Oleh: Muhammad Syahri Ramadhan, S.H.,M.H
Ketua Pusat Kajian Hukum Sriwijaya (SLC) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
TIDAK ada yang menafikan jika Indonesia mempunyai produk regulasi yang sangat komprehensif.
Adanya Undang – Undang Dasar 1945 hingga Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, menjadi bukti untuk menjawab keraguan masyarakat terhadap nilai kepastian hukum yang diidam –idamkan.
Hak dan kewajiban setiap warga negara tentunya semakin terjamin jika kepentingan tersebut diikat dalam kodifikasi yang jelas.
Meskipun di sisi lain, hal ini berefek kepada banyaknya peraturan perundang–undangan yang dimiliki oleh suatu negara tersebut.
Tidak mengherankan bahwa banyak negara memiliki peraturan perundang-undangan yang berasal dari sistem hukum eropa kontinental, termasuk Indonesia (Peter Mahmud Marzuki, 2017: 245).
Sistem hukum eropa kontinental berfokus pada kodifikasi atau aturan hukum yang sistematis. Di sini, "sistematis" tidak seharusnya hanya berarti bahwa seluruh aturan tertulis dibuat hanya untuk formalitas.
Misalnya, Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Konsep ini dikenal sebagai "asas Lex superior derogat legi inferiori, atau aturan yang lebih tinggi menghilangkan aturan yang lebih rendah".
Selain itu, tujuan dari pembuatan aturan tertulis adalah untuk mengharmonisasikan elemen-elemen yang ada dalam teks dan konteks dari aturan itu sendiri.
Ilmu hukum tidak dapat menentukan pendirian setiap individu harus mendukung atau menentang produk hukum yang dibuat oleh pemerintah.
Sangat wajar bahwa orang berbeda -beda menafsirkan produk hukum. Sering kali terjadi perdebatan dalam dinamika produk hukum di Indonesia karena jumlah peraturan yang terlalu banyak, peraturan yang tumpang tindih (overlapping), ketidaksesuaian antar peraturan, dan teknis pembuatan peraturan yang rumit.
Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi obesitas regulasi tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan deregulasi.
Makna deregulasi tidak hanya disimplifikasi sebatas menyederhanakan substansi (peraturan) hukum saja. Budaya hukum di masyarakat yang masih diwarnai dengan dinamika proses hukum yang berbelit – belit juga harus direduksi bahkan dihilangkan.
Adapun upaya menghadirkan semangat deregulasi dalam budaya hukum tersebut dengan memanfaatkan aplikasi teknologi.
Banyaknya Aplikasi: Solusi atau Involusi?
Di era perkembangan teknologi, segala aktivitas masyarakat nampak menjadi lebih mudah dan tidak rumit.
Mulai dari hal yang berkaitan kepentingan pribadi (privat) hingga kepentingan umum (publik) dapat diakomodir oleh teknologi.
Dalam ranah pribadi (perdata) misalnya, metode konvensional seperti keharusan bertransaksi secara tatap muka dan penggunaan uang fisik sebagai alat pembayaran, tidak lagi digunakan secara eksklusif.
Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat menjalankan bisnis berbasis digital untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Sebagai contoh, orang tidak perlu langsung ke minimarket, mal, atau pasar lainnya untuk membeli makanan dan minuman.
Barang-barang yang diinginkan dapat dikirim ke rumah pelanggan dengan menggunakan aplikasi daring dalam perangkat gawai mereka.
Dalam ranah publik pun tidak ketinggalan, proses pembuatan berkas administratif yang berkaitan dekan dokumen yang diterbitkan oleh pemerintah seperti E- KTP, Akta Perusahaan dan dokumen hukum lainnya, semuanya dilakukan melalui media daring.
Meskipun proses administrasi yang berkaitan berkas tersebut masih ada dibumbui metode konvensional, contohnya setiap warga negara harus tetap hadir ke instansi terkait.
Namun, proses birokrasi yang dilalui tidak berbelit–belit. Keuntungan lain adanya aspek digital dalam proses birokrasi dapat meminimalisir pungutan liar (pungli).
Pidato Presiden Joko Widodo dalam memberi kata sambutan dalam acara Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) Summit 2024 dan Peluncuran GovTech Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Senin (27/5/2024), sangat mengejutkan semua pihak.
Presiden menyatakan bahwa hingga saat ini, 27 ribu aplikasi berasal dari kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Dia menyatakan bahwa, karena puluhan ribu aplikasi berjalan secara terpisah, mereka tidak dapat sinkron satu sama lain.
Akibatnya, fungsi satu aplikasi dengan lainnya saling tumpang tindih, yang membuat lebih sulit untuk memberikan layanan publik (www.setneg.go.id).
Masih dalam pidato tersebut, mantan gubernur DKI Jakarta tersebut menyatakan bahwa ada dalam satu kementerian yang mempunyai lebih dari 5.000 aplikasi.
Membludaknya berbagai aplikasi tersebut justru tidak selaras dengan kebijakan anggaran tahun ini terkait pembuatan platform dan aplikasi baru yang ada dalam kisaran 6,2 triliun.
Dana fantastis yang dikucurkan seolah–olah menggambarkan platform aplikasi yang dimiliki pemerintah pusat maupun daerah masih sangat minim.
Pidato presiden terkait oleh banyaknya aplikasi yang tidak sinkron, memang ironi. Sebagaimana dikemukakan di awal, penyediaan platform aplikasi merupakan upaya untuk memudahkan pelayanan birokrasi yang efektif dan efisien.
Penyediaan aplikasi harus menjadi solusi atas pelayanan birokrasi yang selama ini dikenal bertele–tele, rumit, dan penuh dengan budaya gratifikasi.
Memasukkan aspek digital dalam pelayanan publik merupakan bagian dari kebijaksanaan memandang hukum yang dinamis.
Pada dasarnya, hukum harus bergerak, tidak stagnan, dan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat. Hukum harus berfungsi sebagai pembaharuan dalam kehidupan bangsa dan negara, harus dibuat dengan melihat pandangan masa depan, bukan pandangan masa lalu.
Oleh karena itu, hukum harus dapat berfungsi sebagai katalisator dan inspirasi untuk perbaikan kehidupan masyarakat yang dapat menguntungkan semua pihak (Abdul Manan, 2006: 6).
Memangkas berbagai aplikasi dan menunda pembuatan aplikasi untuk saat ini memang harus dilakukan. Hal ini mengingat polemik kejahatan dalam dunia maya akhir – akhir ini semakin kompleks.
Salah satu contohnya ialah kasus perjudian online (judol). Indonesia menempati posisi sebagai pengguna judi online tertinggi di dunia. Data tersebut mengindikasikan perlu ada reformasi besar oleh pemerintah terhadap peningkatan kualitas literasi digital bagi masyarakat.
Maka dari itu, masalah banyaknya aplikasi saat ini jangan menambah masalah terhadap pemerintah yang fokus kepada pemberantasan kejahatan di dunia maya.
Kebijakan pengelolaan aplikasi harus berorientasi kepada visi deregulasi yang dicanangkan pemerintah saat ini. Sebagaimana disampaikan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa hukum tersebut seyogianya diciptakan (making the law) demi adanya ketertiban dan kesejahteraan bagi manusia itu sendiri.
Jika hukum yang dibuat tidak memberikan rasa ketentraman, kebaikan bahkan keadilan bagi masyarakat, maka harus ada keberanian untuk mengubah kembali aturan hukum tersebut (breaking the law) dalam mewujudkan tujuan hukum itu sendiri (Satjipto Rahardjo, 2010: 13).
Banyaknya aplikasi tidak selamanya diartikan bahwa suatu institusi tersebut dapat dikatakan canggih dan maju. Jika ribuan aplikasi yang dibuat justru tidak memberikan implikasi positif bahkan menimbulkan kekacauan, maka tidak ada salahnya pemerintah memangkas berbagai aplikasi yang dianggap tidak perlu.