Dari hasil tersebut, saya memetakan bahwa sebagian besar siswa saya cenderung kinestetik. Ini menjelaskan mengapa saat saya mengajar hanya lewat slide dan ceramah, kelas terasa pasif dan kurang hidup.
Dengan pemetaan itu, saya mulai mendesain pembelajaran yang lebih melibatkan gerak dan praktik langsung—misalnya simulasi, eksperimen, atau presentasi kelompok dengan alat bantu fisik.
Saya juga memberikan pilihan tugas yang bervariasi: membuat video, infografik, atau menciptakan permainan edukatif.
Pendekatan ini ternyata membuat siswa lebih terlibat dan hasil belajar meningkat.
Refleksi saya: mengenali gaya belajar adalah langkah awal, tetapi mengakomodasinya dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran adalah kunci utamanya.
Jawaban Cerita Reflektif (3):
Saya pernah mengajar di kelas yang sangat heterogen.
Ada siswa yang unggul dalam literasi, ada yang cemerlang dalam keterampilan motorik, dan ada pula yang cepat paham jika belajar dalam kelompok.
Karena menyadari keterbatasan saya dalam mengakomodasi semuanya sekaligus, saya mengajak siswa berdiskusi tentang cara belajar yang paling efektif bagi mereka.
Dari diskusi itu, saya membentuk kelompok belajar berbasis gaya belajar dan minat, lalu memberi mereka kebebasan memilih metode eksplorasi materi.
Hasilnya luar biasa: mereka merasa dihargai, termotivasi, dan lebih bertanggung jawab atas pembelajarannya.
Dari pengalaman ini saya belajar, guru bukan hanya fasilitator, tapi juga perancang pembelajaran yang harus peka, adaptif, dan terbuka terhadap keunikan peserta didik.
Artikel ini bersumber dari Tribunnews.com.