Hari ibu
Ibu Pendidik Dan Pembentuk Generasi Bangsa
Tak mengherankan, bila segala yang berasal dan bersumber dari peradaban Barat dianggap sebagai sebuah "kebenaran mutlak".
Ibu Pendidik Dan Pembentuk Generasi Bangsa
Oleh Prof. Dr. H. Jalaluddin
Mantan Rektor IAIN (UIN) Raden Fatah Palembang
Peradaban Barat bagaikan "mercu suar" bagi peradaban dunia.
Tak mengherankan, bila segala yang berasal dan bersumber dari peradaban Barat dianggap sebagai sebuah "kebenaran mutlak".
Pokoknya "sempurna" tanpa cacat sedikitpun, dan langsung disepakati secara aklamasi.
Sama sekali tak perlu diusut atau dipertanyakan terlebih dahulu latar belakang perkembangannya.
Termasuk di dalamnya mengenai bagaimana mereka menempatkan posisi kaum perempuan. serta perlakuan terhadap kaum Hawa ini.
Padahal bila ditelusuri secara cermat, kondisi kehidupan perempuan sangat bertolak belakang dengan kemajuan maupun tingkat peradaban yang dicapai Dunia Barat.
Sepanjang Abad Pertengahan, kaum perempuan masih mengalami nasib yang memperihatinkan.
Hingga tahun 1805, peraturan Inggris masih mengakui hak suami untuk menjual istrinya.
Bahkan hingga tahun 1882 wanita Inggris belum mempunyai hak kepemilikan harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke pengadilan (M. Quraish Shihab, 1996).
Sebuah kilasan utuh dari gambaran buram kaum perempuan. Seiring dengan munculnya Revolusi Perancis yang menggemakan teriakan slogan "Liberte, Egalite, Fraternite" (kemerdekaan, persamaan, persaudaraan) ikut mencuatkan "geliat" kaum perempuan untuk keluar dari "pasungan peradaban" yang mereka alami.
Kaum perempuan berusaha untuk menciptakan kondisi baru yang dianganangankan bakal menjadi kondisi yang lebih baik dan bermartabat.
Gaung Revolusi Perancis ikut memberi andil bagi penyadaran nilai-nilai kemanusiaan masyarakat Barat (Eropa).
Tak mengherankan bila aspek kemanusiaan yang tercermin di dalamnya lebih bermakna dibandingkan dengan gaung Revolusi Industri.
Seiring dengan itu pula timbulnya kesadaran baru yang kemudian melahirkan gagasan dan seruan "persamaan hak" antara laki-laki dan perempuan. Gagasan yang selanjutnya dikemas dalam konsep "Kesetaraan Jender."
Persamaan hak dalam bidang sosial kemasyarakatan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan.
Sementara Revolusi Industri yang menjadi tulang punggung bagi berkembangnya pabrik-pabrik ikut membuka peluang bagi kaum perempuan untuk jadi buruh.
Peluang kerja yang disertai imbalab materi (gaji). Bursa kerja ini pula yang membawa kaum perempuan masuk ke dunia baru. Kawasan kehidupan yang sama sekali bebas dari "kungkungan".
Kebangkitan yang berlangsung di awal-awal abad ke-18 ini dipromosikan oleh kaum perempuan terdidik.
Tahun 1792 mereka mulai membangkitkan kesadaran kaumnya.
Sekitar tahun 1960-an sampai tahun 1970, gerakan ini mulai menggema ke berbagai kawasan dunia melalui Women's Liberation Movement.
Kemudian disusul oleh organisassi American Feminist Movement di Amerika.
Organisasi dan gerakan ini ternyata mampu mengubah paradigma dan pola hidup kaum perempuan di zaman modern.
Banyak di antara kaum perempuan yang lebih memilih status sebagai perempuan karir ketimbang status sebagai ibu rumahtangga.
Hidup tanpa suami dianggap bukanlah sesuatu yang "aib".
Perkawinan dinilai sebagai lembaga konvensional dan pengikat bagi kaum perempuan.
Perjuangan kaum perempuan di rentang waktu yang cukup panjang itu bagaikan "berjalan di tempat."
Keadaan di lapangan ternyata jauh berbeda.
Status kaum perempuan hampir tak bergeser jauh dari masa-masa sebelumnya.
Survai yang dihasilkan oleh Lembaga Hak Fundamental Uni Eropa (FRA) melibatkan 62.000 wanita Eropa berusia 18-74 tahun.
Hasilnya ditemukan bahwa sepertiga dari keseluruhan wanita Uni Eropa mengalami kekerasan baik fisik, maupun seksual sejak usia 15 tahun.
Denmark yang dikenal sebagai negara pelopor kebebasan seksual merupakan kelompok wanita yang paling banyak mengalami kekerasan dan pelecehan seksual (Republika, 6 Maret 2014).
Lebih mengejutkan lagi adalah hasil penelitian yang diungkapkan dalam laporan yang diliris kantor Kejahatan dan Obat Terlarang PBB (UNODC).
Dalam laporan itu disebutkan, dalam setiap jam ada enam perempuan yang dibunuh oleh seseorang yang mereka kenal. Dalam tahun 2017 sebanyak 87.000 perempuan dibunuh.
Sekitar 58 persen atau 50.000 dibunuh oleh pasangan atau keluarganya.
Penelitian ini menguatkan apa yang diketahui sejak lama, bagi perempuan, suami, pacar, dan anggota keluarga menjadi orang-orang yang paling membahayakan nyawa mereka dan kebanyakan berniat melukai atau membunuh mereka.
Rata-rata 50 perempuan AS ditembak dan dibunuh oleh pasangannya sendiri stiap bulan. (Republika, 28 November 2018).
Perjuangan dan tekad untuk membebaskan diri dari kekuasaan kaum laki-laki malah jadi berbalik arah, dan berakhir secara tragis. Kaum perempuan seakan menyerah secara total.
Bahkan terkesan seakan ikut andil pula dalam mengembalikan status kaum mereka ke kondisi zaman kuno. "Rela" diperlakukan kembali sebagai "budak seks".
Kini kaum perempuan bagaikan berada dalam lingkaran setan. Ibarat kata pepatah "Takut akan hantu, terpeluk mayat. Lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya."
Lepas dari petaka yang satu masuk ke petaka yang lain.
Serupa dalam lakon, hanya beda dalam sebutan.
Nyatanya ketimpangan perlakuan terhadap kaum Hawa in sudah berjalan sepanjang sejarah manusia itu sendiri.
Memuliakan Ibu (bold) Penganut agama samawi meyakini sepenuhnya, bahwa Adam As. sebagai
makhluk manusia pertama beserta Siti Hawa sebagai pendampingnya.
"Pasangan ganda campuran" ini diciptakan langsung oleh Allah SWT.
Maka keduanya adalah manusia yang tidak punya dan sama sekali tak mengenal sosok Ibu.
Keduanya adalah Bapak dan Ibu bagi manusia sejagat.
Perkembang-biakan melalui proses reproduksi ini kemudian terus berlangsung dari generasi ke generasi sepanjang kehidupan manusia.
Oleh sebab itu rangkaian generasi manusia ini disebut sebagai anak-cucu Adam.
Anak keturunan dari Adam dan Siti Hawa.
Adam sebagai Bapak manusia pertama, dan Siti Hawa adalah Ibu yang melahirkan manusia-manusia penerus generasi.
Merujuk proses penciptaan dan bahan baku yang digunakan, yakni tanah (QS. 38 : 71) menunjukkan bahwa Adam dan Siti Hawa berada pada kedudukan yang sejajar.
Ada kesetaraan antara keduanya, yakni antara laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan ini sudah menjadi bagian dari kodrat laki-laki dan perempuan.
Sesuai dengan kodratnya, struktur, serta kelengkapan biologisnya, kaum perempuan yang melambangkan sosok Ibu memiliki kemampuan bereproduksi.
Melahirkan generasi manusia. Namun sayangnya penghargaan terhadap kaum Ibu ini terkesan kontradiktif.
Sangat bertolak belakang dari pesan-pesan yang tercantum dalam pernyataan firman Sang Maha Pencipta.
Demikian pula halnya dengan pesan Rasul-Nya yang "dipelintir" hingga maknanya jadi beda.
Dikemukakan Rasul SAW dalam sabda beliau : "Saling memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi ).
Hadits shahih ini sering dipahami secara keliru.
Pemahaman bahwa perempuan (Siti Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam, membawa kesan merendahkan derajat kemanusiaan perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Semestinya tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan).
Hadits tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana.
Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka tidak sama dengan laki- laki.
Bila hal itu tidak disadari akan dapat mengantar kaum laki-laki untuk bersikap tidak wajar.
Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan.
Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok (M. Quraish Shihab, 1992).
Dalam agama Kristen, hubungan antara laki-laki dan perempuan dinyatakan : "Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut dan sabar.
Tunjukkanlah kasihmu dalam saling membantu - (Efisius : 4: 2 ). Tetapi hendaklah kamu ramah, seseorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Alah dalam Kristus telah mengampuni kamu. (Efisius : 4: 3).
Anjuran untuk bersikap luhur terhadap kaum perempuan termaktub dalam ajaran Hindu Bali, yang menyatakan : "Burung murai itu dihargai karena suaranya, wanita itu dipandang tinggi karena kesetiaannya dan kehalusan budinya.
Dalam hal ini memaafkan, ketinggian budi itu sangat dikagumi. (Niti Sastra II : 6) Juga termuat dalam Abarvaveda III : 30 " Wahai umat manusia, aku memberimu sifat-sifat ketulus-ikhlasan yang sama, mentalitas (kejiwaan) yang sama dan perasaan berkawan tanpa kebencian (permusuhan) seperti halnya induk sapi mencintai
anaknya yang baru lahir.
"Begitulah seharusnya kamu mencintai teman-temanmu. "(Hardi Darmawan dan Indrawati Hardi, 2011 ). Rangkaian pernyataan di atas menampilkan bagaimana sejatinya, agama menghargai dan memuliakan kaum perempuan.
Sayangnya sinyalemen tersebut belum sempat diwujudkan seutuhnya.
Sepanjang rangkaian perjalanan sejarah peradaban manusia masih selalu tampil ketimpangan.
Selalu diwujudkan dalam pengaruh stigma sejarah kemanusiaan masa silam.
Sampai-sampai faktor budaya ikut dimasukkan kedalamnya.
Faktor yang secara terus menerus dan berkesinambungan ini pula yang kemudian membentuk apa yang disebut rasionalisasi dan streotipe.
Sebagai gejala psikologi yang dipakai untuk mempertahankan harga diri dengan cara menipu diri (Singgih D. Gunarsa , 1986).
Rasionalisasi adalah proses yang melaluinya kita dapat mencari sebab-sebab logis bagi tingkah laku kita.
Bentuk tingkah laku yang biasanya merupakan akibat dari faktor- faktor berbagai motivasi yang tidak disadari (Hasan Langgulung, 1986).
Sementara streotipe adalah konsepsi mengenai golongan berdasarkan prasangka subyektif dan tidak tepat (KBBI, 2012).

Berangkat dari pemahaman ini sebenarnya, menempatkan ataupun memperlakukan perempuan sebagai “warga kelas dua “ memberi kesan hanya sebagai upaya "pembenaran" yang sengaja dicari-cari serta dibuat-buat oleh kaum laki-laki.
Manakala ditelusuri secara cermat dan penuh kearifat kearifan, maka penghargaan maupun pemuliaan terhadap kaum perempuan, adalah sesuatu yang kodrati.
Secara kodratnya memang kaum perempuan diciptakan untuk mengemban tugas yang teramanatkan kepada diri masing-masing oleh Sang Maha Pencipta.
Perempuan sebagai sosok Ibu yang melahirkan.
Dalam proses reproduksi ini, selama masa kehamilan sekitar sembilan bulan sepuluh hari, sang janin berada dalam tanggungjawan Ibu.
Setelah dilahirkan hingga akhir masa kanak-kanak (5 tahun) mereka berada secara langsung dan sepenuhnya (24 jam sehari semalam) dalam pendidikan Ibu.
Bila dikalkulasi rentang waktu keseluruhannya, maka lama masanya tak kurang dari 50.765 jam.
Di rentang waktu itu Ibu senantiasa berada dalam kondisi "siap siaga" untuk melayani calon bayi dan bayinya.
Sepanjang waktu itu pula Sang Ibu menempatkan dirinya sebagai pendidik kodrati.
Di tangan dan dalam asuhan kasih sayangnya pula ditentukan pembentukan generasi muda bangsa.
Berhasil atau gagal. Fungsi dan peran Ibu sebagai pendidik dan pembentuk generasi bangsa tercermin dan dapat dihayati dari gubahan puisi berrikut : Ibumu punya hak besar bila kau tahu.
Banyaknya pemberianmu adalah sedikit baginya.
Berapa malam ia tidur dengan beban mengeluh merasakan kepedihan, merintih dan mengerang.
Dan waktu melahirkan ia merasa payah bila kau tahu.
Kesulitannya menyebabkan hati berdebar. Sering ia mencuci kotoranmu dengan tangan kanannya.
Pangkuan adalah tempat tidur bagimu.
Ia membelamu dengan dirinya terhadap keluhanmu.
Dari airsusunya engkau mendapat minuman nyaman.
Sering kali ia lapar dan memberimu kekuatannya dengan kasih sayang ketika engkau masih kecil.
Kasihan orang berakal yang mengikuti hawa nafsunya dan kasihan orang yang berhati buta sedangkan ia melihatnya.
Hendaklah engkau mengharap do’anya yang banyak, karena engkau membutuhkannya. (Abdullah al- Afifi, 1999). Juga tuturan dari Husein bin Abu Thalib : "Hak ibumu adalah kamu memgetahui dia mengandungmu saat tidak ada orang yang mau mengandung.
Siapapun, dia memberikan kepadamu sesuatu yang tidak akan diberikan orang lain, yaitu buah hatinya.
Dia melindungimu dengan segala dayanya.
Dia tidak peduli dirinya kelaparan selama kamu bisa makan.
Tidak perduli dirinya kehausan selama kamu bisa minum.
Tidak peduli dirinya telanjang selama kamu masih berpakaian.
Tidak peduli dirinya terbakatr terik matahari selama kamu bisa berlindung.
Dia berjaga tanpa tidur demi dirimu.
Dia melindungimu dari panas dan dingin agar kamu menjadi miliknya ( Fitria Andayani, 2012 ).
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai- nilai ajaran agama.
Manakala dihayati secara mendalam melalui hati bersih, serta dipenuhi oleh kearifan, maka penghargaan dan pemuliaan kaum perempuan sebagai sosok Ibu, sudah merupakan sebuah kemestian.
Sikap menghargai dan sekaligus memuliakan kaum Ibu adalah bagian dari fitrah manusia itu sendiri.
Dorongan fitrah ini pula yang sejatinya dilestarikan oleh para kaum laki-laki.
Konon pula para pelopor dan pendidiri bangsa ini telah mengindentikan Tanah Air tercinta ini dengan sebutan "mother land" "sosok Ibu."
Yang terbakukan dalam sebutan IBU PERTIWI.
Selamat Hari Ibu.
====