Di era perkembangan teknologi, segala aktivitas masyarakat nampak menjadi lebih mudah dan tidak rumit.
Mulai dari hal yang berkaitan kepentingan pribadi (privat) hingga kepentingan umum (publik) dapat diakomodir oleh teknologi.
Dalam ranah pribadi (perdata) misalnya, metode konvensional seperti keharusan bertransaksi secara tatap muka dan penggunaan uang fisik sebagai alat pembayaran, tidak lagi digunakan secara eksklusif.
Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat menjalankan bisnis berbasis digital untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Sebagai contoh, orang tidak perlu langsung ke minimarket, mal, atau pasar lainnya untuk membeli makanan dan minuman.
Barang-barang yang diinginkan dapat dikirim ke rumah pelanggan dengan menggunakan aplikasi daring dalam perangkat gawai mereka.
Dalam ranah publik pun tidak ketinggalan, proses pembuatan berkas administratif yang berkaitan dekan dokumen yang diterbitkan oleh pemerintah seperti E- KTP, Akta Perusahaan dan dokumen hukum lainnya, semuanya dilakukan melalui media daring.
Meskipun proses administrasi yang berkaitan berkas tersebut masih ada dibumbui metode konvensional, contohnya setiap warga negara harus tetap hadir ke instansi terkait.
Namun, proses birokrasi yang dilalui tidak berbelit–belit. Keuntungan lain adanya aspek digital dalam proses birokrasi dapat meminimalisir pungutan liar (pungli).
Pidato Presiden Joko Widodo dalam memberi kata sambutan dalam acara Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) Summit 2024 dan Peluncuran GovTech Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Senin (27/5/2024), sangat mengejutkan semua pihak.
Presiden menyatakan bahwa hingga saat ini, 27 ribu aplikasi berasal dari kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Dia menyatakan bahwa, karena puluhan ribu aplikasi berjalan secara terpisah, mereka tidak dapat sinkron satu sama lain.
Akibatnya, fungsi satu aplikasi dengan lainnya saling tumpang tindih, yang membuat lebih sulit untuk memberikan layanan publik (www.setneg.go.id).
Masih dalam pidato tersebut, mantan gubernur DKI Jakarta tersebut menyatakan bahwa ada dalam satu kementerian yang mempunyai lebih dari 5.000 aplikasi.
Membludaknya berbagai aplikasi tersebut justru tidak selaras dengan kebijakan anggaran tahun ini terkait pembuatan platform dan aplikasi baru yang ada dalam kisaran 6,2 triliun.
Dana fantastis yang dikucurkan seolah–olah menggambarkan platform aplikasi yang dimiliki pemerintah pusat maupun daerah masih sangat minim.