Hari Pers Nasional
Mari Mereward Sertifikasi Wartawan Dalam Rangka Hari Pers Nasional
Wartawan yang berkarya di media memiliki tugas seperti terdapat dalam buku "Blur: How to Know What's True
Mari Mereward Sertifikasi Wartawan
(Dalam Rangka Hari Pers Nasional)
Prof. Dra. Isnawijayani M.Si, Ph.D
Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bina Darma
Menarik membicarakan sertifikasi wartawan. Wartawan yang berkarya di media memiliki tugas seperti terdapat dalam buku "Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload" karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.
Penulis buku tersebut membagi tugas wartawan:
1.authenticator, konsumen memerlukan wartawan yang dapat memeriksa keautentikan suatu informasi.
2. Sense maker, menerangkan apakah informasi itu masuk akal atau tidak.
3. Investigator, wartawan harus terus mengawasi kekuasaan dan membongkar kejahatan.
4. witness bearer, kejadian-kejadian tertentu harus diteliti dan dipantau kembali dan dapat bekerja sama dengan reporter warga.
5. Empowerer, saling melakukan pemberdayaan antara wartawan dan warga untuk menghasilkan dialog yang terus-menerus pada keduanya.
6. Smart aggregator, wartawan cerdas harus berbagi sumber berita yang bisa diandalkan artinya meramu banyak sumber berita.
7. Forum organizer, organisasi berita, baik lama dan baru, dapat berfungsi sebagai alun-alun di mana warga bisa memantau suara dari semua pihak, tak hanya kelompok mereka sendiri.
8. Role model, bukan hanya karya yang dinilai tapi perilakunya sebagai contoh dalam ranah public.
Tugas itu berkaitan dengan fugsi wartawan dalam karya jurnalistiknya yaitu memberi informasi (to inform), memberi pendidikan (to educate) bertanggung jawab untuk menyampaikan fakta secara objektif dan selektif, sehingga dapat menyeimbangkan arus informasi.
Memberi hiburan (to entertain) bertanggung jawab memberikan hiburan bersifat netral dan mendidik, serta sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat.
Dalam hal control social seorang wartawan dalam medianya menyampaikan dan memaparkan peristiwa buruk, yang menyimpang menyalahi aturan, tidak pada tempatnya; yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Agar masyarakat mengetahui, dan waspada serta mengajak masyarakat tidak berbuat seperti itu dan meningkatkan kesadaran masyarakat selalu menaati peraturan, selalu berbuat baik pada sesama.
Untuk itulah wartawan dituntut menjadi orang yang mendekati sempurna.
Maka menurut sejarah Organisasi Profesi Wartawan, Persatuan Wartawan Indonseia (PWI) yang didirikan di Surakarta 9 Februari 1946 memiliki Kode Etik Jurnalistik yang pada awalnya disusun pada Rapat Para Pimpinan Redaksi Suratkabar di Jakarta 1-2 Mei 1954.
Selalu mengalami perubahan hingga sekarang wartawan tetap menggunakan Kode Etik Wartawan tersebut. Maraknya kehidupan wartawan bukan berarti semua wartawan memiliki dan berperilaku dan bertugas seperti yang dikatakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel diatas.
Ternyata ada juga Wartawan menjadi oknum wartawan.
Dirinya sendiri belum tahu tugas pokok serta fungsi wartawan.
Hinggakini gejala oknum wartawan masih terjadi. Jika ini terjadi kemana masyarakat mengadu? Dibentuklah Dewan Pers pada tahun 1968 yang mengacu pada UU No 11 tahun 1966 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pers, lalu UU No.21 tahun 1982 Tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 1966 dan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang ditandatangani Presiden BJ Habibi.
Disinilah terjadi perubahan fundamental seiring pergantian kekuasaan dari orde baru ke orde reformasi.
Dewan Pers menjadi independen tidak lagi menjadi penasehat pemerintah, tetapi untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Disini masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan ( pasal 17:1) UU No 40/1999 tentang Pers. Seiring pekembangan teknologi digital, semuanya berubah disamping kehidupan wartawan yang semakin baik tumbuh juga produksi berita hoax dan bohong tersebar melalui internet.
Maka tugas wartawan dituntut kembali kepada tugasnya.
Belum lagi wartawan yang berhadapan dengan masyarakat masih terjadi kekerasan terhadap wartawan dan profesionalisme pers.
Bahkan terjadi pembunuhan terhadap wartawan, yang kadang belum dapat terselesaikan sampai tuntas.
Yang jelas masih ada sekelompok masyarakat yang memandang miring dan sinis terhadap kerja wartawan.
Hal ini dikarenakan mungkin masyarakat kesal terhadap kurang baik tidak bermutu akan karya wartawan yang tidak memenuhi prinsip-prinsip jurnalistik seperti tidak akurat, provokatif, tidak jujur.
Ada wartawan meminta uang dengan cara halus, tapi ada juga yang dengan mengacam.
Jika wartawan berkualitas tentu akan terjamin keselamatannya.
Dewan Pers yang diberi mandat melindungi kemerdekaan pers termasuk ancaman media palsu dan wartawan palsu sejak tahun 2010 diatasi dengan sertifikasi wartawan, sesuai Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2000 tentang Standar Kompetensi Wartawan pada 2 Februari 2010.
Seleksi formal menentukan seseorang itu wartawan profesional atau bukan sesuai amanat Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Yang dapat menggelar uji kompetensi wartawan adalah perusahaan pers, perguruan tinggi, organisasi wartawan dan lembaga pelatihan jurnalisme.
Yang memiliki sertifikat menguji ada tiga, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Lembaga lain yang memiliki sertifikat penguji antara lain Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), London School of Public Relation (LSPR), Universitas Indonesia dan lain-lain.
Dewan Pers member sertifikatnya bagi wartawan yang telah lulus.
Jumlah wartawan yang telah disertifikasi menurut data terakhir sekitar 10 ribuan. Jumlah yang sangat kecil dibandingkan penduduk Indonesia sendiri.
Apakah wartawan yang telah mendapat sertifikasi itu pasti professional, jawabannya masih sangan tergantung pada individunya.
Yang jelas yang bersangkutan telah menjalani tingkatan-tingkatan ujian seperti yang dilakukan seorang dosen atau guru.
Dosen dan guru yang telah disertifikasi mendapat sertifikat pendidik dan dibayar oleh Negara setiap bulan sebulan gaji pokok sesuai golongan dan bagi professor ditambah 2 kali sebagai tunjangan kehormatan.
Lalu wajib membuat laporan beban kerja dosen setiap semester.
Wartawan tidak sama rewardnya dengan dosen dan guru.
Setelah tersetifikasi hanya memiliki symbol atau tanda bahwa yang bersang-
kutan sudah bernilai.
Kalau diamati wartawan tugasnya memang memikirkan dan memperjuangkan kehidupan bangsa dan Negara namun baru UU No 40 tahun 1999 tentang Pers yang membicarakan gaji dan kesejahteraan wartawan.
Padahal salah satu fungsi karya wartawan adalah menjadikan bangsa Indonesia pintar agar sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia.

Tuga yang mulia ini memang selayaknya pantas dihargai berupa nilai tunjangan penghargaan sertifikasi paling tidak sama dengan Guru dan dosen, atau mungkin lebih tinggi. Karena yang member sertifikasi wartawan adalah Dewan Pers maka lembaga ini dapat mengupayakan kepada Negara atau pemerintah Indonesia.
Wartawan sebagai warga Negara Indonesia sudah waktunya mendapatkan hak prestasinya.
Jika dalam perjalannya wartawan melanggar aturan tentu dapat dicabut tunjangannya.
Disisi lain Lembaga penguji juga perlu diawasi sehingga menghasilkan sertifikasi wartawan yang berkualitas, dan bukan untuk pekerja non wartawan yang tersertifikasi.
Dalam obrolan dengan Dewan Pers beberapa bulan yang lalu nampaknya telah mulai diupayakan.
Di Hari Pers Nasional 9 Februari ini, moga-moga tunjangan sertifikasi wartawan terus diperjuangkan.
Selamat HPN sukses wartawan !!
====