Bencana Alam

Bencana Alam Bukan Azab

Beberapa tahun belakangan, intensitas bencana alam , cukup menyita perhatian sekaligus memunculkan banyak kekhawatiran.

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Bencana Alam Bukan Azab
ist
H. John Supriyanto, MA

"Bencana Alam Bukan Azab"
Oleh : H. John Supriyanto, MA
Dosen tetap Ilmu Al Qur'an dan Tafsir UIN Raden Fatah dan Sekolah
Tinggi Ilmu Al Qur'an Al-Lathifiyyah Palembang
 BBeberapa tahun belakangan, intensitas bencana alam --di Indonesia khususnya, cukup menyita perhatian sekaligus memunculkan banyak kekhawatiran.

Berbagai bencana alam tersebut telah menelan ratusan ribu korban jiwa dan luluh-lantahnya infrastruktur.

Selain itu, di manapun dan kapanpun bencana alam pasti meninggalkan trauma dan beban psikologis yang cukup berat bagi korban.

Gempa bumi, banjir, tsunami, tanah longsor, aktifitas gunung berapi, angin puting beliung dan lain sebagainya, apapun jenisnya selalu menimbulkan masalah di kemudian hari.

Ironisnya, berbagai bencana alam juga kerapkali dikaitkan dengan azab dan kemarahan Tuhan pada manusia, utamanya masyarakat atau daerah yang terkena bencana.

Bahkan ada pula yang melihat bencana alam yang makin intens itu dengan kacamata politik, lalu menghubungkannya dengan dosa dan kesalahan para pemimpin bangsa.

Bencana alam dipandang sebagai bentuk kemurkaan Tuhan pada manusia atas dosa dan kesalahan yang tak termaafkan.

Dengan begitu, bencana dirasa sangat menyakitkan dan mengakibatkan penderitaan yang mendalam.

Tidak hanya derita fisik yang berupa kehilangan keluarga, harta benda dan matapencaharian, hancur dan rusaknya tempat tinggal dan lain sebagainya, tetapi juga derita batin karena dipandang sebagai pendosa yang mengundang murka Tuhan.

Ibarat kata, "sudah jatuh, tertimpa tangga pula."

Karenanya pemahaman tentang bencana alam ini harus diluruskan dan dikembalikan pada makna yang sebenarnya.

Melihat penjelasan Al Qur'an, fenomena bencana alam dapat dipahami paling tidak dalam tiga konteks, sebagai azab (Qs. al-Isra' : 16), ujian (Qs. al-Ankabut : 2) dan hukum alam (Qs. an-Naml : 88).

Bencana alam sebagai azab hanya diungkapkan Al Qur'an dalam konteks kisah umat-umat terdahulu yang membangkang pada para nabinya.

Kasus yang terjadi pada Bani Rasib (umat Nabi Nuh as) misalnya.
Mereka dimusnahkan dengan bencana banjir dahsyat dan menenggelamkan hampir sepertiga bumi.
Begitu pula dengan kaum 'Ad (umat Nabi Hud as) yang ditimpakan bencana angin puting beliung, kaum Tsamud (umat Nabi Shalih as) dengan petir dan gempa super dahsyat, kaum Sodom (umat Nabi Luth as) dengan hujan dan likuifaksi sadis yang menjadikan negeri mereka terbalik, kaum Madyan dan Ashab al-Aikah (umat Nabi Syu'aib as) dengan gempa berkekuatan tinggi dan gumpalan awan panas.

Semua pembangkangan dan penolakan terhadap ajaran Tuhan adalah dosa yang tak termaafkan.

Karenanya, secara kontan mereka dihancurkan dengan bencana sebagai azab dan bentuk kemurkaan Tuhan.

Namun, trend bencana alam sebagai azab ini ternyata tidak berlaku pada umat Nabi Terakhir, Muhammad SAW. Prinsip yang diusung oleh Islam adalah "rahmatan li al-‘alamin" (Qs. al-Anbiya' : 107).

Islam memandang bahwa berbagai tindak pembangkangan terhadap ajaran Tuhan adalah sebuah kejahilan. Dalam bahasa lain, para penolak dan pembangkang itu adalah orang-orang yang tidak tahu.

Hal ini antara lain tergambar dalam do'a Nabi Saw. saat tubuhnya berdarah-darah akibat lemparan batu orang-orang kafir Makkah.
Beliau berdo'a : "Allahumma hdihim fa innahum la ya'lamun" (Ya Allah, bimbinglah mereka, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui).

Suatu ketika, Nabi SAW juga pernah ditantang oleh pengingkar Islam dengan mengatakan : "Jika Al Qur'an ini benar berasal dari Tuhan, maka silahkan hujani kami dengan batu atau turunkan bagi kami azab yang dahsyat" (Qs. al-Anfal : 32-33).

Namun apa yang terjadi? Al Qur'an justru menjelaskan bahwa Tuhan tidak akan menurunkan azab, karena taubat dan pengakuan kesahalan mereka masih dapat diharapkan.

Bahkan bila pembangkangan itu-pun terus berlanjut hingga mati, maka azab atas mereka ditunda hingga di hari hisab (Qs. al-Kahf : 58).

Hal ini bukan karena Tuhan lalai atau "cuek" dengan kezhaliman, tapi karena mereka telah diberi tangguh sampai hari pembalasan (Qs. Ibrahim : 42).

Beliau-pun pernah mengatakan : "Yang ada pada hari ini adalah amal dan tidak ada hisab, sedangkan esok (di akhirat) yang ada hanyalah hisab dan tiada amal" (HR. Al-Bukhari).

Dalam kasus lain --diriwayatkan Imam Ahmad dari Ibn 'Abbas ra, para kafir Makkah pernah meminta Nabi SAW untuk menjadikan gunung Uhud emas dan menyingkirkan gunung-gunung yang lain agar mereka bisa bercocok-tanam sebagai bukti kebenaran kenabian.

Lalu Jibril as datang menawarkan untuk memenuhi keinginan mereka.

Bila tetap dalam kekafiran meski permintaan telah dipenuhi, mereka akan dihancurkan dengan bencana seperti umat-umat terdahulu.

Maka Nabi SAW mengatakan : "Tidak. Kita tangguhkan saja mereka hingga hari pembalasan."

Bila teori bencana didasarkan pada kemurkaan Tuhan, maka tidak akan ada lagi orang yang berani melakukan dosa di dunia ini.

Sebab, setiap kali berbuat dosa, Tuhan segera memusnahkan mereka dengan menimpakan bencana dalam segala bentuknya.
Lagi pula, andaikan dosa dan keburukan-lah yang menjadi alasan terjadinya bencana, maka mestinya banyak bangsa di dunia atau daerah tertentu yang lebih dahulu harus dimusnahkan.
Mengapa demikian? Karena secara logika dan etika religius, banyak di antara bangsa dan daerah tertentu itu yang lebih parah dosa dan keburukannya.
Seperti negara-negara yang melakukan pembunuhan massal bagi etnis atau agama tertentu, menghancurkan rumah-rumah ibadah serta perlakuan-perlakuan yang melampaui batas nilai-nilai kemanusiaan.
Bahkan segala bentuk kezhaliman itu dilakukan jelas tanpa alasan yang dibenarkan.

Tapi, mengapa harus Indonesia yang mayoritas muslim dan tidak pernah melakukan kejahatan kemanusiaan atas bangsa lain, zionis Israel misalnya.

Mengapa harus "Serambi Mekkah" Aceh, Lombok, Palu, Banten, Lampung dan lain-lain. Andai-pun di daerah-daerah tersebut banyak terjadi perbuatan dosa dan maksiat, bukankah dosa dan maksiat yang sama juga terjadi di tempat-tempat lain, bahkan boleh jadi lebih parah daripada daerah-daerah itu.

Konteks bencana alam dalam Al Qur'an berikutnya adalah sebagai ujian.

Tujuannya adalah untuk melihat sejauhmana kadar iman yang terimplementasi dalam kesabaran saat merespon ujian tersebut.

"Apakah manusia mengira akan dibiarkan mengaku beriman, sementara mereka belum diuji" (Qs. al-Ankabut : 2).

Artinya, ujian merupakan konsekuensi dari keimanan. Berat atau ringannya suatu ujian tentu disesuaikan dengan kadar kesanggupan masing-masing orang.

Bencana alam dipandang sebagai musibah karena menciptakan ketakutan, kekurangan bahan pangan, kehilangan nyawa atau luka-luka, rusaknya tempat tinggal dan persoalan-persoalan sosial lainnya.

Tapi, jika musibah itu disikapi dengan iman dan sabar, maka ia justru akan membuahkan keberuntungan .

Selanjutnya, Al Qur'an juga mengisyaratkan bahwa bencana alam adalah bagian dari hukum semesta atau sunnatullah (Qs. an-Naml : 88). Artinya, semua bentuk bencana alam pada dasarnya dapat dijelaskan secara sains.

Kasus gempa bumi, tsunami dan erupsi gunung berapi misalnya.

Mengapa tiga jenis bencana alam ini kerap kali terjadi di Indonesia.

Jawabannya adalah posisi geografis negeri ini.

Indonesia terletak di antara lempeng Australia, Eurasia dan Pasifik, serta termasuk dalam cincin api (ring of fire) Pasifik.

Teorinya, gempa terjadi karena pergerakan lempeng dan menghasilkan tekanan.

Semakin kuat tekanan yang dihasilkan, maka akan semakin kuat gempa bumi yang terjadi.
Karena posisinya tersebut, bila di antara tiga lempeng bumi itu bergerak dan bergesekan dengan lempeng lain, maka kemungkinan terjadinya gempa sangatlah besar.
Selain itu, karena Indonesia juga dikelilingi oleh cincin api Pasifik yang merupakan jalur gempa teraktif di dunia, maka wilayah  ini juga sangat rentan dengan letusan gunung berapi.

Pertanyaan berikutnya adalah "mengapa lempeng bumi bisa bergerak?".

Para ilmuan menjelaskan bahwa pergerakan lempeng bumi disebabkan karena cairan inti bumi yang sangat panas dan menyebabkan selubung inti bumi bergolak.

Tak ubahnya seperti merebus air hingga mendidih.

Pergolakan air yang mendidih itulah yang kemudian menjadikan lempeng-lempeng di atasnya ikut bergerak saling menjauh dan atau saling mendekat.

Reaksi lempeng inilah yang kemudian menciptakan tekanan dan terjadi gempa.

Jika pusat gempa terjadi di bawah laut, maka dasar laut akan naik atau turun.

Dengan begitu, keseimbangan air di atas laut akan terganggu dan bergejolak, lalu terjadilah tsunami.

Bahkan, guncangan gempa juga dapat menyebabkan likuifaksi atau pencairan tanah karena hilangnya kekuatan lapisan tanah berpasir.

Begitu-pun halnya dengan tanah longsor dan banjir.

Tanah longsor adalah peristiwa geologi yang disebabkan oleh pergerakan struktur masa tanah atau bebatuan yang lemah dan dipengaruhi oleh gravitasi.

Pemicu utama tanah longsor antara lain adalah pergerakan yang disebabkan oleh gempa, gunung berapi atau getaran-getaran kecil dan terus menerus seperti kendaraan, mesin pabrik dan lain sebagainya.

Mengapa struktur masa tanah atau bebatuan bisa melemah?.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Antara lain pengikisan tanah oleh air sungai atau air laut, berkurangnya pepohonan, ketinggian curah hujan, penumpukan sampah, kelebihan beban karena penumpukan material di atasnya dan lain sebagainya.
Seperti halnya tanah longsor, banjir juga kerapkali terjadi di berbagai wilayah Indonesia.

Sains menjelaskan bahwa bencana ini diakibatkan karena semakin berkurangnya daerah resapan air, intensitas hujan yang tinggi, adanya penyumbatan akibat penumpukan sampah, penggundulan hutan dan penebangan pepohonan, penimbunan rawa dan pembangunan di dataran-dataran rendah dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana dengan angin puting beliung yang seperti "lidah menjilat bumi" dan memporak-porandakan segala benda yang disentuhnya?.

Ternyata, puting beliung sangat berkaitan dengan awan cumulonimbus, yakni jenis awan vertical yang sangat berbahaya dan banyak terdapat di Indonesia, karena wilayah ini banyak mengandung uap air.

Lebar awan ini bisa mencapai 10 KM dengan ketinggian 17.000 KM.

Bahayanya, awan ini mengandung arus listrik dan pergolakan udara sangat dahsyat.

Dalam gumpalan awan ini terdapat arus udara yang naik ke atas dengan tekanan sangat kuat.

Titik air dan kristal es tertahan oleh arus udara yang bergerak naik menuju puncak awan.

Lalu, titik air yang tidak bisa lagi ditahan oleh udara akan turun dan menyebabkan gaya gesek antara arus udara yang naik dan turun.

Temperatur udara yang turun mempunyai suhu yang lebih dingin dibandingkan dengan udara yang ada di sekelilingnya. Arus udara yang naik dan turun akan menciptakan arus geser yang memutar lalu membentuk pusaran.

Semakin lama, pusaran arus itu akan berputar semakin cepat dan membentuk gumpalan dengan kekuatan yang dahsyat.

Dari proses inilah kemudian terbentuk angin puting beliung.

Berbagai bencana alam yang terjadi dapat dijelaskan secara sains dan teori-teori ilmu pengetahuan.

Bila ada di antara peristiwa alam yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah, maka dapat dipastikan bahwa sains-lah yang belum mampu menguak misterinya.

Seiring perkembangan sains yang dinamis, semua misteri tersebut akan mampu diungkap.

Tidak ada bencana alam yang begitu saja terjadi dan "ujuk-ujuk" tanpa sebab.

Selain bukan sebagai azab dan murka Tuhan, bencana alam di Indonesia adalah salah-satu wajah hukum semesta dan desain sunnatullah. Wallahu a'lam !

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved