Ternyata Palembang Punya Wayang

Bila wayang lainnya menggunakan bahasa Jawa, namun wayang Palembang memakai bahasa asli yang memang memiliki kemiripan dengan bahasa Jawa.

Editor: Soegeng Haryadi

SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Wayang menjadi warisan kebudayaang yang dikenal luas di Pulau Jawa. Namun siapa sangka bila Palembang juga memiliki kebudayaan hiburan tersebut sejak beberapa abad lalu. Meski berakar dari daerah asalnya, Wayang Palembang memiliki beberapa khas yang kini masih bertahan.

Dalang wayang Palembang, Wirawan kepada Sripoku.com mengungkapkan, wayang satu ini tidak melibat sinden atau penyanyi tradisional saat pementasan. Bila wayang lainnya menggunakan bahasa Jawa, namun wayang Palembang memakai bahasa asli yang memang memiliki kemiripan dengan bahasa Jawa.

"Musik yang mengiringi wayang Palembang berbeda dengan bunyi-bunyi yang dikeluarkan gamelan Jawa. Pukulannya bergerak dari kanan ke kiri, berbeda dengan Jawa dari kanan ke kiri. Warna wayang Palembang kuning tembaga, bukan keemasan seperti di wayang Jawa," katanya, Rabu (20/11).

Wayang pada umumnya menghadirkan Bagong dalam sebuah cerita Mahabarata, namun tokoh tersebut ditiadakan karena saat diboyong ke Palembang sekitar abad ke-17 Masehi belum dilahirkan. Iwan menuturkan, tokoh dalam perwayangan Palembang mendapat gelar sesuai nama daerah seperti Wak (paman) atau Raden.

"Seperti Gareng dipanggil Wak. Kalau jalan ceritanya sama, hanya diubah dan disesuaikan dengan masyarakat lokal di Palembang seperti cerita menyangkut Prabu Indro Puro. Dialog memakai bahasa Palembang. Yang berbeda kalau dulu memakai bahasa halus tapi sekarang dicampur dengan bahasa Palembang sehari-hari," terangnya.

Kehadiran wayang Palembang di tengah-tengah masyarakat sudah mulai berkurang. Bahkan menurut Wirawan, pertunjukkan wayang Palembang dalam setahun hanya dua atau tiga kali. Waktu menggelar pertunjukkan pun kini tidak lebih dari dua jam.

"Tahun ini baru sekali main di luar daerah, yakni Tasikmalaya. dan Palembang Art. Akhir bulan Desember akan digelar di Festival Seni Palembang. Kesenian seperti ini sudah dianggap kuno oleh anak muda Palembang. Masyarakat umum pun menganggap menggelar wayang lebih merepotkan," ujarnya.

Untuk mengangkat kembali kebudayaan dan seni, pihak Dewan Kesenian Palembang (DKP) berencana menggelar sebuah kegiatan bertajuk 'Art Festival Palembang' pada tanggal 23-30 Desember di dua tempat terpisah. Kegiatan seni dan budaya itu nantinya akan menampilkan tari, puisi, teater seperti Dul Muluk, termasuk wayang Palembang di dalamnya.

"Kita berupaya menghimpun pegiat seni dan budaya Palembang serta membina masyarakat yang berminat mellaui kegiatan perlombaan. Dengan digelar pelatihan dan pertunjukkan Dul Muluk hingga wayang Palembang, kita harap ada bentuk kepedulian masyarakat atau pemerintah terhadap keduanya," kata Ketua DKP Palembang Suparmans Romans saat jumpa pers di Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB), Rabu (20/11).

Diujar Suparmans, pihaknya akan mengundang tiap kecamatan untuk mengutus perwakilan di kegiatan lomba. Sementara untuk pelatihan dan pementasan Dul Muluk dan wayang Palembang, DKP menargetkan para siswa, mahasiswa dan guru turut hadir dan ikut serta.

"Festival seni akan digelar pada tanggal 23-25 November di RRI. Pementasan Dul Muluk dilaksanakan pada tanggal 27 November 2013 dan wayang Palembang digelar tanggal 20-30 November 2013 di Hotel Paradise," tukasnya.

Tersisa Satu Dalang
Keberadaan wayang Palembang di tengah-tengah masyarakat terus dilupakan seiring perkembangan zaman dengan kemajuan tehnologi di dalamnya. Namun meski minat masyarakat mempelajari atau menonton minim, Wirawan yang menjadi satu-satunya dalang wayang Palembang terus mempertahnkan kebudayaan tersebut hingga sekarang.

"Kalau dulu wayang Palembang sering pentas semalam suntuk, tapi sekarang paling lama cuma dua jam. Bahka sedikit yang tahu kalau Palembang juga punya wayang, tidak hanya daerah Jawa," sebut Wirawan ketika ditemui di rumahnya Lorong Cek Latah Jalan Pangeran Sido Ing Lautan.

Sebenarnya wayang Palembang sempat mati suri, sebelum ia didatangi beberapa orang dari UNESCO pada tahun 2004. Wirawan yang sehari-hari berdagang mengaku enggan meneruskan pekerjaan kakeknya bernama Abdul Rasyid dan sang ayah Ki Agus Rusdi Rasyid yang menjadi dalang.

Setelah UNIESCO memberikan 90 wayang dan seperangkat gamelan gratis, barulah Wirawan tergerak menghidupkan budaya tersebut. Ia mencoba mengingat jalan cerita wayang Palembang yang pernah ia tonton semasa kecil dan remaja. "Sebelum ada UNESCO, wayang dan peralatan adalah warisan yang digunakan kakek dan bapak sejak tahun 1950-an," ujarnya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved