Pengaruh Makanan

Pengaruh Makanan dalam BerIbadah

Sebagai makhluk hidup, manusia telah dilengkapi oleh Sang Maha Pencipta dengan berbagai macam kebutuhan.

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Pengaruh Makanan dalam BerIbadah
ist
Prof. H. Jalaludin

Pengaruh Makanan dalam BerIbadah

Prof. Dr. H. Jalaluddin

Mantan Rektor IAIN (UIN) Raden Fatah Palembang

Sebagai makhluk hidup, manusia telah dilengkapi oleh Sang Maha Pencipta dengan berbagai macam kebutuhan.

Para ahli bidangnya mengidentifikasikan kebutuhan tersebut berdasarkan sudut pandang masing-masing.

Dengan menggunakan pendekatan psikologi kriminal, J.P. Guilford membagi kebutuhan ini menjadi : kebutuhan individual dan kebutuhan sosial (Gerson W. Bawengan, 1977).

Adapun Zakiah Daradjat, yang menggunakan pendekatan psikolgi agama, menggolongkan kebutuhan manusia ke dalam dua kebutuhan pokok, yakni primer dan kebutuhan sekunder.

Pertama, kebutuhan primer atau kebutuhan jasmaniah adalah makan, minum, seksual.

Kedua, kebutuhan rohaniah, mencakup kebutuhan jiwa dan sosial (Zakiah Daradjat, 1979).

Di luar pembagian tersebut, Ahmad Yamani mengemukakan tentang adanya kebutuhan manusia akan agama.

Menurutnya kebutuhan ini bersumber dari rasa bingung dan kebimbangan manusia dalam upaya memahami dan belajar mengenal alam sekitarnya sebagai imbangan rasa takut terhadap keganasan alam.

Masyarakat primitif telah menemukan apa yang dicarinya pada gejala alam itu sendiri.

Secara berangsur dan silih berganti gejala-gejala alam tadi diselaraskan dengan jalan kehdupannya.

Penyelarasan ini kemudian diwujudkan dalam aktivitass pemujaan terhadap benda-benda alam yang dianggap dapat mendatangkan malapetaka bagi kehidupan mereka.

Menurut Robert Nuttin, dorongan beragama merupakan salah satu dorongan yang bekerja dalam diri manusia sebagaimana dorongan-dorongan lainnya seperti halnya makan, minum, seksual, intelek dan dorongan lainnya.

Selain itu dorongan ini juga menuntut untuk dipenuhi, sehingga pribadi manusia memperoleh kepuasan dan ketenangan.

Dorongan beragama juga merupakan kebutuhan insaniyah yang bersumber dari rasa keagamaan.

Namun dalam konsep Islam dorongan beragama ini bersumber dari fitrah manusia itu sendiri.

"Dan hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu." ( QS. 30 : 30 ). Fitrah Allah maksudnya fitrah ciptaan Allah.

Hakikat Manusia

Dalam statusnya sebagai makhluk biologis, manusia memiliki kebutuhan primer, yakni makan minum dan seksual.

Namun demikian, di antara kebutuhan primer ini, makan dan minum merupakan kebutuhan yang paling awal terpenuhi.

Sebab keduanya terkait erat dengan pertumbuhan fisik manusia itu sendiri.

Bahkan sejak masih berada dalam kandungan kebutuhan tersebut sudah terlayani secara kodrati.

Kedua kebutuhan primer ini dilayani oleh si ibu melalui proses penyaluran langsung dari placenta (tembuni).

Proses ini terus berlangsung hingga janin terlahir sebagai bayi.

Saat dilahirkan asupan makanan dan minuman beralih ke air susu ibu (ASI).

Di dua rangkaian proses ini asupan makanan dan minuman bayi sepenuhnya tergantung kepada si ibu, yakni kepada apa yang dikonsumsi oleh ibu.

Sementara kebutuhan seksual baru menuntut pemenuhannya, manakala manusia menginjak periode usia PJKA (Penuh Jerawat Karena Asmara ).

Jadi kebutuhan makan dan minum lebih dulu menuntu pemenuhannnya.

Berdasarkan kandungan unsur materinya, makanan dan minuman lazim dihubungkan dengan pertumbuhan fisik ( jasmani).

Selalu digandengkan dengan kandungan nilai gizinya.

Adapun yang dimaksud dengan gizi adalah zat makanan pokok yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesehatan badan (KBBI, 2012).

Untuk mencapai kondisi hidup sehat, para pakar dan ahli gizi mengusung konsep "empat sehat lima sempurna." Empat sehat merupakan standar pola hisup sehat.

Sementara itu susu difungsikan sebagai unsur tambahan untuk mencapai kondisi "sehat plus."

Pendek kata, bila kelimanya terpenuhi secara utuh, maka akan tercapai tingkat kesehatan dan kebugaran prima.

Pertumbuhan berlangsung secara sempurna.

Sehat secara jasmani tidur nyenyak, selera makan tidak terganggu, serta tubuh kebal terhadap gangguan penyakit.

Secara garis besarnya, kelima unsur utama "empat sehat lima sempurna" itu terkomposisi dari racikan unsur materi (bendawi).

Memang secara fisik tubuh manusia terbentuk dari komposisi dan racikan unsur-unsur biokimia.

Namun hanya dengan unsur kimiawi ini diyakini manusia belum mampu memenuhi aktivitas pengabdiannya secara maksimal.

Oleh sebab itu manusia juga dilengkapi dengan potensi spiritual.

Dengan potensi ganda ini diharapkan manusia dapat dan mampu memenuhi hakikat penciptaannya, yakni sebagai pengabdi Allah, sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya : "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada- Ku." ( QS.51: 56 ).

Pernyataan Kitab Suci ini mengindikasikan, bahwa segala bentuk aktivitas manusia, sejatinya tak dapat dilepaskan dari nilai-nilai ibadah kepada Sang Maha Pencipta.

Termasuk dalam hubungan dengan aktivitas mencari nafkah.

Mencermati semuanya itu, maka di samping membutuhkan asupan gizi material, manusia juga perlu diberi asupan gizi spiritual.

Oleh sebab itu menurut M. Quraish Shihab konsep "empat sehat lima sempurna" perlu direvisi.

Diganti dengan rumus baru, yakni "lima sehat enam sempurna."

Dengan menambahkan kata-kata halal atau boleh (M. Quraish Shihab, 1992), sejalan dengan tuntunan Al-Qur'an.

Dijelaskan Allah SWT.dalam firman-Nya : "Wahai manusia ! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu." QS. 2: 168 ).

Selain status hukumnya (halal) dan gizinya (thayyib) juga takarannya "makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan." ( QS. 7 : 31 ).

Dalam pandangan Prof. Abdul Halim Mahmud, yang terkait dengan makanan dan minuman, bukan hanya menggunakannya saja, melainkan juga seluruh aktivitas yang dilakukan hendaknya bersifat halal (M. Quraish Shihab, 1992).

Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa selain status hukum berdasarkan komposisi unsur yang terkandung di dalamnya, juga perlu diperhatikan pula bagaimana proses dan cara untuk mendapatkan makanan dan minuman yang bakal dikonsumsi.

Dengan demikian status "halal"nya makanan dan minuman, bukan hanya terbatas pada unsur materinya saja, melainkan menyangkut cara memperoleh serta mengolahnya juga.

Nasi dan lauk pauk (ikan dan sayur) secara materi, halal.

Nasi dan lauk Pauk makanan halal/Ilustrasi
Nasi dan lauk Pauk makanan halal/Ilustrasi (SRIPOKU.COM/TRESIA SILVIANA)

Tetapi bila pengadaannya berasal dari "Sepanyol" (Separuh Nyolong) misalnya uang hasil curian, manipulasi ataupun korupsi, maka status hukumnya adalah haram.

Demikian pula sebaliknya, uang yang diperoleh dari usaha halal tetapi dibelikan makanan dan minuman yang diharamkan oleh agama, maka status hukumnya juga haram.

Adapun menyangkut "pengolahan" seperti penyembelihan hewan ternak yang tidak disertai penyebutan nama Allah atau "atas nama selain Allah" (QS. 6: 145) termasuk :"rijs" atau kotor dan diharamkan.

Asupan makanan dan minuman yang halal begitu penting bagi kehidupan Muslim, sebab keduanya memiliki pengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang.

Pertama, makanan dan minuman yang halal menjaga keseimbangan jiwa, karena sejalan dengan hakikat fitrah (suci) manusia.

Kedua, menumbuhkan sikap yang tinggi dalam menegakkan ajaran Allah.

Ketiga, dapat membersihkan hati dan menjaga lisan dari perkataan-perkataan yang tidak perlu.

Keempat, dapat menumbuhkan kepercayaan diri di hadapan Allah (Thobien al- Asyhar, 2002).

Alexis Carrel sempat mengungkapkan : "Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena selum lagi diadakan eksperimen secara memadai. Namun tidak dapat diragukan lagi bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan." (M. Quraish Shihab, 1996).

Jauh sebelum kajian modern dilakukan, seorang ulama besar bernama Al-Hariri (w. 1232 M) telah mengemukakan pendapatnya, bahwa jenis makanan dan minuman dapat mempengaruhi jiwa dan sifat-sifat mental pemakannya.

Kesimpulan itu didasarkan pada rujukan kata "rijs" yang diungkapkan dalam Al-Qur'an. Menurutnya, kata "rijs" mengandung arti "keburukan budi dan kebobrokan moral."

Dengan demikian bila Allah menunjukkan jenis makanan tertentu dan menilai sebagai "rijs" berarti bila dikonsumsi, maka makanan dimaksud dapat menimbulkan keburukan budi pekerti (M. Quraish Shihab, 1996).

Ibn Abbas pernah mengungkapkan kasus yang dialami oleh Sa'ad.

Dia mohon kepada Rasul Allah SAW agar beliau memohonkan kepada Allah agar menjadikan do’anya (Sa'ad) diperkenankan oleh Allah SWT.

Menanggapi permintaan Sa'ad ini, Rasul Allah SAW, langsung bersabda : "Baikkanlah makananmu, maka do'amu diperkenankan.": (Thobieb al- Asyhar, 2002).

Rasul Allah SAW juga telah banyak memberi petunjuk tentang makanan, serta status hukumnya masing-masing.

Petunjuk ini antara lain terungkap dalam sejumlah wasiat beliau kepada Ali ibn Abi Thalib.

Beliau kemukakan : "Wahai Ali", Barangsiapa makan yang halal maka cerahlah agamanya, lunaklah hatinya dan tidak terdapat tutup (dinding) bagi do'anya” : "Wahai Ali : Barangsiapa yang makan yang syubhat, maka menjadi samarlah agamanya dan gelaplah hatinya. Barangsiapa yang makan haram maka matilah hatinya, ringanlah agamanya, lemahlah keyakinannya, dan Allah menutup do’anya, serta sedikit ibadahnya." (A. Sonhaji, 2001).

Dalam sabda beliau yang lainnya dinyatakan : "Siapa yang makan makanan halal empat puluh hari, maka Allah menerangi hatinya dan Dia alirkan sumber- sumber hikmah dari hatinya atas lisannya." (HR. Abu Naim ).

Dunia berputar, dan zaman beredar, peradaban manusia ikut bertukar dengan peradaban-peradaban baru .

Peradaban modern yang dihadirkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, produk pemikiran inovatif maupun kreativitas manusia.

Mengiringi perkembangan ini lahir pula sistem nilai baru yang dijadikan rujukan oleh masyarakat
dunia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku.

Serangkaian dengan perubahan ini, tak jarang pula masyarakat Muslim ikut hanyut terseret oleh arus modernisasi, hingga lupa akan "jati dirinya".

Segala bentuk bimbingan dan tuntunan Kitab Suci dan wasiat Rasul Allah SAW cenderung dinilai sebagai "dokumen sejarah" masa lalu.

Malah cenderung dianggap sudah "tak cocok" dengan perkembangan zaman. Akhirnya secara berangsur "dilupakan".

Sedangkan konsep mengenai makanan yang terumus dalam kemaasan "halalan thayyiban", semakin jauh dari kehidupan masyarakat. Sungguh disayangkan, bila kaum Muslimin abai akan fenomena dan gejala negatif ini.

Ragu, kalau Rasul Allah SAW adalah manusia pilihan, dan jadi teladan tunggal bagi pengikutnya. Sungguh disayangkan !

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved