Pola Hidup Sederhana Menurut Islam

Pelemahan nilai rupiah yang terjadi akhir-akhir ini telah menimbulkan berbagai spekulasi di tengah-tengah masyarakat.

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Pola Hidup Sederhana Menurut Islam
ist
Prof. H. Jalaludin

Pola Hidup Sederhana

Oleh Prof. Dr. H. Jalaluddin

Mantan Rektor IAIN (UIN) Raden Fatah Palembang

Pelemahan nilai rupiah yang terjadi akhir-akhir ini telah menimbulkan berbagai spekulasi.

Tayangan televisi sempat menyajikan sejumlah acara talk show dengan beragam tema utama.

Mulai dari tema yang berkonotasi positif hingga ke tema-tema negatif yang mengarah kepada "kecemasan."

Masing-masing menghadirkan sejumlah pengamat ataupun pakar ekonomi dan moneter kawakan, serta melibatkan juga para pemangku otoritas bidang moneter pemerintah.

Namun sayang, hasilnya baru sebatas komentar dan saran secara "lisan".

Ilustrasi kebahagiaan dalam keluarga merupakan faktor yang amat penting
Ilustrasi kebahagiaan dalam keluarga merupakan faktor yang amat penting (IDI Aceh)

Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika tetap bertahan, bahkan sempat mencapai Rp. 15.020 per dolar. Terus bertahan pada kisaran Rp. 14.800-an.

Krisis moneter ini sudah terjadi berulang di Republik ini. Menjelang peralihan Orde Lama ke Orde Baru, Indonesia sudah dilanda krisis. Krisis tersebut cukup besar dampaknya bagi kehidupan masyarakat.

Kebutuhan bahan pokok terpaksa harus dijatah. Untuk memperoleh sembako, masyarakat mesti "antre" hingga berjam-jam.

Tak jarang bahan-bahan yang tersedia sudah habis di tengah barisan antre yang panjangnya "mengular" itu. Peserta antre tersebut terkena "nasib sial".

Kecewa karena setelah ikut antre berjam-jam harus pulang dengan tangan kosong.

Di pasaran juga terkadang hanya ada harga, tetapi barangnya kosong. Jika lihai "kasak-kusuk", bisa dapat tetapi harganya "selangit."

Harga beras bisa berubah naik, hingga tiga kali sehari, Harga pagi, siang dan sore selalu berbeda.

Untuk mengatasi kelangkaan pangan ini, pemerintah Orde Lama menggantinya dengan "bulgur", olahan jagung yang di Amerika dijadikan santapan kuda.

Menjelang akhir Orde Baru, krisis moneter kembali terjadi. Gejolak krisis tahun 1998 ini juga kembali berdampak pada kehidupan masyarakat.

Di berbagai tempat, penduduk desa sudah ada yang mengonsumsi "nasi aking".

Gejolak krisis moneter yang terjadi akhir-akhir ini selalu dihubungkan dengan ranah global.

Dampaknya dirasakan oleh seluruh negara di dunia. Namun dalam analisis Nomura Holdings Inc.,

Indonesia menjadi satu dari delapan negara yang dinyatakan memiliki resiko terendah terkena krisis, termasuk di dalamnya Brasil, Bulgaria, Kazakstan, Peru, Filipina, dan Thailand.

\Sementara itu, tujuh negara berkembang yang beresiko tinggi terkena krisis nilai tukar adalah Sri Lanka, Afrika selatan, Argentina, Pakistan, Mesir, Turki dan Ukraina.

Menurut Nomura, situasi Indonesia saat ini jauh berbeda dari kondisi pada 1998 atau 2008.

Satu hal yang pasti, cadangan devisa Indonesia mencapai 118, 3 miliar dolar per akhir 2018, jauh lebih kuat, lima kali lebih kuat dibandingkan 1998 yang hanya 23, 61 miliar dolar. (Republika, 13 September 2018).

Rakyat kecil memang "buta" dan awam dengan segala konsep dan istilah-istilah bidang moneter seperti "inflasi, kurs, ataupun devisa."

Gaya Hidup
Gaya Hidup (www.tripjalanjalan.com)

"Wong cilik" ini hanya mampu menangkap makna ekonomi itu dari turun naiknya harga kebutuhan pokok.

Itu saja. Kenaikan harga berdampak pada daya beli masyarakat.

Ini terlihat nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Para pedagang keliling yang menjajakan makanan rakyat seperti : bakso, somay, pempek, putu bambu, tekwan, model dan sejenisnya yang semula ramai berangsur menyepi.

Beberapa tahun lalu pedagang keliling itu punya "jadwal tetap" tiga kali edar sehari.

Kini mulai menyusut menjadi dua kali, dan akhirnya sekalisehari.

Selain itu, keragaman dagangan yang diedarkan itupun secara terpaksa harus "mengundurkan diri".

Pempek, tekwan, model, putu bambu, bakso lokal hingga ke bakso Arema, Hanya yang masih bertahan "Sari Roti" dan somay.

Meski bertahan, peminatnya juga jauh menurun.

Masyarakat mulai "berhemat." Lebih memprioritaskan kebutuhan dapur, ketimbang "jajan."

Meskipun analisis Nomura tersebut benar adanya. Namun bukan mustahil kondisi yang dinilai "positif" itu bakal berbalik arah.

Tergantung dari kondisi moneter global.

Sepanjang sejarah, dunia telah pernah mengalami krisis moneter yang terparah, yakni sekitar tahun 1930-an.

Krisis yang dikenal sebagai "resesi" ekonomi dunia yang demikian parah itu disebut "zaman malaise".

Demikian susahnya kehidupan masyarakat semasa itu, sempat dikisahkan sejumlah kasus yang "memilukan."

Peristiwa tersebut terpublikasikan secara terbuka oleh media tulis.

Kegoncangan ekonomi dunia sekitar tahun 1930-an itu turut memengaruhi kehidupan petani, yang semuanya tinggal di desa ( Onghokham, Prisme, 1979 ).

Selain itu kaum buruh yang hidup di kota-kota, tampaknya juga mengalami keadaan hidup yang tak jauh berbeda.

Pendapatan mereka merosot, sejak resesi ekonomi.

Jika tahun 1920-an, upah buruh perkebunan 50 sen sehari sudah dinilai sangat kecil dan tidak dapat menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka upah buruh pabrik rokok lebih rendah lagi.

Upah yang diterima buruh ini hanya sekitar 10 sampai 12 sen sehari (Sritua Arief, Prisma, 1982).

Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menulis : "Kesuraman" ekonomi negara (Hindia Belanda) menimbulkan suasana kehidupan yang semakin buruk di masyarakat.

Sejumlah kasus yang terjadi menggambarkan kegetiran, sehingga seolah-olah orang sudah kehilangan "harga diri" demi mempertahankan hidup.

Misalnya di kampung Pagelaran Sukabumi, ada keluarga yang terpaksa hidup dari makan daun-daunan di hutan, dan akhirnya terpaksa menawarkan anak mereka untuk dijual (Harian Darmokondo, 1932).

Demikian pula di desa Banaran dekat Tulung Agung, seorang suami didapati sudah meninggal dunia karena menggantung diri, sebab sudah tak sanggup memberi makan keluarganya (Harian Aksi, 1931).

Bahkan di kota sering ada orang yang minta dipenjarakan, karena mengharapkan jaminan hidup yang lebih baik dari kemelaratan yang mereka derita di luar penjara (Harian Pewarta Deli, 1932).

Demikian pula pencurian sering terjadi, hanya karena ingin mempertahankan hidup ( Harian Sinpo, 1933 ).

Dikemukakan, bahwa warga secara terpaksa melakukan berbagai tindak kriminil.

Tindakan itu bukan disebabkan oleh "kebobrokan moral", melainkan hanya sekedar untuk menyelamatkan diri dari penderitaan hidup.

Dengan melakukan tindak kejahatan itu, mereka akan dipenjara. Hidup di penjara lebih terjamin, sebab makan dan minum akan terjamin.

Sementara hidup di luar penjara mereka akan kelaparan.

Oleh karena itu mereka berbondong-bondong untuk dipenjarakan.

Salah satu cara yang paling tepat adalah melakukan kejahatan, khususnya mencuri (Soekarno, 1965).

Memang dampak yang terjadi dari gejolak pelemahan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini belum separah "resesi" ekonomi atau "malaise" tahun 1930-an. Masyarakat yakin, bahwa pemerintah tidak tinggal diam.

Berbagai kiat dan kebijakan sudah dan terus akan dilakukan guna mengatasi gejolak krisis ini.

Selain itu juga perlu adanya dukungan dan kesadaran masyarakat Indonesia sendiri.

Di kala gejolak ini berlangsung, Islam ternyata punya konsep khusus untuk dijadikan solusi. \

Konsep dimaksud adalah berupa tawaran untuk "hidup sederhana." "Hidup sederhana" merupakan salah satu
keindahan dalam ajaran Islam.

Allah dan Rasul-Nya menyuruh umat Islam agar menerapkan pola hidup sederhana.

Adapun hidup sederhana dimulai dari memberikan hak- hak keluarga, fakir miskin, ibnu sabil, hingga menjauhkan diri dari sifat pemboros dengan tidak menghambur-hamburkan harta kekayaan tanpa manfaat yang jelas.

Dalam bahasa agama hidup sederhana lebih dikemas dengan istilah qana’ah yang maknanya merasa cukup dengan apa yang ada tanpa rasa gelisah dan tidak berkecil hati atas apa yang sudah diraih.

Hidup sederhana inheren (berhubungan erat) dengan segala aspek kehidupan manusia, mulai dari hidup berumah tangga, tertib berbusana, berperilaku, makan, minum, dan sebagainya.

Dalam kasus lain, hidup sederhana berarti tidak berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam makan dan minum, tidak melampaui batas yang dibutuhkan tubuh, serta tidak melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.

Namun demikian, hidup sederhana bukan bermakna hidup primitif yang serba kekurangan dan minim, sebab pola hidup yang demikian tidak memberi kesempurnaan dan ketenangan, bahkan menimbulkan kegelisahan.

Dapat dipastikan bahwa jika seseorang kurang makan dan minum, maka berbagai penyakit akan menggerogoti dirinya.

Demikian pula dalam berbusana, misalnya cara berpakaian yang minim (hampir menyerupai zaman primitif) sampai menampakkan perut dan pusarnya, dipastikan akan membahayakan moral masyarakat.

Dalam ajaran Islam tuntunan untuk hdup sederhana ini telah terkemas dalam berbagai pesan Kitab Suci maupun Hadits Rasul Allah Saw. Allah dalam rangkaian firman- Nya mengungkapkan : "Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah (pula) engkau terlalu mengulurkannya ( sangat pemurah ) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal." ( QS. 17: 29 ).

"Wahai anak cucu Adam ! Pakalilah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. "( QS. 7 :31)".
Hidup sederhana dalam kandungan pesan ayat- ayat ini adalah berupa pola kehidupan yang tidak membelenggu diri atau sebaliknya tidak terlalu kikir terhadap diri sehingga makan, minum, berpakaian dan sebagainya dibatasi.

Sebaliknya tidak pula terlalu mengulurkan tangan lebar-lebar yang mengakibatkan terlepas kendali diri.

Adapun yang terbaik adalah mengambil jalan tengah. Inilah yang dimaksud dengan pola hidup sederhana.

Sikap hidup sederhana merupakan kekuatan mental untuk menghadapi perubahan- perubahan yang terjadi di sekitar lingkungan hidup kita.

Sebagaimana suda jamak dikemukakan, bahwa kemajuan dalam Iptek telah membawa kehidupan masyarakat dalam pola kehidupan modern yang serba bendawi (materialistik) dan seba boleh (pemissiveness).

Efek samping pola kehidupan ini adalah munculnya gejala- gejala hidup negatif seperi kecenderungan untuk hidup mewah dan keborosan yang diperoleh dari kerja keras, atau bahkan hasil korupsi, kolusi, manipulasi ataupun nepotisme.

Bila hal itu terjadi, maka manusia akan kehilangan kendali diri.

Di sela- sela kemajuan yang demikian menggelobalnya itu, maka Islam telah memberikan pedoma hidup yang jelas. Rasul Allah Saw. bersabda : "Takutlah segala yang haram, maka engkau akan menjadi manusia yang paling banyak ibadat. Dan ridhalah terhadap apa yang dianugerahkan Allah kepadamu, niscaya engka menjadi manusia yang terkaya. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi Muslim, kasihilah orang sebagaimana engkau mengasihi dirimu, Jangan banyak tertawa karena menjadikan tertawa itu mematikan hati." (HR. Al- Tirmidzi dan Baihaqy).

Resepnya sudah ada. Mudah, kan ?

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved