Resensi Buku
Merampas Harta Koruptor
Tiga pondasi demokrasi kita, dari pemerintah, wakil rakyat, penegak hukum tak henti-hentinya terjerat hukum akibat laku kotor itu.
Tak bisa dipungkiri, korupsi sampai kapanpun menjadi problem terbesar yang dihadapi Indonesia. Korupsi sudah membudaya, dilakoni di segala lini, sendi, dan aspek kehidupan negeri ini. Saking seringnya korupsi diberitakan dan dijalankan sehari-hari, lamat-lamat dianggap menjadi pekerjaan yang lumrah bagi siapapun, terutama bagi pemilik modal, penguasa dan pemegang jabatan.
Tiga pondasi demokrasi kita, dari pemerintah, wakil rakyat, penegak hukum tak henti-hentinya terjerat hukum akibat laku kotor itu.
Tiap tahunnya, pelaporan dan kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak berdiri tahun 2003, terus meninggi trafiknya. Labirin korupsi menjalar deras ke segala nalar dan urat saraf bangsa ini, muda hingga tua, pria maupun wanita. Ini berarti godaan mengorupsi sudah menggurita dan mengakar kuat.
Di sisi lain, upaya penjeraan koruptor seringkali terbentur dengan putusan hukum yang sangat ringan. Lemahnya penegakan hukum, semaraknya gaya hidup hedonis, tidak adanya political will dan keteladanan dari pejabat-pejabat publik, mendedahkan preseden buruk mengapa korupsi makin lestari dan merajalela.
Tragisnya, korupsi berdampak sangat besar, mampu merobohkan pondasi bangsa-negara dari segala aspek; ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya. Tinggal bagaimana pelaksanaan hukum positif di Indonesia mampu memberi efek jera bagi koruptor.
Salah satu solusinya adalah dengan melakukan perampasan aset koruptor. Namun perampasan aset dihadapkan pada hambatan utama berupa tidak adanya regulasi yang memadai tentang perampasan harta benda tanpa melalui proses peradilan pidana (non conviction based).
Oleh karena itu diperlukan adanya pembaharuan hukum yang memungkinkan diakomodasinya pelaksanaan non conviction base stolen asset recovery, yang mencakup tentang pembekuan (freezing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) harta benda tanpa perlu dibuktikan keterlibatan ataupun kesalahan pelaku dalam suatu proses pidana.
Penegakan hukum cukup dilakukan dengan melakukan penelusuran harta kekayaan yang dimiliki tersangka, yang lalu ditindaklanjuti dengan penyeleidikan dan penyidikan dalam upaya mengembalikan harta Negara (hlm. 2).
Penyelamatan uang negara dari praktik korupsi telah medapat sorotan tajam dari kalangan internasional, diantaranya melalui keberadaan Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 (UNCAC), adalah suatu instrumen yang melengkapi Konvesi PBB Mengenai Anti Kejahatan Terorganisir Transnasional (UNTOC, 2000).
Melalui UNCAC ini diperkenalkan serangkaian standar, tindakan dan aturan yang komprehensif untuk diterapkan oleh semua negara guna memperkuat rezim hukum dan peraturan perundang-undangan terkait pemberantasan korupsi.
Konvensi ini juga membuat terobosan besar dengan dipersyaratkannya Negara Peserta untuk mengembalikan aset yang diperoleh melalui korupsi kepada negara asal dari mana aset tersebut dicuri.
Salah satu cara untuk mencegah, melindungi, dan mengembalikan hak-hak masyarakat dari akibat tindak pidana korupsi adalah melalui perampasan aset hasil tindak pidana korupsi tanpa melalui tuntutan pidana (NCB Asset Forfeiture) (hlm.70-71).
Dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia memang sudah sejak lama dikenal ketentuan mengenai “perampasan aset”.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor: PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda, adalah ketentuan yang pertama sekali menggunakan istilah “korupsi”.
Kemudian ada pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur segala harta benda yang diperoleh dari korupsi dirampas, dan terdakwa dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi.