melakukan muhasabah, rethingking ter­hadap eksistensi organisasi, terutama menyangkut visi besarnya, bahwa dilihat dari sejarah lahir dan pendiriannya adalah dalam rangka menjawab perubahan yang terjadi di dunia Islam ka­la itu, bahwa dunia sedang berubah dari sistem khilafah, menjadi negara bangsa (nation state). Ten­tu perbincangannya, adalah mulai dari sejak runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani pada tahun 1924, sampai dengan sekarang.

Konsistensi terhadap moderasi keberagamaan NU, dapat dilihat pada pola hubungan persau­dara­an. NU merumuskan dan menerapkan model tri persaudaraan yang mereka beri nama ukhuwwah wa­thaniyah (persaudaraan sebangsa), ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan seagama), dan ukhuw­wah banyariah (persaudaraan antar sesama manusia). Pilihan seperti ini kemudian dinilai sebagai ke­luesan dan kelenturan NU dalam menerapkan nilai-nilai keagamaan pada tataran im­ple­men­tasi.

Sumbernya tentu merujuk kepada Alquran dan Hadis. Misalnya pada ayat “Innamal muk­minuna ikhwah” (sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara). Dan Hadis “al-muslim lil muslim kal­bunyan yasyuddu ba’dluhum ba’dla” (orang muslim yang satu dengan muslim yang lain bersaudara. Juga ayat 13 surat al-Hujurat “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu da­ri seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan ber­suku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Halaman
12
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved