Refleksi Kasus Baiq Nuril
Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Hakim (Refleksi Kasus Baiq Nuril)
Eksistensi putusan hakim sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana.
Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Hakim
(Refleksi Kasus Baiq Nuril)
Oleh:
Oleh: Mahendra Kusuma, SH, MH.
(Dosen PNSD LLDIKTIWilayah II Dpk FH Universitas Tamansiswa Palembang)
(Dosen PNSD LLDIKTIWilayah II Dpk FH Universitas Tamansiswa Palembang)
Eksistensi putusan hakim sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Apabila ditinjau dari optik hakim yang mengadili perkara pidana tersebut, maka putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi, penguasaan hukum atau fakta, secara mapan dan faktual serta visualisasi etika beserta moral dari hakim yang bersangkutan.
Dalam realitas, banyak putusan hakim yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Putusan pengadilan hanya menciptakan keputusan-keputusan yang adil secara prosedural.
Salah satu putusan hakim (di tingkat Mahkamah Agung) yang jauh dari rasa keadilan adalah putusan yang menghukum Baiq Nuril dengan hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 Juta. Baiq Nuril dituduh menyebarkan konten pornografi.
Nuril didakwa melanggar UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Putusan MA tersebut menodairasa keadilan masyarakat. Artidjo Alkostar, seorang Hakim Agung (kini pensiun) yang sering berbeda pendapat dengan Hakim Agung yang lain menyatakan bahwa dalam membuat putusan seorang hakim harus mendasarkan putusannya pada rasa keadilan masyarakat.
Putusan hakim yang baik seyogianyabertitik tolak dari tiga unsur penegakan hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum.
Hukum tidak hanya melulu terpaku pada kepastian hukumnya saja, akan tetapi juga harus memperhatikan aspek keadilan dan kemanfaatan.
Terkait perkara Baiq Nuril, putusan hakim agunghanya mencerminkan kepastian hukum Dalam perkara ini, majelis hakim agung menilai Baiq Nuril sudah memenuhi unsur pidana dalam UU ITE. Putusan hakim agung tersebut sontak mendapat kecaman dari berbagai kalangan.
Putusan tersebut hanya berorientasi pada kepastian hukum sebagaimana halnya penanganan perkara pidana pada umumnya.
Artinya, terdakwa yang dinyatakan bersalah harus dipidana dan majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan implikasi dari penjatuhan pidana penjara kepada terdakwa yang sebenarnya menjadi korban pelecehan seksual atasannya.
Di kalangan hakim pada umumnya selalu ada kekhawatiran untuk menyimpangi prinsip kepastian hukum daripada mengesampingkan keadilan substantif, karena secara logika akan lebih mudah beragumen dibalik logika kepastian hukum yang tertulis secara letterlijk dalam aturan undang-undang ketimbang harus mempertahankan keyakinan dengan dasar nilai keadilan yang abstrak.
Contoh, ketika seorang hakim Bismar Siregar melakukan terobosan dengan memperluas pengertian unsur “barang” dalam Pasal 378 KUHP, walaupun secara sosiologis diakui merupakan penemuan hukum yang memberikan keadilan, namun secara legal formal teroboosan seperti itu dianggap sebagai kekeliruan yang merusak nilai kepastian hukum ( Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, 2013)
Sering terdengar penegakan hukum itu tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, karena para hakim pada umumnya hanya menginginkan terciptanya penegakan hukum/kepastian hukum dengan mengesampingkan atau mengabaikan rasa keadilan.
Model hakim seperti di atas, dapat merusak sendi-sendi dan nilai penegakan hukum yang berkeadilan.
Di satu sisi hukum itu harus ditegakkan, tetapi di lain pihak keadilan pun harus ditegakkan.
Penegakan hukum itu merupakan jembatan/pintu masuk untuk mencapai tujuan keadilan.
Jika “keadilan” itu sudah ditegakkan lewat koridor hukum dan diterima oleh masyarakat tanpa gejolak di masyarakat,.
Dapat dipastikan penegakan hukum yang berkeadilan telah terwujud, tetapi kalau hanya sebatas penegakan hukumnya tanpa menggali nilai-nilai keadilan lewat fakta yang terungkap dipersidangan, maka yang terjadi hanyalah penegakan hukum “semu”. (Binsar M. Gultom, 2012).
Menurut Prof Sudikno Mertokusumo, masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum.
Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.
Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam konteks putusan, hakim wajib memperhatikan pertimbangan hukum dengan nalar yang baik, mengapa dalam kasus tertentu harus memilih pada salah satu asas.
Kualitas putusan hakim dapat dinilai dari bobot alasan dan pertimbangan hukum yang digunakan dalam suatu perkara pidana.
Seorang hakim, dengan suatu pertimbangan hukum dengan nalar yang baik, dapat menentukan kapan berada lebih dekat dengan kepastian hukum, dan kapan lebih dekat dengan keadilan.
Pada dasarnya asas kemanfaatan bergerak di antara titik kepastian hukum dan titik keadilan, dan hakim lebih melihat kepada tujuan atau kegunaan dari hukum kepada masyarakat.
Sebab, hakikat hukum dibuat untuk menjaga kepentingan manusia.
Perlu dipahami bahwa putusan hakim yang menekankan kemanfaatan tidak berarti bahwa kepastian hukum dan keadilan telah diabaikan.
Kepastian hukum dan keadilan tetap ada dalam putusan hakim ini, yakni kepastian hukum dengan telah memberikan jalan keluar terhadap masalah hukum yang dihadapi oleh korban dan pelaku dan putusan dimaksud telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Keadilan yang dimaksudkan dalam putusan tersebut adalah adanya persamaan hak antara korban dengan pelaku.
Penegakan hukum dengan menggunakan pendekatan manfaat tidak lain bertujuan untuk mengisi celah-celah kosong antara keadilan dan kepastian hukum.
Idealnya keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum dapat dipersatukan dalam sebuah putusan sesuai kasus in concreto dengan menggunakan triangular concept.
Namun ketika antara keadilan dan kepastian hukum tidak dapat disandingkan secara bersamaan, maka hakim harus memilih di antara keduanya yang lebih mendatangkan kemanfaatan hukum bagi para pencari keadilan atau bagi hukum itu sendiri.