Ustaz Taufik Hasnuri Meninggal

Alm Ustadz Taufik Hasnuri dan Desa Gelebak Dalam

Palembang berduka, salah satu putra terbaiknya, ulama besar di Tanah Sriwijaya ini, Ustad KH Taufik Hasnuri, wafat menghadap Sang Khalik (14/11).

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Alm Ustadz Taufik Hasnuri dan Desa Gelebak Dalam
ist
Dr. Yenrizal, M.Si.

Alm Ust. Taufik Hasnuri dan Desa Gelebak Dalam

Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si.

Doktor Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah Palembang

Palembang berduka, salah satu putra terbaiknya, ulama besar di Tanah Sriwijaya ini, Ustad KH Taufik Hasnuri, wafat menghadap Sang Khalik (14/11).

Sosok yang terkenal dengan ceramahnya yang kental berbahasa Palembang, kocak, namun tegas dalam dakwah ini, meninggal dalam usia 45 tahun setelah sebelumnya sakit dalam beberapa waktu.

Di usia yang masih tergolong muda, sungguh merupakan ke­hi­lang­an besar bagi warga Sumatera Selatan dan bahkan Indonesia.

Warga Palembang tentu sangat mengenal sosok kharismatik ini.

Mungkin tidak semuanya pernah ber­te­mu muka, tapi dakwahnya sudah sangat dikenal.

Jemaah pengajiannya ada dimana-mana.

Selain aktif da­lam ceramah dari masjid ke masjid, beliau juga menjadi penceramah tetap di beberapa stasiun radio dan TV di Sumsel.

Tema-tema ceramahnya juga sangat variatif dan terkadang begitu kekinian.

Sebelum Meninggal Dunia, Ustaz Taufik Hasnuri Berceramah Tentang Kematian
Sebelum Meninggal Dunia, Ustaz Taufik Hasnuri Berceramah Tentang Kematian (SRIPOKU.COM/Rahmad Zilhakim)

Ust Taufik ki­ranya termasuk da’i yang paham dengan perkembangan umat, karena itu pengagumnya bisa dikatakan lintas golongan, baik usia, pendidikan, suku, dan bahkan lintas agama.

Tidak sedikit anak-anak muda yang tergolong ABG kenal dan antusias jika mengikuti ceramah beliau. Sekali lagi, ini adalah kehilangan be­sar ditengah persoalan umat yang sekarang semakin memprihatinkan.

Saya tidak ingin membahas soal apa dan siapa Ust Taufik Hasnuri, karena saya yakin publik Palembang su­dah kenal beliau, begitu juga soal materi ceramahnya.

Hal menarik dan mungkin menjadi tanda tanya bagi banyak kalangan adalah mengapa Sang Ulama meminta dimakamkan di Desa Gelebak Dalam, Ka­bu­paten Banyuasin dan apa pesan pentingnya?

Bukankah publik sudah tahu bahwa almarhum adalah so­sok Pa­lem­bang asli, bahkan kekentalan darah Palembangnya sendiri tercermin dari bahasa pengantar ya­ng digunakan dalam ceramah.

Bagi sebuah keluarga yang ditinggalkan oleh anggota keluarganya, pesan dari almarhum semasa hidup, ter­utama berkaitan dengan tempat pemakaman adalah wasiat yang harus dilaksanakan.

Mau tidak mau, wa­siat harus dilaksanakan, sudah menjadi tradisi bagi orang Indonesia untuk mematuhi keinginan ter­se­but.

Wasiat seperti itu biasanya punya alasan tersendiri dari almarhum semasa hidupnya.

Apalagi dalam hal ini, sosok yang mewasiatkan tersebut bukan orang biasa, ia adalah ulama yang punya jamaah de­mi­kian banyak.

Maka pesan dari Ust Taufik Hasnuri tentunya menjadi sesuatu yang luar biasa, terkhusus bagi warga Desa Gelebak Dalam.

Desa Gelebak Dalam adalah sebuah desa kecil di Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin.

Posisinya bi­sa dikatakan sebagai desa penyangga Palembang. Jaraknya hanya sekitar 22 km, atau 30 menit dari pusat kota.

Selepas dari Jakabaring, perjalanan bisa diteruskan ke arah Sungai Pinang dan berbelok ke arah Rambutan.

Jalan ini bisa tembus ke Jejawi dan bahkan ke Kayu Agung.

Sejak lama, Gelebak Dalam dan wilayah sekitarnya sudah menjadi sentra pertanian padi, karena itu ia ju­ga dinobatkan sebagai salah satu desa lumbung pangan di Sumsel.

Pertanian padi dengan pola tadah hu­jan menjadi ciri khas, yang sekarang sudah mulai digerakkan dengan cara membuat irigasi desa.
Selain pa­di, desa ini juga menjadi sumber ikan terutama komoditas ikan sungai, kendati belum diolah secara maksimal.

Desa ini berada sekitar 29 meter dari permukaan laut [DPL] dan suhu rata-rata selama setahun yakni 37 derajat celcius. Sebelah utara Desa Gelebak Dalam berbatasan dengan Desa Tanjung Merbu, sebelah timur dengan Desa Sako. Dua desa ini juga berada di Kecamatan Rambutan.

Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Komering yang masuk Kabupaten [Ogan Komering Ilir].

Umumnya warga yang tinggal di desa ini adalah keturunan dari Palembang.

Menurut sejarahnya desa ini dulunya merupakan pemukiman kaum ningrat Palembang yang berada di luar kota.

Pembentukan pemukiman awalnya disebut Sri Kuto Parung Priyayi pada 1795 M yang dipimpin Depati Mamat. Sejarah desa Gelebak Dalam menjelaskan ini dengan baik. 

Oleh karena itu, jejak wong Pelembang sangat jelas di desa ini.

Se­lanjutnya ketika Indonesia membentuk pemerintahan desa, pertengahan tahun 1970-an, Marga Pa­rung Priyayi menjadi Desa Gelebak Dalam.

Nama ini diambil dari nama potongan kayu dari pohon Ge­le­bak yang terendam dalam sebuah rawa, sebagai lokasi pemukiman baru masyarakat.

Pemimpin ma­syarakat bukan lagi pesirah, tapi kepala desa yang dipilih melalui musyawarah atau pemilihan lang­sung.

Jenazah Ustaz Taufik Hasnuri yang diantar ribuan jemaah saat tiba di Masjid Agung Palembang yang kini nama masjid telah diganti menjadi Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) I Jayo Wikramo.
Jenazah Ustaz Taufik Hasnuri yang diantar ribuan jemaah saat tiba di Masjid Agung Palembang yang kini nama masjid telah diganti menjadi Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) I Jayo Wikramo. (SRIPOKU.COM/Nisya)

Saat ini desa yang luasnya 1.773 hektare berpenduduk sekitar 2.000 jiwa dari 552 kepala keluarga. Se­per­ti di masa lalu, umumnya warga desa masih berkebun karet dan bersawah.

Hanya Sebagian kecil ber­profesi sebagai pedagang, pegawai negeri, dan lainnya.

Sebagai keturunan ningrat, sejumlah adat dan tradisi peninggalan Kesultanan Palembang [berazaskan ajar­an Islam] masih dipertahankan warga desa ini, seperti adat kelahiran, adat berkebun dan meme­li­ha­ra hewan berkaki empat, adat pernikahan, serta adat sopan santun itu terkait tata susila atau etika, se­perti dilarang seorang lelaki menyentuh atau memeluk gadis, istri orang atau janda yang bukan istrinya. Jika dilanggar maka akan mendapatkan sanksi adat.

Dalam perkembangannya, desa ini juga meng­em­bang­kan tradisi Sedulang Setudung sebagai bagian dari kekayaan yang mereka miliki.

Tahun 2015, saat terjadi kebakaran hutan dan lahan di berbagai wilayah Sumsel, Gelebak Dalam juga mengalaminya.

Hal ini tak terlepas dari kondisi lahan yang memang banyak rawa-rawa dan sebagian gambut dangkal.

Tahun 2019, saat kemarau panjang kembali datang, Gelebak Dalam justru mampu men­catatkan prestasi terbaik dengan menobatkan diri sebagai desa yang bebas karhutla.

Program dan ker­jasama yang baiklah yang kemudian mensukseskan zero asap di wilayah ini.

Gelebak Dalam bukanlah desa yang biasa-biasa saja, kendati ia hanya sebuah wilayah kecil di pinggir Pa­lembang.

Di daerah ini, tahun 2017 lalu, pernah dilaksanakan panen raya padi yang dihadiri oleh Pang­dam II Sriwijaya, Kapolda Sumsel, Danrem 044 Gapo dan jajaran pejabat provinsi dan kabupaten lainnya.

Gelebak Dalam juga mencatatkan diri sebagai desa yang menjadi mitra utama Korem 044 Gapo, dan juga UIN Raden Fatah.

Berbagai program percontohan, seperti pemakaian Bios 44 untuk pertanian, di­pra­ktekkan dan menunjukkan keberhasilannya.

Terobosan-terobosan kemudian banyak dilakukan oleh sang Kepala Desa sekarang yang masih berusia muda, termasuk dengan membeli ekskavator untuk membantu pertanian warga.

Mungkin satu-satunya desa di Sumsel yang punya ekskavator sendiri ada­lah Gelebak Dalam.

Keberhasilan-keberhasilan yang diperoleh Gelebak Dalam, tentu tidak datang begitu saja.

Selain ke­mam­puan berinovasi dan membangun jejaring, maka kehadiran sosok kharismatik, agamawan, kemudian men­jadi penambah motivasi sendiri bagi warga.

Kepala Desa, Hendri Sani, berkata bahwa tahun 2009 us­tad Taufik Hasnuri masuk ke desa ini.

Saat itu nama sang dai sudah cukup terkenal di masyarakat. A­wal­nya Ust Taufik hanya sekedar mengajar mengaji dan mengisi ceramah di masjid desa.

Tentu saja war­ga sangat menyambut baik, karena metode dan materi ceramahnya begitu berkesan. Tak hanya warga desa setempat, warga dari desa lainpun ikut berpartisipasi.

Gayung bersambut, semangat jemaah kemudian bertemu dengan keikhlasan Sang Ustad.

Akhirnya lam­bat laun terbentuklah jamaah pengajian yang kemudian disebut dengan Majelis Taklim Daarul Aw­wa­bien. Inilah cikal bakal yang kemudian semakin melengketkan Sang Ustad dengan Gelebak Dalam.

Desa ini­pun sudah bagaikan kampung sendiri baginya.

Ulama inipun kemudian memiliki tanah dan sawah di Gelebak Dalam, yang sebagian merupakan bentuk apresiasi warga terhadap dirinya.

Sejak itu pula ki­ra­nya Sang Ustad sudah ingin bermukim selamanya di desa nan tenang ini.

Keterangan Kepala Desa, sejak 2017, beliau bahkan sudah mempersiapkan tanah pemakaman untuknya nanti.

Inilah yang kemudian men­jadi wasiat penting bahwa beliau ingin bersemayam di salah satu kampungnya orang Palembang ini.

Kendati menautkan hati ke Gelebak Dalam, sejatinya Ustad Taufik tetaplah ulama bagi semua umat.

Ia te­tap rajin dan rutin memberikan pengajian ke berbagai tempat, memperjuangkan berbagai aspirasi u­mat dan tentu saja memberikan konsultasi pada siapapun yang meminta.

Khas seorang Kyai bagi semua umat tetap melekat padanya.

Sebuah pesan penting disampaikan oleh Sang Ustad pada Kepala Desa Gelebak Dalam saat ia membesuk ulama ini ke Rumah Sakit, dimana Ustad Taufik memanggilnya langsung dan memeluknya sembari ber­ka­ta, “Mau dibawa kemana Gelebak Dalam ada ditanganmu Kades, mau dibawa ke yang baik ataupun bu­ruk, semua ada ditanganmu.”

Inilah Wasiat Terakhir Ustaz Taufik Hasnuri Kepada Keluarga, Minta Dimakamkan di Ds Glebek Banyuasin
Inilah Wasiat Terakhir Ustaz Taufik Hasnuri Kepada Keluarga, Minta Dimakamkan di Ds Glebek Banyuasin (Sripoku.com/Rahmad Zilhakim)

Itulah pesan penting seorang ulama kepada seorang pemimpin desa. Pe­san yang tidak sederhana, karena menyiratkan pentingnya tanggung jawab dan amanah seorang pe­mim­pin.

Sekarang, Ustad Taufik Hasnuri telah pergi, tapi hikmah dari semuanya penting untuk dicermati. Yang je­las, umur manusia adalah ketentuan Allah SWT.

Sosok Ustad Taufik yang begitu didambakan harus pa­tuh pada takdir Allah SWT, tak ada yang bisa memprediksi kapan ia akan menghadap Sang Khalik, karena itu kesiapan diri adalah yang utama.

Selanjutnya, mengutip pesannya pada Sang Kades, semua pemimpin memiliki tanggungjawab besar.

Ba­ik atau buruknya umat, adalah tanggung jawab seorang pemimpin, pada level apapun pemimpin itu ber­ada.

Tanggung jawab yang menunjukkan bahwa beban seorang pemimpin jangan hanya diukur di dunia saja, di akhirat ada ketentuan lain yang sudah menunggu.

Semoga semua ajaran dan petuah dari Ustad Taufik Hasnuri semasa hidupnya mampu membangkitkan kesadaran kita bersama. Tidak hanya bagi De­sa Gelebak Dalam, tapi semua umat.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved