KPK Temukan Kelemahan Sistem pada BPJS Ketenagakerjaan

Berdasarkan hasil observasi, ditemukan cukup banyak pekerja yang memiliki kesadaran untuk mendaftar sebagai peserta namun tidak dapat terlayani

Editor: Sudarwan

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan hasil kajian sistem Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, pada Selasa (16/12) di Gedung KPK, Jakarta.

Dalam kesempatan ini, dihadiri oleh Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, dan Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK) Elvyn G Masassya.

Kajian yang diawali pada Februari 2014 ini, memfokuskan pada enam aspek, yakni regulasi, kelembagaan, kepesertaan, pelayanan, pembiayaan dan pengawasan baik yang dilakukan di tingkat pusat maupun di daerah.

Selain itu, kajian juga memfokuskan pada proses tata kelola di internal BPJS Ketenagakerjaan serta fungsi-fungsi seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan jaminan sosial ketenagakerjaan.

Menurut Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja, kajian ini didasarkan pada besarnya dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan dan menyangkut hajat hidup rakyat, serta dapat berdampak bagi sistem perekonomian negara secara keseluruhan.

Pada tahun 2013, PT Jamsostek memiliki total aset lebih dari 153 triliun rupiah dengan dana investasi hampir 150 triliun rupiah dan hasil perolehan investasi mencapai 15 triliun rupiah.

Dana tersebut akan terus membesar, bahkan diproyeksikan akan mencapai dua ribu triliun rupiah pada 2030.

“Pengelolaan dana yang begitu besar tentu harus dibarengi dengan instrumen pengawasan yang baik, kompetensi serta integritas yang tinggi untuk mencegah terjadinya korupsi,” tegas Adnan.

Oleh karena itu, KPK berusaha untuk melakukan pencegahan sedini mungkin agar potensi korupsi yang ada dalam pengelolaan ini dapat diatasi.

Hasil kajian menemukan sejumlah potensi masalah dan kelemahan sistem dalam pelaksanaan yang terbagi ke dalam tiga tingkatan, yakni tingkatan direktif, tingkatan managerial dan tingkatan operasional.

Misalnya pada tataran directive dan aspek kelembagaan, kajian menemukan potensi terjadinya konflik kepentingan antara Dewan Pengawas dan Direksi BPJS TK.

Dalam UU BPJS, Dewan Pengawas bertugas untuk mengawasi Direksi, termasuk di dalamnya menyetujui rencana kerja anggaran tahunan yang disusun oleh Direksi.

Hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan kolusi karena gaji dan operasional Dewan Pengawas juga dibiayai dari anggaran Badan.

Karena itu, KPK merekomendasikan kepada Direksi dan Dewan Pengawasan BPJS TK untuk membuat kebijakan agar melibatkan pihak eksternal dalam melakukan review rencana anggaran tahunan Badan, serta kepada pemerintah agar mengajukan revisi UU 24/2011 untuk menghilangkan potensi konflik kepentingan Dewan Pengawas dalam mengawasi Direksi BPJS-TK.

Pada aspek regulasi, terjadi ketidakadilan dalam pengenaan sanksi bagi pemberi kerja. Dalam pasal 55 UU 24/2011, disebutkan ancaman pidana selama 8 tahun dan denda satu miliar rupiah bagi pemberi kerja yang menunggak iuran.

Halaman
123
Tags
KPK
BPJS
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved