Opini
Bangkit dari Kegalauan
GALAU, sebuah kata yang lagi trend di kalangan anak-anak muda
Penulis: admin | Editor: Bedjo
Dosen FISIP dan Pascasarjana UNSRI.
GALAU, sebuah kata yang lagi trend di kalangan anak-anak muda saat ini. Dimana-mana ada kegalauan, di parlemen korupsi membuat galau (meraja lela), di ekonomi harga minyak membuat galau (tidak menentu), di sosial tawuran membuat galau (konflik), di pendidikan ujian nasional membuat galau (kegelisahan), di hukum vonis hakim membuat galau (membingungkan), di udara pun cuaca ekstrim membuat galau (kecelakaan). “Galau”, itulah yang sedang melanda negari tercinta ini.
Seiring keadaan paradoks ini, syukurlah ada sejarah Indonesia yang mengingatkan kita tentang torehan jejak anak muda bangsa ini yang tidak larut dengan situasi, tak runtuh karena tekanan, yaitu “pemuda sebagai pembangkit perubahan”, pendobrak kegalauan.
Angka 8 merupakan angka mukjizat dalam sejarah Bangsa Indonesia. Angka 8 sudah membuktikan dapat mengalahkan kegalauan tersebut. Tahun 1908, organisasi Budi Utomo telah membuktikan bahwa Pemuda Indonesia dapat berfikir jernih dan perintis bersatunya bangsa Indonesia. Tahun 1928, pemuda mendobrak terpecahnya Bangsa Indonesia dengan menyatukannya dalam ikrar Sumpah Pemuda. Tahun 1998, sekali lagi pemuda menunjukkan jati dirinya sebagai “masa depan bangsa” dengan mendobrak rezim orde baru yang mulai pikun melalui reformasi. Angka 8 bukanlah angka keramat, tetapi angka 8 itulah yang memberikan tanda kepada pemuda bahwa jika kita bersatu dan saling bergandeng tangan sebagaimana bentuk angka tersebut, maka semangat kita akan bangkit berlipatganda dalam merubah situasi yang galau.
Pada zaman Yunani kuno, pemuda betul-betul menjadi harapan sebagai masa depan bangsa. Kala itu masyarakat percaya bahwa Pemuda yang menjadi idaman adalah pemuda yang mempunyai sifat satria dan cerdas. Kedua ciri ini melambangkan kedewasaan seseorang. Kaum Spartha dan Athena percaya bahwa kedua ciri tersebut diperoleh melalui kawah candradimuka yang disebut dengan “pendidikan”.
Melalui pendidikan pemuda digodok mejadi manusia yang dewasa yaitu manusia yang memiliki sifat perintis peningkatan mutu kehidupan, agen perubahan bangsa, pelopor pembangunan, inventor, innovator, social controller, dan penggerak motor kebangsaan dan kenegaraan.
Untuk mendapatkan ciri-ciri yang demikian itu, seorang pemuda perlu memiliki kemampuan merasakan, memahami, menerapkan daya dan kepekaan emosi secara efektif sebagai sumber informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi, yang muncul bila seseorang mempunyai kepribadian. Hal tersebut dikenal dengan istilah kecerdasan emosi.. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan itu sebagai pemandu pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosi mencakup kemampuan yang berbeda namun saling melengkapi dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Perpaduan antara kecerdasan emosi dan kecerdasan akademik perlu diseimbangkan secara harmonis dan proporsional agar menciptakan sebuah kepribadian yang utuh.
Bagaimana dengan Pemuda Indonesia sekarang? Pemuda Indonesia sekarang terjerembab dalam suatu keadaan yang “galau”. Fenomena kehidupan yang menunjukkan adanya terorisme, pengangguran, peningkatan tindak kriminalitas, korupsi, kesemerawutan perilaku politik (politics action), tawuran antar kelompok, perseteruan hukum antar aparat, contek massal, harga bahan bakar minyak yang berfluktuasi dalam wacana, membuat pemuda gelisah. Terlihat nyata ego individu dan kelompok mendominasi prioritas pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam penataan pembangunan yang mengekspresikan prinsip hedonisme meminggirkan kepentingan bersama sehingga membuat mengecilnya ruang kebersamaan (publik) yang disediakan individu untuk kebahagiaan bersama.
Keadaan tersebut mengisyaratkan bahwa adanya pergeseran rasa empati kepada sesama hanya sampai simpati saja, orientasi materi, dan politik transaksional, menyelimuti visi dan misi penyelesaian masalah kebangsaan. Prinsip “Semulianya manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang banyak” tergerus oleh nafsu individualis dan kelompok. Dalam kurun waktu 2008-2011 ada 158 kepala daerah dan 42 anggota DPR tersangkut korupsi. Dari 33 Gubernur yang ada di Indonesia, 18 orang diantaranya tersangka korupsi. Sebagai bangsa yang bersifat patrialisme, akibat dari kenyataan tersebut, cenderung berdampak kepada para pemuda sehingga mereka cenderung berorientasi kepada materi, pragmatis, instan, “sangat sensitif” dengan perubahan, mudah terpengaruh suasana (reaktif), dan cepat tersulut emosi. Bagaimana ketahanan bangsa ini? Siapa yang akan membelanya?.
Ketahanan kebangsaan adalah kondisi dinamik suatu bangsa berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung, membahayakan kelangsungan kehidupan kebangsaan. Pada tanggal 1 Juni 1945 Soekarno mengatakan : “Manakah yang dinamakan tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut Geopolitik maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah swt menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita” (Suradinata, 2001 : xxxvi). Begitu tegasnya Soekarno berfatwa. Di saat lain beliau berkata : “Berikan aku sepuluh pemuda, maka aku akan goncangkan dunia”. Betapa kuatnya kaitan antara Persatuan Indonesia dengan peran pemuda di Negara ini. Merekalah yang menjadi tumpuan membela bangsa ini.
Disinilah perlunya rasa nasionalisme, yaitu suatu bentuk pemikiran atau cara pandang yang berlandaskan kepada kecintaan terhadap bangsa dan negara sebagai kesatuan yang utuh dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama. Pancasila yang tadinya di masa orde baru menjadi pedoman yang memberi petunjuk tafsir melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sekarang menjadi kerinduan kita kembali. MPR sudah mempeloporinya melalui sosialisasi 4P (empat pilar : Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika).
Bagaimana sikap Pemuda Indonesia ? Dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (3) dikatakan “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Pasal 30 :
(1) Tiap-tiap WN berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sishankamrata oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Jelas sudah, UUD 1945 mengamanahkan bahwa seluruh masyarakat Indonesia bertanggung jawab atas pembelaan negara. Pemuda menjadi ujung tombak di garda terdepan karena pemuda merupakan perekat dan pengusung panji-panji negara melalui perannya sebagai pelopor, dinamisator, barometer, dan pengontrol kehidupan bangsa dan Negara. Pelopor, yaitu perintis penerapan nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ; dinamisator yaitu penggerak orientasi wawasan nasionalis dalam menyelesaikan masalah bangsa dan Negara ; Barometer yaitu tauladan dan penyeimbang penerapan nilai-nilai luhur bangsa ; Pengontrol yaitu pengawas penerapan nilai-nilai nasionalisme dalam kebijakan pemerintahan.
Karena itu pemuda sebagai pembangkit bangsa dari kegalauan selayaknya:
* Menghayati kembali makna Pancasila dalam makna kekinian.
* Memperkuat jati diri sebagai “Bangsa Indonesia”.
* Menerjemahkan secara visioner makna “Negara Kesatuan Indonesia” dalam manajemen Negara modern.
* Mendahulukan kepentingan “Kebangsaan Indonesia di atas kepentingan individu dan kelompok”.
* Mempraktekkan tingkah laku “satu Bangsa Indonesia” dalam praktek kebangsaan, kenegaraan, dan kemasyarakatan.
* Memperkuat rasa simpati, empati, solidaritas, dan toleransi dalam prilaku interaksi sehari-hari.
* Memperkuat rasa tanggung jawab sebagai Bangsa Indonesia.
Semua kondisi ideal tersebut akan sangat elok jika diberi ruang secara proporsional dan proaktif dalam sistem kebangsaan yang terpadu, sehingga dengan jiwa pemuda yang ksatria, bertanggung jawab, amanah, jujur, tulus, dan ikhlas, kita dapat melihat Bangsa Indonesia yang cerah dan penuh harapan, keluar dari kegalauan.*