Komitmen Pemprov Sumsel
Menyoroti Komitmen Pemprov Sumsel Upaya Pengentasan Kemiskinan di Tahun 2019
Kemiskinan masih jadi masalah yang sulit untuk diselesaikan karena Sumsel yang kaya akan Sumber Daya Alam namun tidak linier
Menyoroti Komitmen Pemprov Sumsel Upaya Pengentasan Kemiskinan di Tahun 2019
Oleh : Rahmat Farizal
(Mantan Presiden Mahasiswa UNSRI 2017, Peneliti di Lembaga Kajian Strategis CDCS)
Kemiskinan agaknya masih jadi masalah yang sulit untuk diselesaikan. Hal tersebut dikarenakan Sumsel yang wilayahnya kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) namun tidak linier pada kesejahteraan masyarakat.
Hasil dari komoditi utama seperti pertanian, perikanan, dan perkebunan juga belum berdampak signifikan dalam menunjang perekonomian.
Ditambah lagi jauhnya selisih angka kemiskinan Sumsel yang masih 12,80% dari nasional yang sebesar 9,66% (Data Terbaru BPS per September 2018).
Skema pengentasan kemiskinan yang selama ini dilakukan pemerintah sebetulnya bukan tanpa hasil.
Sejak tahun 2007 jumlah penduduk miskin di Sumsel sebesar 1.331.- 800 jiwa kini di tahun 2018 menjadi 1.076.400 jiwa.
Harus diakui ada penurunan angka kemiskinan dalam kurun waktu 10 tahun.
Meski angka tersebut mengalami penurunan yang cenderung lamban.
Disinilah titik kritisnya, sebab paket kebijakan dan anggaran dana yang selama ini diglontorkan baik dari APBN maupun APBD belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan yang ada.
Bahkan di beberapa daerah masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Salah satu studi kasusnya ketika beberapa waktu yang lalu seorang pengacara terkenal mempublikasikan di akun instagramnya warga kota Lubuklinggau yang hidup di gubuk tak layak huni dan viral di sosmed.
Kiprah Program Pengentasan Kemiskinan
Sebagaimana yang tertuang dalam Perpres RI Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Kemiskinan sejatinya merupakan permasalahan bangsa yang harus ditangani dengan pendekatan yang sistematik, terpadu dan menyeluruh.
Sehingga dua prinsip utama kesejahteraan rakyat dapat terwujud.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang ditandai dengan terakomodirnya pendidikan, kesehatan, pangan, tempat tinggal yang layak dan sebagainya.
Dan terbukanya lapangan pekerjaan bagi seluruh masyarakat.
Sejauh ini kiprah program pengentasan kemiskinan yang telah dibuat oleh pemerintah daerah terbilang cukup banyak.
Yang secara detail bisa dilihat pada data Bappeda Sumatera Selatan tahun 2014.
Bila kita cermati secara teliti program pengentasan kemiskinan ini sebetulnya sudah mengakomodir semua sektor.
Setidaknya mengacu pada tiga jalur strategi pembangunan yaitu Pro-Pertumbuhan (pro-growth), Pro-Lapangan Kerja (pro-job), Pro-Masyarakat Miskin (pro-poor).
Namun kalau boleh sedikit mengutip perkataan Fahri Hamzah, "Apa yang dikatakan pemerintah lewat statistik seperti bertentangan dengan "rasa" yang dialami masyarakat".
Benar saja, terdapat jurang ketimpangan yang begitu dalam antara program yang dibuat oleh pemerintah dengan realitas yang terjadi di lapangan.
Seperti pada Program Sekolah Gratis (PSG), pada bulan Desember 2018 yang lalu baru terjadi pencairan dana sebesar 88 M untuk triwulan 2,3,4 tahun 2017 untuk SMA/SMK/MA/SMALB swasta.
Keterlambatan pendistribusian dana PSG ini tentu menggangu proses pendidikan.
Kemudian Program Bantuan Hukum Gratis, Pada tahun 2016 Pemkab OKI resmi menghentikan program ini.
Baik karena pro-kontra alokasi dana, atau tidak adanya roadmap yang jelas dari hulu ke hilir mengenai program ini agar masyarakat yang tidak mampu betul-betul mendapatkan pendampingan hukum gratis.
Atau program perlindungan sosial berupa bantuan langsung, tidak terevaluasi dengan baik pemberiannya pada tujuan utama pengentasan kemiskinan yang konstruktif dan berkelanjutan.
Arah Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Tahun 2019
Dalam pernyataannya, Gubernur Sumsel memasang target tinggi dalam proses pengentasan kemiskinan yaitu menjadi 9% atau setara dengan nasional.
Hal tersebut diiringi dengan beberapa indikator makro Sumsel yang telah menunjukkan kinerja baik.
Seperti pertumbuhan ekonomi yaitu 6,1%, tingkat inflasi yaitu 2,74%, Gini Rasio lebih rendah, dan tingkat pengangguran terbuka lebih rendah dibandingkan nasional.
Kerja Pemprov cukup berat sebab dari 17 Kabupaten/Kota se Sumsel ada enam Kabupaten yang angka kemiskinannya di atas 10%.
Di tahun ini Pemprov mengalokasikan anggaran dana sebesar 779 Miliar untuk penanggulangan kemiskinan.
Selain daripada itu pemprov juga menjadikan pembangunan infrastruktur khususnya perbaikan jalan dan jembatan se Sumsel sebagai brand utama pengentasan kemiskinan, kemudian bekerja sama dengan BKKBN dalam rangka mengatur jarak kelahiran, mewacanakan terbitnya Pergub tentang penyerapan tenaga kerja lokal dan membuat program sesuai dengan potensi daerah khususnya di kantong-kantong
kemiskinan.
Selanjutnya dalam upaya meningkatkan hasil pertanian dan perkebunan, Pemprov rencananya akan membangun pabrik pengolahan hasil perkebunan sendiri serta membeli hasil pertanian seperti beras untuk dibagikan kepada ASN dan honorer di lingkungan Pemprov.
Di bidang pendidikan Program Sekolah Gratis (PSG) akan tetap dipertahankan, ditambah dengan program membuka wawasan rakyat melalui taman baca dan melek internet, serta menggalakkan spirit religius melalui program tahfizd qur'an.
PR besar yang juga tidak bisa dikesampingkan adalah tentang sinkronisasi program jaminan kesehatan daerah ke dalam jaminan kesehatan nasional.
Dan program-program lain baik yang tengah dirancang aturan hukumnya, pelaksanaannya, sampai anggaran dananya.
Secara pribadi penulis melihat arah kebijakan pengentasan kemiskinan yang tengah dipersiapkan oleh Pemprov di tahun 2019 relatif sama dengan skema di tahun-tahun sebelumnya.
Pun juga orientasi pembangunan infrastruktur sebagai brand utama.
Mantan Wakil Gubernur Bapak Ishak Mekki ketika menjabat kemarin juga mengatakan pembangunan infrastruktur sebagai brand pengentasan kemiskinan di antara program lainnya.
Namun faktanya juga belum mampu menyelesaikan masalah.
Untuk itu penulis memberikan alternatif strategi kepada pemerintah yaitu :
Pertama, menjadikan pembangunan SDM yang berkompeten sebagai platform utama pengentasan kemiskinan sehingga alokasi dana yang dianggarkan pemerintah seharusnya paling banyak terserap kesana bukan ke pembangunan infrastruktur.
Sebab, jika SDM-nya baik dengan sendirinya dan penuh kesadaran masyarakat akan berpikir untuk meningkatkan kualitas hidupnya kearah yang lebih baik.
Pembangunan SDM yang penulis maksud bukan sekedar terselenggaranya kegiatan belajar mengajar yang memang merupakan hal prinsip.
Lebih daripada itu pemerintah juga konsen mengembalikan ruh inti Standar Nasional Pendidikan yakni terinternalisasinya sikap spiritual, sikap moral, pengetahuan, dan ketrampilan di dalam diri masyarakat khususnya generasi muda.
Kedua, Mengarahkan program perlindungan sosial yang selama ini berupa bantuan langsung kedalam program yang berorientasi pada pengembangan life skill masyarakat.
Penerimaan PNS, penerimaan kerja di BUMN/BUMS/BUMD, dan bidang lainnya tentu punya keterbatasan.
Kita harus membangun mindset masyarakat agar berani membuka lapangan kerja bukan mencari pekerjaan.
Program bantuan langsung hanya menyelesaikan masalah secara sementara.
Jauh lebih konstruktif jika masyarakat mendapatkan program yang berorientasi pada peningkatan kemampuan khususnya dalam mengelola potensi daerah.
Sehingga lahir pengusaha baru, UMKM baru, petani baru, pengrajin baru, dan lain sebagainya.
Dengan sistem yang berkelanjutan dan terintegrasi dengan kemajuan teknologi digital dan internet.
Ketiga, Pembuatan aturan hukum yang lebih memudahkan investor datang untuk mempercepat roda perputaran ekonomi.
Yang regulasinya pro terhadap pelaku usaha kecil (UKM).
Ditambah implementasi janji yang telah diucapkan yaitu pembuatan Pergub penyerapan tenaga kerja lokal serta membuat pabrik pengolahan hasil pertanian dan perekonomian sendiri.
Keempat, Pemprov juga harus berani menjamin terjaganya stabilitas harga-harga khususnya diperingatan hari-hari besar.
Selain dari pada itu, Pemprov juga harus membuka celah lain di luar dari beban APBD.
Dana CSR dapat dimaksimalkan untuk program pengentasan kemiskinan.
Sebab jejak digital menjelaskan bahwa dana CSR selama ini mayoritas digunakan pada pembangunan infra-
struktur atau kepentingan pribadi (read : pajak "ilegal" untuk swasta & lembaga swadaya).
Sementara di salah satu BUMD, ring 1 dari area perusahaan tersebut masih banyak yang kurang mampu.
Penulis menyarankan agar dana CSR full untuk penanggulangan kemiskinan khususnya menjamin kehidupan masyarakat di ring 1 dan ring 2 area perusahaan.
Selanjutnya pengelolaan dana ziswaf yang pada menurut data dari Forum Zakat (FOZ) wilayah Sumsel potensi ziswaf mencapai 2,3 T pertahunnya.
Pemprov harus mendorong Baznas dan lembaga filantropi yang ada di Sumsel dengan cara membuat regulasi yang jelas agar ketercapaian ziswaf ini bisa terserap secara maskimal.
Sebab pada kenyataannya setiap tahun hanya terkumpul 2% atau sekitar 50 M saja.
Penulis menyadari bahwa tantangan dalam upaya pengentasan kemiskinan yang multidimensional ini tentu bukan perkara yang mudah.
Setiap program yang dibuat pemerintah pun dalam rangka mensejahterakan rakyat.
Butuh intervensi yang kuat tidak hanya pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga konsistensi dalam pelaksanaan program tersebut.
Semoga sumbang saran dari penulis dan semua pihak dapat dapat mewujudkan visi besar Sumatera Selatan seperti apa yang disampaikan oleh bapak Gubernur yaitu "Sumsel Maju Untuk Semua".
===