Resensi Buku
Napak Tilas Keruntuhan Demak
Roda panas tahta dan kekuasaan selalu menggelindingkan kedengkian dan angkara murka diantara sahabat, sanak kerabat
Roda panas tahta dan kekuasaan selalu menggelindingkan kedengkian dan angkara murka diantara sahabat, sanak kerabat, hingga pemakzulan raja. Keruntuhan Kesultanan Demak menjadi bukti konkret dari argumentasi itu.
Padahal, di masa pemerintahan Sultan Trenggono, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya dan agama Islam berkembang lebih luas lagi. Sultan Trenggono mengirim Fatahilallah ke Banten menemui Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Bersama-sama dengan pasukan Kesultanan Cirebon, kemudian dapat menaklukan Banten dan Pajajaran. Sayangnya kegemilangan Kerajaan Demak tak berlangsung lama, paska wafatnya Sultan Trenggono tahun 1546, Kerajaan Demak mengalami kemerosotan akibat terjadinya perebutan kekuasaan.
Nassirun Purwokartun menafsirkan ulang sejarah keruntuhan Kesultanan Demak di tengah serbuan sejarah kelabu seputar meninggalnya Penangsang.
Kedukaan hinggap pada diri Penangsang tatkala ia dituduh mendalangi tiga pembunuhan; Sultan Trenggono, Sultan Mukmin, dan Pangeran Hadiri.
Tuduhan yang membuat langkahnya sebagai penerus tahta Demak menyempit, sebaliknya memuluskan jalan Hadiwijaya, si Mas Karebet Pengging, untuk menyingkirkannya dari lingkaran Ulama Jawa dan menguasai Demak (hlm. 504).
Narasi pergolakan itu yang dideskripsikan secara obyektif dan dramatik oleh Nassirun dalam novel pamungkasnya ini.
Selama ini sejarah menjelaskan bila Arya Penangsang dibunuh dengan oleh sesuruhan Jaka Tingkir. Namun lewat penelusuran dan penelitian panjang dikuatkan sanak keturunan sang tokoh, penulis mendekonstruksi bahwa Penangsang kala itu tak terbunuh.
Fakta sejarah inilah yang ditautkan dengan fiksi sehingga lahir sebuah epos berjudul Penangsang, Tarian Rembulan Luka. Eksplorasi kesejarahan yang diracik oleh Nassirun ini akan mengabarkan dibalik peristiwa keruntuhan Kesultanan Demak.
Petaka itu diawali dari wafatnya Sultan Trenggono pada tahun 1546, Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran karena terjadinya perebutan kekuasaan.
Perebutan tahta Kerajaan Demak ini terjadi antara Sunan Prawoto dengan Arya Penangsang. Arya Penangsang adalah Bupati Jipang (sekarang Bojonegoro) yang merasa lebih berhak atas tahta Kerajaan Demak.
Usaha Arya Penangsang menjadi Sultan Demak di halangi oleh Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggono. Jaka Tingkir mendapat dukungan dari para tetua Demak, yaitu Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi (hlm. 312).
Konflik berdarah ini akhirnya berkembang menjadi Perang Saudara. Kebanyakan teks sejarah mengatakan dalam sebuah pertempuran di Bengawan Sore, Arya Penagsang terbunuh sehingga tahta Kerajaan Demak jatuh ke tangan Jaka Tingkir.
Namun karya Nassirun mendedahkan cerita lain, Penangsang dikenal sebagai putra tunggal Pangeran Sekar Sedolepen. Melihat keadaan yang tepat, Sutawijaya mengangkat tombak.
Dengan mudah tombak Kanjeng Kiai Pleret langsung menggores sosok berjubah panjang yang ditengarai sebagai Penangsang. Seiring cepatnya Gagak Rimang berlari, sobekan panjang pada lambung kanan pun seketika terlihat menganga dan menghantarkannya pada kematian.
Tetapi, benarkah sosok berjubah panjang dengan Gagak Rimang adalah Adipati Gusti Penangsang? Bukan, sebelumnya disaat Penangsang dan adiknya Mataram bergegas menuju Panti Kudus menemui Kanjeng Eyang Sunan Kudus untuk meminta restu memberi pelajaran kepada Hadiwijaya yang telah melampui batas. Eyang Kudus menyarankan lain yakni agar mereka berdua segera berhijrah meninggalkan Jipang.