Breaking News

Nadiem Makarim Jadi Tersangka

PENYEBAB Hakim Tolak Praperadilan Nadiem Makarim Terungkap, 4 Alat Bukti Ini Kuatkan Jadi Tersangka

Lebih lanjut, Kejagung menilai permohonan Nadiem tidak beralasan hukum karena telah menyentuh substansi pokok perkara.

|
Editor: pairat
Tribun Jakarta
PAKAI ROMPI DAN BORGOL - Momen eks Mendikbudristek Nadiem Makarim mengenakan rompi tahanan dengan tanagn diborgol usai ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan chromebook. Berwajah tegang, Nadiem sempat berbicara saat dibawa masuk ke dalam mobil tahanan di Gedung Jampidsus Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (4/9/2025). TribunJakarta/Dwi Putra Kesuma 

SRIPOKU.COM - Berikut penyebab hakim tolak praperadilan Nadiem Makarim akhirnya terungkap, 4 alat bukti ini kuatkan jadi tersangka.

Seperti diketahui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak praperadilan eks Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim. 

Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan I Ketut Darpawan menolak praperadilan Nadiem Makarim

Nadiem mengajukan praperadilan setelah ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook dalam program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek tahun 2019-2022. 

Eks Mendikbudristek Nadiem Makarim selesai diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook, Jakarta, Senin (23/6/2025).
Eks Mendikbudristek Nadiem Makarim selesai diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook, Jakarta, Senin (23/6/2025). (Kompas.com/Shela Octavia)

Baca juga: Hotman Paris Klaim Pengadaan Laptop Nadiem Makarin Bebas Mark-up, Hasil Audit BPKP Jadi Bukti

“Mengadili, menolak praperadilan pemohon,” kata Darpawan dalam sidang di PN Jakarta Selatan, Senin (13/10/2025). 

Hakim menyatakan, telah memeriksa permohonan Nadiem maupun jawaban Kejagung dalam perkara nomor 119/Pid.Pra/PN JKT.SEL tersebut. 

Pendapat ahli hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, yang dihadirkan kubu Nadiem dan ahli hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad, yang dihadirkan Kejagung juga sudah dipertimbangkan dalam putusan tersebut. 

“Hakim praperadilan berpendapat penyidikan yang dilakukan oleh termohon (Kejagung) untuk mengumpulkan bukti-bukti agar menjadi terang tindak pidana guna menemukan tersangka sudah dilaksanakan berdasarkan prosedur hukum acara pidana, karenanya sah menurut hukum,” kata Darpawan. 

Berdasarkan pertimbangan yang dibacakan, hakim berpendapat bahwa Kejagung telah memiliki empat alat bukti yang sah untuk menetapkan Nadiem sebagai tersangka sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. “Maka tindakan termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka sah menurut hukum,” kata hakim. 

Tim kuasa hukum menilai, penetapan tersangka terhadap Nadiem cacat formal karena dilakukan tanpa pemeriksaan terlebih dahulu sebagai calon tersangka. Mereka juga menyebut surat perintah penyidikan (sprindik) dan surat penetapan tersangka diterbitkan pada hari yang sama, yakni 4 September 2025, bersamaan dengan pelaksanaan penahanan. 

Selain itu, penetapan tersangka disebut tidak didahului penerbitan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dan belum disertai hasil audit kerugian keuangan negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 

Kubu Nadiem menilai tindakan Kejagung tersebut sebagai bentuk tindakan sewenang-wenang dan menyalahi prosedur hukum acara pidana.

Dalam permohonannya, tim kuasa hukum juga menegaskan bahwa Nadiem tidak menikmati keuntungan pribadi dalam proyek digitalisasi pendidikan tersebut. 

Selain meminta penetapan tersangka dibatalkan, pihak Nadiem juga memohon agar jika perkara berlanjut ke tahap penuntutan, penahanan terhadap Nadiem dapat diganti dengan penahanan kota atau rumah. 

Penetapan Tersangka Sesuai Prosedur

Sebelumnya pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa penetapan tersangka terhadap Nadiem Makarim telah sah dan sesuai prosedur hukum.

Hal itu disampaikan Kejagung dalam kesimpulan sidang praperadilan yang dilayangkan Nadiem lantaran tidak terima ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook. 

“Kami dari termohon menyampaikan bahwa dalam penetapan tersangka ini, telah disampaikan bukti-bukti yang mencukupi dua alat bukti yang sah, bahkan terdapat empat alat bukti yang relevan sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP,” kata Kejagung dalam sidang di PN Jakarta Selatan, Jumat (10/10/2025). 

Adapun empat alat bukti tersebut meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, serta barang bukti elektronik.

Dari sisi ahli, Kejagung juga menghadirkan ahli dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang menjelaskan tentang pengadaan barang dan jasa, ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyatakan telah terjadi perbuatan melawan hukum dan kerugian negara. 

Sementara itu, alat bukti surat yang diajukan antara lain berupa surat tugas pimpinan BPKP untuk melakukan perhitungan kerugian negara serta berita acara ekspose yang ditandatangani penyidik dan auditor.

“Alat bukti surat ini menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum dan kerugian keuangan negara,” kata Kejagung. 

Dalam kesimpulannya, Kejagung juga menolak dalil pihak pemohon yang menilai tidak ada laporan hasil pengawasan (LHP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun BPKP. Kejagung menyebut bahwa ketiadaan LHP bukan dasar hukum untuk membatalkan penetapan tersangka, sebab hal tersebut telah berkali-kali ditegaskan dalam sejumlah putusan praperadilan sebelumnya. 

“Setidaknya ada tiga perkara besar tindak pidana korupsi di PN Jakarta Selatan yang mempersoalkan hal serupa, dan seluruhnya ditolak hakim karena sudah masuk materi pokok perkara, bukan kewenangan praperadilan,” kata Kejagung. 

Tiga perkara itu yakni praperadilan Budi Said (putusan Nomor 27/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel), Thomas Trikasih Lembong (Nomor 113/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel), dan Sofia Balfas (Nomor 11/Pid.Pra/2023/PN.Jkt.Sel). 

Lebih lanjut, Kejagung menilai permohonan Nadiem tidak beralasan hukum karena telah menyentuh substansi pokok perkara.

“Dalil-dalil pemohon mengenai penetapan tersangka telah masuk ke aspek materiil, yang bukan menjadi kewenangan hakim praperadilan. Ruang lingkup praperadilan hanya sebatas memeriksa aspek formal,” kata Kejagung. (Kompas.com)

Artikel ini telah tayang di TribunLampung.co.id.

Sumber: Tribun Lampung
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved