Membangun Sumsel dari Pinggiran

Saat ini, pembangunan desa menjadi salah satu prioritas Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Nawacita ketiga

Editor: Salman Rasyidin
ist
Lismiana, SE, MSi 

Membangun Sumsel dari Pinggiran

Oleh : Lismiana, SE, MSi

Pegawai Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan

Saat ini, pembangunan desa menjadi salah satu prioritas Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Nawacita ketiga, yaitu "membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka kerja negara kesatuan".
Sehingga, semua kalangan baik aparat pemerintah pusat maupun daerah serta masyarakat menyambut baik lahirnya Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014, sebagai aturan dan pedoman dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan desa.

Selain membuat peraturan, pemerintah juga mengucurkan bantuan dana desa yang juga diatur dalam undang-undang desa tersebut.

Dengan demikian, tidaklah mustahil untuk mewujudkan pembangunan dari desa.

Sumatera Selatan (Sumsel) juga ikut serta memprioritaskan membangun Sumsel dari pinggiran.

Sudah banyak program yang digulirkan Pemerintah untuk menyasar pembangunan desa di Sumatera Selatan. Lantas, bagaimana kondisi desa di Sumsel saat ini?

Bagaimana sebaiknya membangun desa di Sumatera Selatan?

Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik, sebagian besar desa di Provinsi Sumsel pada tahun 2018 termasuk dalam kategori Desa Berkembang yaitu 2.474 desa atau 86,02 persen dari 2.876 Desa.

Selain itu, sebagian kecil desa dikategorikan sebagai Desa Mandiri yaitu 54 desa atau 1,88 persen.

Sedangkan sebanyak 348 desa atau 12,10 persen masuk dalam kategori Desa tertinggal.

Meskipun sebagian kecil desa terkategori sebagai Desa Mandiri, jumlah desa tersebut bertambah sebesar 27 desa bila dibandingkan tahun 2014. Sementara itu, Desa Tertinggal berkurang sebesar 336 desa.

Kategorisasi desa tersebut dihasilkan dari perhitungan Indeks Pembangunan Desa (IPD) melalui kegiatan Pendataan Potensi Desa (Podes) 2018.

Pendataan Potensi Desa (Podes) merupakan kegiatan sensus terhadap seluruh wilayah administrasi terendah setingkat desa/kelurahan, termasuk pendataan di kecamatan dan kabupaten/kota yang dilakukan 3 kali setiap 10 tahun.

Podes sebelumnya dilakukan pada tahun 2014.

IPD adalah indeks komposit yang menggambarkan kemajuan atau perkembangan desa dengan menggunakan skala 0 : 100.

Jika nilai IPD kurang dari 50, artinya tingkat perkembangan Desa masuk dalam status Desa Tertinggal. Apabila nilai IPD lebih dari 50 dan kurang dari 75, artinya statusnya desa berkembang. Sementara itu, status Desa Mandiri diperoleh jika nilai IPD mencapai lebih dari 75.

Secara umum, angka IPD di Sumsel sebesar 59,18 yang berarti bahwa tingkat perkembangan Desa masuk dalam status Desa Berkembang. Indeks Pembangunan Desa disusun dari 5 dimensi, yang terdiri dari 42 indikator.

Jika diamati indikator dari setiap dimensi pada tahun 2018 yang mengalami perubahan bervariasi bila dibandingkan tahun 2014.

Pertama, dimensi Pelayanan Dasar yang hanya mengalami kenaikan sebesar 1,36 poin menjadi 55,25.

Naiknya dimensi ini didorong oleh meningkatnya jumlah desa yang tersedia rumah sakit dan apotek masing-masing sebesar 10 persen dan 43 persen dari tahun 2014.

Hal ini sebagai tindak lanjut dari sasaran pokok RPJMN 2015-2019 yaitu meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan.

Selain itu, meningkatnya dimensi pelayanan dasar juga turut didorong oleh meningkatnya jumlah desa yang tersedia SMU/MA sebesar 15 persen dari 2014.

Semakin baiknya akses SMA sederajat di desa merupakan dampak dari program pemerintah yaitu program Wajib Belajar (Wajar) 12 tahun di mana anak Indonesia minimal berpendidikan setingkat SMA.

Kedua, dimensi Kondisi Infrastruktur tahun 2018 memiliki indeks sebesar 44,72 atau naik 4,38 poin dari 2014.

Penyusun dimensi ini yang mengalami perubahan diantaranya karena meningkatnya jumlah desa yang terdapat agen LPG sebesar 1 persen dari 2014, meningkatnya jumlah desa yang terdapat layanan pos mencapai 49 persen
dari 2014 dan meningkatnya jumlah desa yang sebagian besar keluarganya menggunakan jamban sendiri di desa sebesar 22 persen dari 2014.

Semakin banyaknya desa yang masyarakatnya menggunakan jamban sendiri sebagai dampak dari berbagai program pemerintah untuk merubah perilaku masyarakat untuk tidak buang air besar sembarangan salah satunya program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang di lakukan sejak tahun 2018.

Ketiga, dimensi Aksesibilitas Transportasi memiliki indeks sebesar 78,33 atau naik 0,79 poin.

Beberapa indikator penyusun indeks ini di antaranya waktu tempuh dari kantor desa menuju kantor kecamatan menjadi lebih singkat sebesar 12 persen dari 2014 dan menuju kantor bupati/walikota menjadi lebih singkat sebesar 1 persen dari 2014.

Hal ini tentu saja turut didorong oleh semakin baiknya lalu lintas dan kualitas jalan untuk transportasi antar desa.

Hal ini terlihat dari desa yang memiliki jalan beraspal/beton juga meningkat sebesar 11 persen dari 2014.

Pemerintah desa banyak mendapatkan dana desa yang digunakan untuk membangun infrastruktur terutama jalan akses penghubung antardesa untuk menunjang kegiatan ekonomi di desa.

Keempat, dimensi Pelayanan Publik yang mengalami kenaikan indeks dari 57,2 tahun 2014 menjadi 57,49 pada tahun 2018.

Beberapa indikator yang dihasilkan dari indeks ini di antaranya desa yang memiliki fasilitas olahraga meningkat sebesar 114 persen dari 2014.

Selain itu, jumlah desa yang mengalami KLB dan Kejadian gizi buruk meningkat masing-masing sebesar 6 persen dan 4 persen dari 2014.

Untuk menurunkan kasus gizi buruk di Sumsel, pemerintah hendaknya terus berupaya mengoptimalkan langkah promotif dan preventif penanganan gizi buruk, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan bayi, yang dimulai dari masa kehamilan sampai balita berusia di bawah 2 tahun.

Masa tersebut sangat menentukan kondisi kesehatan bayi selanjutnya.
Diharapkan dengan penyuluhan dan sosialisasi yang gencar oleh pemerintah, masyarakat juga bisa lebih sadar emperhatikan kesehatan dan gizi anak sehingga dapat menurunkan kasus gizi buruk.

Kelima, dimensi terakhir yang mengalami kenaikan yaitu Penyelenggaraan Pemerintah Desa memiliki indeks sebesar 70,34 atau naik 11,42 poin.

Indikator penyusun dimensi ini yang mengalami perubahan di antaranya meningkatnya kualitas SDM Sekretaris dan Kepala Desa ditandai oleh meningkatnya desa yang memiliki sekretaris desa sebesar 11 persen dari 2014 dan meningkatnya desa yang Kadesnya memiliki ijazah minimal SMU sebesar 14 persen dari 2014.

Selain itu, Otonomi daerah semakin baik ditandai dengan meningkatnya jumlah penerimaan desa selain dana desa tahun 2018 sebesar 71 persen dari 2014.

Hasil penghitungan Indeks Pembangunan Desa (IPD) ini sudah selayaknya menjadi perhatian Pemerintah Daerah untuk mewujudkan Pembangunan yang merata terutama di daerah pedesaan.

Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih serius mengembangkan potensi desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sumsel adalah provinsi yang kaya akan sumber daya alam.

Pada triwulan III-2018, kontribusi sektor pertanian, kehutanan dan perikanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 15,90 persen.

Dan ada 77 desa wisata di seluruh Sumatera Selatan berdasarkan pendataan Podes 2018.

Desa/kelurahan wisata menurut pendataan Podes 2018 adalah sebuah kawasan perdesaan yang memiliki beberapa karakteristik khusus untuk menjadi daerah tujuan wisata.

Pada umumnya, penduduk di kawasan desa wisata memiliki tradisi dan budaya yang khas, serta alam dan lingkungan yang masih terjaga.

Mengembangkan pariwisata di yakini dapat membuat desa menjadi mandiri.

Sebagai contoh, Pemerintah Desa Ponggok yang terletak di Provinsi Jawa Tengah, telah sukses mengembangkan desa mereka, dari sebelumnya kurang maju menjadi desa mandiri melalui pariwisata air.

Maka sudah selayaknya Pemerintah Provinsi Sumsel berkomitmen untuk memajukan perekonomian desa/kelurahan pada sektor pertanian, kehutanan dan perikanan; dan sektor pariwisata.

Membangun Sektor Pertanian dan Pariwisata
Besarnya potensi pertanian di Sumatera Selatan dan masih banyaknya masyarakat yang bergantung pada sektor tersebut, sehingga kedepan pertanian di Sumsel sebaiknya fokus mengembangkan pertanian berbasis agribisnis.

Untuk itu, hal yang perlu dilakukan adalah pertama, mengindentifikasi desa yang menghasilkan produk pertanian bermutu tinggi.

Setelah itu, menetapkan target pasar produk tersebut sehingga bantuan yang diberikan sesuai kebutuhan wilayah dan berorientasi daya saing.

Kedua, memberikan bantuan sarana produksi untuk meningkatkan produktivitas sehingga mendorong penurunan harga pokok produksi.

Bantuan tersebut sebagai upaya meningkatkan daya saing.

Namun, dalam pelaksanaanya bantuan yang telah diberikan seperti pemberian pupuk subsidi hendaknya dilakukan tepat waktu, sesuai dengan waktu kapan pupuk tersebut digunakan oleh Petani.

Ketiga membangun infrastruktur dalam kaitan menekan biaya transportasi sehingga meningkatkan daya saing produk pertanian dari wilayah pedesaan.

Keempat, pemanfaatan Program Dana Desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

BUMDes adalah badan usaha yang secara keseluruhan atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa.

BUMDes tersebut ada untuk meningkatkan pendapatan sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki desa.

Harapannya dapat memaksimalkan potensi lokal.

Selain itu, akses permodalan dibuka dan dikembangkan melalui pemberian kredit yang terjangkau dan fleksibel.

Kelima, Pemerintah perlu meningkatkan pengetahuan dan keahlian Petani melalui penyuluhan.

Selain mendorong perkembangan ekonomi pedesaan melalui sektor pertanian, meningkatkan pertumbuhan sektor pariwisata sangat mungkin dengan banyaknya kekayaan alam desa di Sumatera Selatan yang sangat indah.

Mengembangkan agrowisata cukup berpotensi di Sumatera Selatan.

Agrowisata merupakan salah satu upaya mengembangkan desa wisata untuk menarik daya tarik wisatawan dengan menggunakan lahan pertanian atau fasilitas terkait, seperti wisata mengunjungi tanaman perkebunan sekaligus memetik buah, memberi makan hewan ternak, atau restoran di atas sungai/laut.

Sebagai contoh, di Pagaralam yang memiliki lereng pegunungan yang dipenuhi tanaman kebun teh yang asri dan terdapat tanaman stroberi yang manis dan segar.

Salah seorang tim penilai melihat agrowisata di Kecamatan Gandus,  Kamis (8/11/2018)
Salah satu  kawasan  agrowisata di Kecamatan Gandus, Kamis (8/11/2018) (Sripoku. com /Yandi Triansyah)

Sehingga dapat dimanfaatkan dengan menciptakan agrowisata.

Salah satunya wisata yang mengizinkan pengunjung dapat memetik sendiri buah-buahan yang ada seperti salak, jeruk dan strawberry.

Sehingga, pemilik usaha agrowisata mendapatkan penghasilan tidak hanya dari hasil panen jeruk tetapi juga mendapat hasil tambahan dari para pengunjung.

Konsep Agrowisata dapat juga ditiru dan dimodifikasi oleh desa lain di Sumsel untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga mendorong perkembangan ekonomi wilayah.

Pada akhirnya fokus Pemerintah mendongkrak pembangunan desa dapat tercapai.

===

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved