TERUNGKAP 3 Tokoh tak Setuju Jokowi Terbitkan Perppu KPK, Mayoritas Koalisi Jokowi Menolak?

TERUNGKAP 3 Tokoh tak Setuju Jokowi Terbitkan Perppu KPK, Mayoritas Koalisi Jokowi Menolak?

Editor: Fadhila Rahma
Youtube Kompastv
Jokowi 

TERUNGKAP 3 Tokoh tak Setuju Jokowi Terbitkan Perppu KPK, Mayoritas Koalisi Jokowi Menolak?

SRIPOKU.COM - Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) adalah langkah terakhir yang bisa diambil oleh Presiden Joko Widodo untuk menyelamatkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Sejumlah revisi atas UU ini telah ditetapkan dan disahkan oleh DPR beberapa waktu lalu, meskipun dinilai melemahkan KPK dan mendapat gelombang penolakan cukup besar dari berbagai elemen masyarakat.

Namun, meski Perppu menjadi satu-satunya pilihan yang bisa dilakukan Presiden untuk memenuhi kehendak sebagian besar masyarakat menyelamatkan KPK, ada beberapa tokoh yang memandang Perppu tidak perlu diterbitkan.

Pendapat itu tentunya dilatarbelakangi oleh berbagai alasan. Dan berikut ini adalah tokoh-tokoh yang menolak Presiden mengeluarkan Perppu tentang KPK.

Diberhentikan Presiden Jokowi dari Jabatan Kapolri, Tak Disangka Jenderal Ini Dulunya Kuli Bangunan

Jokowi Tiba-tiba Minta Hari Pelantikan Presiden RI Dipercepat, Benarkah Takut di Demo? Ini Faktanya

Presiden BEM UGM Atiatul Muqtadir Berani Tantang Presiden Jokowi Bertemu di Depan Publik & Terbuka

Jusuf Kalla

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan kurang setuju jika Jokowi menerbitkan Perppu sebagai langkah mengatasi polemik RUU KPK yang sudah terlanjur disahkan oleh DPR.

Menurutnya ada jalan lain yang masih bisa ditempuh oleh Presiden, salah satunya melalui jalur Mahkamah Konstitusi (MK).

“Ya kan ada jalan yang konstitusional yaitu judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi). Itu jalan yang terbaik karena itu lebih tepat. Kalau Perppu itu masih banyak pro-kontranya,” kata JK, Selasa (1/10/2019).

Alasan lain yang dikemukakan JK, mengeluarkan Perppu sama halnya dengan menjatuhkan kewibawaan Pemerintah yang sebelumnya baru saja menyetujui DPR melakukan revisi.

“Karena baru saja Presiden teken berlaku, langsung Presiden sendiri tarik. Kan tidak bagus. Di mana kita mau tempatkan kewibawaan pemerintah kalau baru teken berlaku kemudian kita tarik. Logikanya di mana?” ujar JK.

Yasonna Laoly

Mantan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga tidak mendukung jika Presiden menerbitkan Perppu.

Ia beranggapan keputusan untuk merevisi UU KPK adalah hal yang sudah tepat sehingga tidak perlu ditinjau kembali apalagi dengan mengeluarkan Perppu.

“Sebaiknya jangan. Ini kan kita maksudkan untuk perbaikan governance-nya KPK,” kata Yasonna yang kini sudah menjadi anggota DPR, Rabu (2/10/2019).

Politisi partai PDI-Perjuangan ini menyarankan jika masih ingin membahas UU KPK sebaiknya melalui jalur konstitusional dan berhenti mendesak Presiden menerbitkan Perppu.

“Jangan membudayakan menekan-nekan. Sudahlah. Kita atur secara konstitusional saja,” ujar Yasonna.

Arsul Sani

Partai-partai koalisi pendukung Jokowi juga turut menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap pembentukan Perppu.

Ketidaksetujuan itu sudah disampaikan pada Presiden oleh para ketua umum parpol dalam satu pertemuan di Istana.

Koalisi menyebut penerbitan Perppu menjadi langkah akhir yang paling final dan bisa diambil jika memang dibutuhkan. Sebelum itu, masih ada jalan konstitusional yang bisa ditempuh.

Hal itu disampaikan oleh Sekjen PPP Arsul Sani, Senin (30/9/2019).

“Kami tidak beri masukan secara spesifik. Hanya tentu partai politik menyampaikan bahwa opsi Perppu harus menjadi opsi paling terakhir karena ada opsi lainnya yang mesti dieksplor juga,” ujar Arsul.

Ia menambahkan, sudah semestinya Presiden mempertimbangkan masukan yang diberikan oleh partai-partai politik yang mendukungnya, karena bagaimanapun perolehan suara yang didapatkan Jokowi di pemilihan presiden kemarin banyak berasal dari hasil kerja partai politik.

“Harus ingat juga parpol merepresentasikan, mungkin suara parpol yang ada di Pak Jokowi 60 persen dari seluruh jumlah pemilih. Berarti 100 jutaan. Itu signifikan. Tidak mungkin rakyat mempercayakan parpol yang ada di parlemen kalau semua dianggap mengkhianati amanah rakyat,” jelas dia.

Jika sudah seperti ini, masyarakat tinggal menanti keputusan apa yang akan diambil oleh sang Kepala Negara.

Apakah dia akan menuruti bisikan partai politik yang berada di sekitar istana, atau teriakan rakyat di jalanan terbuka yang memintanya membatalkan UU KPK melalui Perppu.

Sumber: Kompas.com/Rakhmat Nur Hakim, Ihsanuddin

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "3 Tokoh yang Tak Setuju Jokowi Terbitkan Perppu KPK"
Penulis : Luthfia Ayu Azanella
Editor : Resa Eka Ayu Sartika

Jokowi Pernah Terbitkan 4 Perppu Termasuk soal UU KPK

Wacana Presiden Joko Widodo yang mempertimbangkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ( perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) hasil revisi menuai pro dan kontra.

Pertimbangan Presiden tersebut muncul setelah ada desakan masyarakat agar Jokowi membatalkan revisi UU KPK yang telah disahkan oleh DPR RI pada 17 September 2019.

Sebab, poin-poin yang terkandung di dalamnya dianggap cenderung melemahkan kewenangan lembaga antirasuah itu.

Namun, ada pula pihak yang menganggap tak ada urgensi untuk menerbitkanPerppu.

Salah satunya disampaikan oleh mantan pelaksana tugas pimpinan KPKIndriyanto Seno Aji.

Menurut dia, penerbitan perppu harus memenuhi syarat konstitusional dan yudisial, tak sekadar karena banyaknya desakan.

Berdasarkan dua syarat tersebut, Presiden hanya bisa menerbitkan perppu jika ada kegentingan yang memaksanya menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Salah satu anggota tim penyusun UU KPK ini mengatakan, syarat perppu diterbitkan adalah apabila ada kekosongan hukum yang tidak bisa diselesaikan dengan membuat UU secara prosedur karena memerlukan waktu yang cukup lama, sementara keadaan sudah mendesak.

Menurut Indriyanto, jalan terbaik untuk menyelesaikan polemik UU KPK adalah dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Dalam pemahaman dan persyaratan konstitusional, tidak ada kegentingan yang memaksa yang mengharuskan Presiden menerbitkan perppu atas Revisi UU KPK," tuturnya.

Sebelumnya Jokowi pernah menerbitkan Perppu untuk UU KPK pada 2015.

Selain itu, ada tiga Perppu lainnya yang dikeluarkan di era Jokowi, tanpa menuai perdebatan panjang.

Seperti apa kondisiya saat itu?

1. Perppu KPK

Jokowi pernah menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2015 tentang KPK pada 18 Februari 2015.

Penerbitan Perppu tersebut menyusul kekosongan keanggotaan pimpinan KPK setelah ditinggal Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Saat itu, keduanya diberhentikan karena ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.

Dilansir dari dokumentasi Kompas.com, Untuk menjaga kelangsungan dan kesinambungan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah memandang perlu pengaturan mengenai pengisian keanggotaan sementara pimpinan KPK.

Namun, UU KPK tak memuat pengaturan untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK.

Dalam perppu yang terdiri atas tujuh lembar itu, pemerintah mengubah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dengan menambahkan dua pasal di antara Pasal 33 dan 34, yakni Pasal 33A dan Pasal 34B.

Pasal 33A Perppu No. 1/2015 itu menyebutkan, dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan pimpinan KPK berjumlah kurang dari tigaorang, Presiden mengangkat anggota sementara pimpinan KPK sejumlah jabatan yang kosong.

"Anggota sementara pimpinan KPK sebagaimana dimaksud mempunyai tugas, wewenang, kewajiban, dan hak yang sama dengan pimpinan KPK," bunyi Pasal 33A ayat (2) Perppu tersebut.

Calon anggota pimpinan sementara KPK sebagaimana dimaksud harus memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan syarat usia, setinggi-tingginya 65 tahun.

Perppu ini menegaskan, pengangkatan dan pemberhentian anggota sementara pimpinan KPK ditetapkan oleh Presiden.

Terkait Perppu ini, saat itu pimpinan DPR menyerahkan seluruhnya pada presiden. Sementara Komisi III keberatan adanya penghapusan batas usia maksimal pimpinan.

Mereka curiga, dihapusnya batasan umur itu untuk mengakomodir calon tertentu, yakni Taufiqurrahman Ruki yang sudah melebihi usia 65 tahun.

Kecurigaan tersebut ternyata dibenarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly. Ia mengakui bahwa dihapusnya batasan umur dalam Perppu itu sengaja dilakukan agar Ruki dapat ditunjuk sebagai pimpinan sementara KPK.

Menurut dia, tokoh senior yang pernah memimpin KPK seperti Ruki adalah sosok yang tepat untuk memimpin KPK yang tengah menghadapi masalah saat itu.

"Karena sudah sangat kritis, diperlukan seorang pimpinan KPK yang berpengalaman dan pernah menjabat di sana," kata Yasonna.

2. Perppu Kebiri

Pada Oktober 2016, DPR mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.

Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara.

Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.

Perppu ini mengubah dua pasal dari UU sebelumnya yakni pasal 81 dan 82, serta menambah satu pasal 81A.

Namun, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri.

Pelaksanaan hukuman kebiri oleh dokter dianggap melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

"Kita tidak menentang Perppu mengenai tambahan hukuman kebiri. Tetapi, eksekusi penyuntikan jangan lah seorang dokter, " ujar Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (9/6/2016).

Marsis menegaskan, IDI mendukung kebijakan pemerintah untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kekerasan seksual pada anak. Namun, menolak dilibatkan dalam pelaksanaan hukuman kebiri atau menjadi eksekutor.

Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), dokter Priyo Sidipratomo mengatakan, dokter tidak akan menggunakan pengetahuannya untuk hal yang bertentangan dengan prikemanusiaan sekalipun diajak.

Hal itu disebutkan dalam sumpah dokter.

Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Komnas Anak Reza Indragiri Amriel menilai wajar ada penolakan IDI soal eksekusi hukuman kebiri. Pasalnya, penerapan hukuman itu tak bertujuan untuk merehabilitasi.

"Di negara-negara yang mempraktekan kebiri kimiawi, dokter tidak menunjukkan resistensi karena di negara-negara tersebut kebiri kimiawi dilakukan berdasarkan keinginan si predator," kata Reza.

Reza menyatakan, kebiri kimiawi secara sukarela dilakukan dalam rangka untuk mengubah perilaku.

"Ini sekaligus memberikan pemahaman tentang efektivitas kebiri, kebiri kimiawi menjadi solusi efektif ketika si predator sukarela menghendaki kebiri itu. Kehendak sukarela itulah yang mengaktivasi efek jera di dalam diri pelaku," lanjut Reza.

3. Perppu Akses Informasi Keuangan

Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, pada 8 Mei 2017.

Penerbitan perppu ini merpakan tindak lanjut dari amnesti pajak.

Melalui aturan ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memiliki keleluasaan untuk mengakses informasi keuangan nasabah yang merupakan wajib pajak tanpa seizin Bank Indonesia.

Ditjen Pajak juga langsung meminta data ke bank.

Implementasi perppu ini diyakini dapat meningkatkan penerimaan negara. Terlebih, saat itu modus pencucian uang (money laundering) sudah semakin canggih.

Misalnya, jika menggunakan Bitcoin, di mana transaksi akan menjadi sulit dilacak.

Sistem transparansi rekening perbankan, akan mempermudah pelacakan transaksi-transaksi semacam itu.

Jokowi saat itu mengatakan, Perppu ini dibuat untuk menyambut keterbukaan informasi keuangan di tingkat dunia yang akan terhubung pertengahan tahun 2018.

Jika sistem infromasi tak terbuka, kata Jokowi, Indonesia bisa dianggap negara ecek-ecek.

"Semua pengusaha tahu soal ini. Mereka yang tidak ikut program Tax Amnesty, akan ketahuan jika punya aset di mana pun. Semua akan dibuka," ujar Jokowi.

4. Perppu Ormas

Jokowi menandatangani Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat pada 10 Juli 2017.

Dengan Perppu tersebut, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM bisa lebih mudah membubarkan organisasi masyarakat yang dinilai anti-Pancasila.

Saat itu, tengah ramai pembicaraan tentang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila.

Namun, sejumlah aktivis kontra dengan perppu tersebut karena dianggap mengancam demokrasi dan hak asasi manusia.

Selain itu, Perppu Ormas juga menghapus pendekatan persuasif dalam penanganan ormas yang dianggap melakukan pelanggaran.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menegaskan, Perppu itu bukan diarahkan untuk mencederai keberadaan ormas berbasis Islam.

"Tidak sama sekali diarahkan untuk mencederai keberadaan atau mendiskreditkan ormas Islam. Apalagi Perppu dianggap mendiskreditkan masyarakat Muslim yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, sama sekali tidak," ujar Wiranto.

Perppu tersebut bukan juga untuk membatasi ormas dan bukan merupakan tindakan kesewenang-wenangan pemerintah.

Penerbitan perppu ini disebut untuk menambal kekurangan dalam UU Ormas.

Pertama, dari sisi administrasi. UU Ormas dinilai tidak memadai untuk mengatur terkait meluasnya ormas yang bertentangan, baik itu dari sisi norma hukum, sanksi, dan prosedur hukum yang berlaku.

Wiranto menilai UU Ormas tidak mengatur mengenai pemberian izin dan pencabutan izin, yang seharusnya berasal dari lembaga atau institusi yang sama.

Kemudian, UU Ormas dianggap kurang memadai dalam memberikan definisi mengenai ajaran dan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam UU Ormas, dituliskan bahwa yang bertentangan dengan Pancasila adalah ateisme, komunisme, dan marxisme-leninisme.

"Tetapi ada ajaran lain yang bisa menggantikan dan bertentangan dengan Pancasila, yang diarahkan untuk mengganti Pancasila kita, mengganti eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu tidak tercakup dalam undang-undang lama," kata dia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jokowi Pernah Terbitkan 4 Perppu Termasuk soal UU KPK, Seperti Apa Kondisi Saat Itu?"
Penulis : Ambaranie Nadia Kemala Movanita
Editor : Bayu Galih

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved