Pilgub Sumsel 2018
Dinamika Parpol Berkoalisi Untuk Pilgub Sumsel 2018
KPUD telah menyusun tahapan pelaksanaan pilkada --salah satu tahapannya adalah pendaftaran pasangan calon kepala daerah.
Dinamika Parpol Berkoalisi Untuk Pilgub Sumsel 2018
Oleh: Joko Siswanto
Dosen FISIP UNSRI/Rektor Universitas Taman Siswa Palembang
Pilkada serentak 2018 semakin dekat.
KPUD telah menyusun tahapan pelaksanaan pilkada --salah satu tahapannya adalah pendaftaran pasangan calon kepala daerah.
Para peminat jabatan kepala daerah dan parpol yang sudah berbulan-bulan untuk saling menjajaki dan melakukan survei tingkat elektabilitas harus segera mengambil sikap siapa pasangan calon yang akan diusung parpol atau gabungan/koalisi parpol.
Untuk Pilgub Sumsel, waktu pendaftaran yang semakin dekat belum juga ada kepastian pasangan calon gubernur yang ditetapkan oleh gabungan/koalisi parpol.
Siapa mengusung siapa dan siapa diusung siapa masih belum jelas dan pasti.
Parpol tampaknya masih intensif saling berkomunikasi dan bernegosiasi untuk menetapkan pasangan calon gubernur.
Ada tiga kelompok parpol berdasarkan perolehan kursi di DPRD.
Pertama, kelompok parpol papan atas yakni mereka yang mendapat 10 atau lebih kursi di DPRD Sumsel, yakni PDIP: 13, Demokrat: 11, Golkar: 10 dan Gerindra: 10. Kedua, parpol papan tengah yang mendapat kursi antara 5-9 yakni PKB: 6, NASDEM: 6 PAN: 5, PKS: 5, HANURA: 5. Ketiga, parpol papan bawah yang mendapat kursi di bawah 5, yakni PPP dan PBB yang masing-masing hanya 2 kursi.
Persyaratan jumlah kursi atau suara untuk mengusung pasangan calon diatur dalam pasal 40 ayat (1) UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada bahwa parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Dengan ketentuan tersebut, maka persyaratan jumlah kursi untuk mendaftarkan pasangan bakal calon gubernur Sumsel adalah 20% kali 75 kursi didapat angka 15 kursi.
Melihat perolehan kursi parpol di DPRD Sumsel tersebut di atas, ternyata tidak ada satu parpol pun yang bisa mengusung pasangan calon gubernur sendirian.
Dengan kata lain, parpol harus berkoalisi atau gabungan parpol.
Parpol apa yang harus aktif mencari tambahan kursi agar memenuhi syarat genap 15 kursi?.
Sudah sepatutnya parpol papan atas (PDIP, Demokrat, Golkar dan Gerindara) yang seharusnya menyiapkan jagonya untuk berebut kursi Sumsel 1.
Logikanya, jika kursinya banyak maka pendukungnya juga banyak dan kemungkinan pertaruangan akan kompetitif sehingga peluang menang juga akan besar.
Selain hal tersebut, secara teknis dengan hanya menggaet satu parpol papan tengah sudah bisa memenuhi syarat 15 kursi.
Jadi, secara teoritis dan matematis jika empat parpol papan atas masing-masing mempunyai bakal calon (balon) Sumsel 1 kemudian menggaet masing-masing satu parpol papan tengah, maka jumlah pasangan balon gubernur Sumsel dimungkinkan bisa 4 pasang.
Dengan situasi seperti itu, posisi parpol papan tengah bak gadis molek yang siap menerima pinangan dari parpol papan atas. Disinilah terjadi proses negosiasi dan komunikasi yang alot.
Parpol papan tengah bisa "pasang tarif" atau meminta jabatan balon wakil gubernur atau imbal sulih yang lain.
Tidak ada dalam dunia politik gratisan, apalagi parpol papan tengah sangat menyadari posisinya yang sangat dibutuhkan oleh parpol papan atas.
Jika ada parpol papan atas tidak mempunyai balon gubernur yang layak diusung, kemungkinan pertama, parpol tersebut akan bersikap meminta atau menawarkan untuk dijadikan balon wakil gubernur kepada parpol papan atas yang mengusung balon gubernur.
Atau kemungkinan kedua, kalau tidak mempunyai gengsi institusi atau rasa malu sebagai parpol papan atas yang berkursi banyak, maka parpol papan atas tersebut akan "menjual diri" dengan "harga tinggi" kepada partai papan tengah yang mempunyai balon gubernur yang masih kekurangan kursi relatif banyak untuk memenuhi syarat 15 kursi, dan bisa jadi sekaligus meminta jabatan untuk diusung sebagai balon wakil gubernur.
Kemungkinan ketiga, demi wibawa parpol, maka parpol papan atas yang tidak mengusung bakal calon gubernur atau wakil gubernur lebih baik tidak terlibat usung mengusung bakal calon dan membiarkan konstituennya bebas menentukan pilihannya. Tetapi kemungkinan terakhir ini kecil dilakukan.
Bagaimana sikap parpol papan tengah?
Bagi parpol yang merasa mempunyai balon gubernur dengan elektabilitas tinggi akan berusaha merayu sesama parpol papan tengah minimal merangkul 2 parpol untuk memenuhi syarat 15 kursi.
Parpol papan tengah yang dirayu tentu akan bernegosiasi dan "pasang tarif" berani berapa dengan sekaligus menawarkan untuk posisi balon wakil gubernur, atau minta kompensasi lain.
Kemungkinan lain, ada seseorang atau beberapa orang yang merasa mampu menjadi balon gubernur atau wakil, tetapi tidak mempunyai kendaraan untuk maju maka berusaha akan "membeli" parpol papan tengah untuk dijadikan kendaraan.
Atau ada juga parpol papan tengah yang langsung menawarkan dan mendukung kepada parpol papan atas.
Politik adalah serba kemungkinan dan baru bisa dipercaya kalau sudah ada deklarasi dan publikasi kontrak politik.
Untuk parpol papan bawah, dapat disebut parpol pasif atau parpol pelengkap yang menunggu pinangan parpol papan atas dan menengah.
PDIP yang 13 kursi, cukup dengan satu parpol papan bawah yang 2 kursi sudah cukup.
Untuk Demokrat yang kursinya 11 harus tambah 4 kursi sehingga dua parpol papan bawah direbut semua.
Jika dilamar parpol papan tengah perlu menimbang dengan cermat karena logika politiknya akan nyaman bergabung dengan parpol papan atas yang kemungkinan menangnya lebih besar.
Jadi, parpol papan bawah jika tidak dilamar oleh parpol papan atas dan tengah cenderung akan memberikan dukungan kepada parpol papan atas tertentu yang peluang meraih kemenangan relatif tinggi.
Dua parpol dari empat parpol papan atas sudah menetapkan mengusung balon gubernur, yakni Golkar mengusung Dody Reza (sudah mendapat SK dari DPP Golkar) dan Demokrat akan mengusung Ketuanya, Ishak Mekki.
Mengapa Golkar mengusung Dody Reza yang saat ini sedang menduduki jabatan Bupati Muba?.
Ya, tentu semua tahu meskipun Ketua Umum Golkar Sumsel adalah Alex Noerdin, namun dirinya tidak mungkin maju lagi karena sudah menjadi gubernur dua periode.
Oleh karena itu, dicari kader Golkar yang dinilai cakap, mempunyai jaringan luas di tingkat nasional dan internasional, berpengalaman di bidang pemerintahan (anggota dewan dan atau kepala daerah), bisa melanjutnya dan mengembangkan pembangunan yang telah dirintis gubernur sebelukmnya dari Golkar dan yang elektabilitasnya relatif tinggi.
Nah, kader Golkar yang dimaksud jatuh kepada Dody Reza Bupati Muba yang kebetulan putera Gubernur Alex Noerdin.
Atas pencalonan Dody Reza tersebut menimbulkan pro kontra di masyarakat politik Sumsel.
Pihak yang pro beralasan bahwa tidak ada dasar hukumnya untuk melarang ikut kontestasi dalam pilgub. Ini merupakan asasi, hak dipilih dan memilih.
Menduduki jabatan yang lebih tinggi merupakan wujud tanggung jawab yang lebih besar dan ini merupakan tugas yang lebih mulia.
Dengan menjabat gubernur kelak, maka akan lebih strategis dalam berperan dan ikut memikirkan pembangunan di Kabupaten Muba.
Selain itu, sebagai kader parpol Golkar harus bersikap loyal dan ketika mendapat tugas parpol harus selalu siap menjalankannya.
Bagi pihak yang kontra, beberapa alasan dikemukakan antara lain karena sebagai Bupati Muba yang diembannya ibarat baru seumur jagung (kepatutan politik), belum ada bukti berkarya, dan masyarakat Muba masih berharap banyak kiprah Dody Reza yang mulai tampak gebrakannya tetapi belum tuntas.
Dipandang masih muda untuk jabatan gubernur dan sebagainya.
Selain itu, mereka yang kontra dihinggapi kecurigaan negatif dan berlebihan bahwa jika Dody Reza menjadi gubernur akan dikendalikan oleh ayahnya dan kemudian akan terbangun dinasti politik di Sumsel.
Semua pendapat, alasan dan dugaan tersebut sah-sah saja, boleh-boleh saja di era bebas berpendapat ini (demokrasi).
Akan tetapi perlu diingat bahwa dugaan tersebut bisa tidak tepat dan tidak benar.
Dinasti politik tidak mesti buruk dan itu tergantung dari moralitas, niatnya dan prestasi kerjanya.
Semua masyarakat Indonesia bahkan dunia mengerti prestasi Gubernur Alex Noerdin dalam membawa Sumsel ke pentas Indonesia bahkan dunia sebagai provinsi terdepan yang membuat provinsi lain merasa iri dengan kemajuan Sumsel.
Banyak pembangunan infra struktur yang tidak dibiayai dari APBD bisa terlaksana di Sumatera Selatan berkat kreatifitas dan kemampuan berkomunikasi (lobi) atau membangun jaringan dengan pihak ketiga (pemerintah pusat dan swasta).
Oleh karena itu, hal yang wajar jika Gubernur Alex Noerdin bermimpi dan mengharapkan penerus dirinya harus minimal setara dirinya atau bisa melebihi dirinya.
Untuk itu, Alex Noerdin tampak lebih percaya kepada kapasitas dan kapabilitas Dody Reza, anaknya, untuk meneruskan dan mengembangkan pembangunan di Sumsel.
Dan seandainya kemudian ikut memberi masukan dan terlibat menjadi konsultan bagi anaknya pun masih bisa diterima mengingat prestasi Gubernur Alex Noerdin dapat dibanggakan dan melambungkan nama Sumsel di pentas dunia.
Untuk pihak yang kontra ini ditunggu buktinya saja dan ikut aktif melakukan kontrol.
Partai Demokrat juga sudah menetapkan Ketua Umumnya, Ishak Mekki, sebagai balon gubernur.
Namun, sampai saat ini, Demokrat tampaknya masih galau, belum ada kejelasan menemukan koalisi parpol yang bisa diajak untuk memenuhi persyaratan 15 kursi, dan belum dapat memastikan siapa yang bakal mendampingi Ishak Mekki sebagai balon wakil gubernur.
Di parpol papan atas hanya ada satu parpol yang relatif ada hubungan batin dengan Partai Demokrat, yakni Partai Gerindra.
Pertanyaannya adalah maukah Gerindra yang berkursi 10 dijadikan posisi "hanya" calon wakil gubernur?.
Mengingat bahwa Ketua Umum Gerindra Sumsel yang Bupati Lahat (Safiudin Aswari Rivai) sudah lama gencar sosialisasi maju untuk merebut kursi Sumsel 1 pada pilgub 2018, kemudian harus banting stir merubah keinginan hanya sebagai wakil.
Jika Gerindra harus tetap maju demi wibawa parpol papan atas maka Gerindra pun harus pusing dan bekerja keras mencari koalisi parpol papan tengah dan bawah untuk bisa memenuhi syarat 15 kursi.
Hal ini bukan pekerjaan yang mudah mengingat parpol papan tengah juga menjadi incaran Demokrat dan sesama parpol papan tengah.
Namun, jika perjuangan untuk menambah 5 kursi terasa berat dan elektabilitasnya juga tidak kompetitif, maka jika bersedia mengalah untuk rela sebagai balon wagub saja bukanlah suatu sikap yang keliru akan tetapi realistis.
Dengan demikian, jika Gerindra bisa menerima posisi itu, maka Demokrat dan Gerindra akan berkoalisi dan permasalahan keduanya selesai, tinggal mengatur tatik dan strategi berkompetisi.
Bagaimana dengan PDIP?. Sebagai partai papan atas dan partai yang berkuasa (pemerintah), PDIP sangat ditunggu sikapnya, akan maju ikut berebut kursi Sumsel 1 atau "cukup rela" menduduki jabatan balon wakil gubernur.
Jika harus mengusung bakal calon gubernur maka pekerjaan rumahnya adalah mencari dukungan parpol papan tengah atau papan bawah agar cukup 15 kursi dan menyiapkan figur atau kader parpol yang elektabilitasnya bersaing dengan calon lain.
Sampai saat ini belum terdengar siapa kader PDIP yang elektabilitasnya mampu bersaing dengan calon lain untuk menduduki bakal calon gubernur.
Ada nama besar Edy Santana Putra (mantan Walikota Palembang) dan ketua Umum PDIP Sumsel, Giri Ramanda, yang berpeluang untuk balon Sumsel 1.
Tetapi gauangnya dan gerakannya kurang dirasakan masyarakat.
Jika memang PDIP tidak ada kader untuk bersaing merebut kursi Sumsel 1, maka PDIP terpaksa harus rela menerima dan bersedia diusung atau dilamar sebagai balon wakil gubernur.
Tentu saja, pilihannya akan dijatuhkan kepada parpol papan atas yang mempunyai koneksitas batin kuat di pemerintahan nasional dan lokal, yakni kepada Golkar daripada ke Demokrat atau Gerindra.
Lalu siapa figur PDIP yang bakal diusung untuk balon wakil gubernur tersebut?.
Tradisi politik dan etika dalam parpol adalah ketua umum parpol yang mempunyai, pantas dan berpeluang terbesar untuk diprioritaskan diusung.

Dengan demikian, ada kemungkinan besar PDIP akan mengusung Ketua Umum PDIP Sumsel yakni Giri Ramanda sebagai bakal calon wakil gubernur berpasangan dengan Dody Reza yang diusung Golkar sebagai bakal calon gubernur.
Bagaimana peran parpol papan tengah yang tidak mengusung bakal calon gubernur dan atau wakil gubernur?.
Partai Hanura sebagai papan tengah sudah menyatakan mendukung Dody Reza.
Tinggal empat parpol yang bisa direbutkan Demokrat dan Gerindra jika dua parpol tidak berkoalis, atau minimal tiga parpol berkoalisi untuk mengusung satu pasang.
Dan parpol yang mempunyai hubungan ideologis adalah PAN, PKS dan PKB.
Sayangnya, ketiga parpol tersebut tidak pernah terdengar mengelus-elus jago dari kader parpolnya untuk bertarung dalam pilgub Sumsel 2018.
Hanya Partai Nasdem sebagai parpol papan tengah yang gencar melakukan sosialisasi mengusung Ketua Umumnya, Syahrial Oesman, untuk "melayani kembali" menjadi bakal calon gubernur dalam pilgub 2018 nanti.
Selain nama besar Syahrial Oesman (mantan Gubernur Sumsel), ada Herman Deru (mantan Bupati OKU Timur dan runner up pilgub 2014) yang cukup populer bakal diusung oleh Nasdem untuk berebut Sumsel 1, yang konon elektabilitasnya cukup tinggi.
Herman Deru pernah sebagai Ketua Ormas Nasdem Sumsel sebelum berubah menjadi Partai Nasdem.
Akan tetapi, tantangan Nasdem cukup berat karena harus mencari dukungan parpol papan tengah minimal dua parpol untuk memenuhi syarat 15 kursi.
Tugas ini bukan mudah bagi Nasdem mengingat parpol papan tengah yang diajak koalisi bukan "sealiran" atau tidak chemistry.
Kendatipun kurang ada koneksitas batin yang baik, demi kepentingan bersama dan jabatan (kekuasaan) maka halangan ideologis dan batin tersebut bisa dikesampingkan.
Nah, jika memang Herman Deru yang maju sebagai jagonya Nasdem, siapa bakal wakilnya?.
Berita yang berkembang dan beredar di masyarakat bahwa yang bakal merapat ke Herman Deru bersedia menawarkan diri sebagai bakal calon wakil gubernur adalah mantan bupati Ogan Ilir, Mawardi Yahya. Jika berita itu benar, maka Mawardi Yahya sebagai petarung harus bisa menaklukkan parpol papan tengah merapat ke Nasdem.
Analisis yang masih serba kemungkinan di atas akan terjawab dan terlihat benar atau salah ketika koalisi parpol akan mendaftar pasangan bakal calon gubernur masing-masing ke KPUD Sumsel.
Namun yang sudah bisa dipastikan mempunyai dukungan 15 kursi adalah bakal calon gubernur Dody Reza yang diusung oleh Golkar dan Hanura, meskipun kepastian nama bakal calon wakilnya juga belum dideklarasikan.
Sedangkan untuk balon dan parpol lain belum ada kepastian, masing-masing masih sibuk berkomunikasi dan bernegosiasi untuk bisa mengumpulkan syarat 15 kursi.
Semua masih serba mungkin. Itulah politik yang syarat kepentingan dan ambisi masing-masing sehingga alot untuk dikompromikan.
Masyarakat Sumsel sudah tidak sabar menunggu, segera pingin mengerti siapa diusung siapa, siapa mengusung siapa.
Akhirnya, pada saatnya nanti di tanggal pemilihan semua tergantung kepada pilihan rakyat. Berfikirlah memilah dan mantapkan memilih.