SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- Menjelang proses pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari yang tinggal hitungan hari, sejumlah Tim Sukses (Timses) mulai ofensif 'gencar' melakukan segala upaya untuk meraup suara masyarakat bagi calon anggota legislatif yang diperjuangkannya.
Para Timses itu, secara terang-terangan melalui oknum Rukan Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) berupaya 'mengekang' hak suara warga yang harusnya bebas memilih tanpa tekanan, dengan kian masif dibeli dengan jumlah nilai uang tertentu, untuk mencoblos dengan syarat harus memilih caleg yang diminta.
Oknum RT dan RW itu sendiri pastinya mengetahui secara pasti karakter dan status warganya, yang mau untuk mencoblos caleg tertentu dengan imbalan uang.
Besaran uangnya sendiri ada paket hemat atau tandem dengan mencoblos untuk 2, 3 hingga 4 jenis surat suara sekaligus, yaitu DPRD kota Palembang, Provinsi, DPR RI hingga DPD RI.
Seperti yang diungkapkan salah satu Ketua RW di Palembang, jika dirinya sudah didekati beberapa Timses caleg untuk memilih calegnya yang sudah dipasangkan.
"Sudah ada beberapa partai dengan caleg, serta calon DPD RI, " katanya.
Baca juga: Perbedaan 5 Surat Suara dan Gambaran Isinya di Pemilu 2024, Agar Tak Bingung Waktu Nyoblos
Pria yang selama ini dikenal sebagai pekerja Swasta, menerangkan untuk paket hemat satu suara DPRD Kota dihargai Rp 100 ribu, DPRD Provinsi Rp 50 Ribu, dan DPR RI Rp 25 ribu.
"Kalau DPD RI juga ada yang gabung dengan paket Caleg, dengan besaran Rp 10 ribu per suara," katanya.
Selain paket atau tandem, caleg juga ada yang sendirian, dengan uang yang diberikan lebih besar pastinya dari jalur tandem.
"Ada yang caleg DPR RI sendirian, dia siap kasih Rp 50 ribu untuk suara kita dan mereka biasanya yang masih menjabat," paparnya.
Diterangkannya, nominal yang didapat warga pasti lebih kecil jika Caleg yang minta suara adalah pemain baru atau bukan petahana, hal ini terkait logistik yang dimiliki.
"Biasanya mereka hanya 50 persen dari pasaran selama ini untuk setiap tingkatan, dan kita tetap mengakomodir saja," ucapnya.
Dijelaskan masyarakat yang mau dengan tawaran mereka, wajib menyampaikan data dirinya untuk dicatat pihaknya.
"Pastinya kami harus laporkan ke Timses nama- nama mereka yang mau nanti, dan nanti uangnya akan diberikan mendekati proses pencoblosan," jelasnya.
Selaku koordinator di lingkungan, pastinya mereka akan dapat honor tersendiri dari Timses Caleg, namun jumlahnya variatif.
Baca juga: Panduan Memilih dan Cara Mencoblos di Pemilu 2024, Pada Surat Suara Presiden, DPR RI,DPRD, DPD
"Pastinya kami dapat lebih besar dari warga, karena kami yang mengaturnya di lapangan," ungkapnya.
Namun, meski ada paket hemat tandem tersebut, hal itu menurutnya bisa saja berubah dilapangan, karena jika rencana terstruktur ini berjalan, namun ada pola 'serangan fajar' Caleg di menit akhir hal itu akan menjadi berubah dilapangan.
"Inikan baru hitungan kasar ibaratnya, tetap jika ada siraman didetik akhir serangan fajar, pasti pilihan masyarakat akan berubah, dan ini tidak sesuai keinginan, " ungkapnya.
Hal senada diungkapkan salah satu warga di kawasan Sako Palembang, jika dirinya diminta Timses Caleg untuk mengumpulkan data diri warga yang siap mencoblos caleg yang ia bawak dengan imbalan uang.
"Biasanya setiap TPS kita minta tidak banyak, paling 5 sampai 10 orang untuk memilih caleg yang kita tawarkan. Tetap kalau warga banyak yang berminat tidak masalah," tuturnya.
Mengenai besaran yang diberikan kepada warga jumlahnya relatif sama, dan tidak jauh berbeda. Tinggal bagaimana mereka berupaya mendapatkan suara masyarakat saat pencoblosan nanti bisa terbukti.
"Pastinya ada target kami dari Timses, dengan jumlah calon pemilih yang diajak setiap TPS," tandasnya.
Sedangkan salah satu Timses anggota DPD RI Dapil Sumsel membenarkan jika dirinya ada penawaran paket satu suara Rp 10 ribu, dengan ikut gandeng caleg partai tertentu.
Nilai Rp 10 ribu sudah dinilai hemat, dengan target untuk asumsi bisa terpilih nanti bisa mengumpulkan 500 ribu suara minimal dalam Pemilu.
"Kalau hitung-hitungan minimal 500 ribu suara itu kita mengeluarkan Rp 5 miliar, namun pastinya apa yang ditebar tidak mungkin tepat 100 persen dan biasanya hanya 40-50 persen saja, sehingga kita harus keluar bisa belasan hingga miliaran rupiah keatas untuk bisa mendapat suara minimal 500 ribu," ungkapnya.
Sementara pengamat politik dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Prof Dr Febrian sendiri mengungkapkan, adanya upaya Timses Caleg dengan memberikan uang kepada calon pemilih dengan cara offensive (serangan) adalah perbuatan melanggar hukum, namun cara itu sering dilakukan untuk menghalalkan kemenangan.
"Kalau kita kalkulasi dan menyakini ada money politik pada warga, maka kalkulasi uang itu relatif baik besaran maupun jumlah pemberi tetap salah. Pastinya kalkulasi itu memungkinkan warga ikut bermain dalam konteks negatif ini dan harusnya pemilu itu pendidikan politik. Pastinya warga yang sudah terkontaminasi politik uang maka lagi-lagi demokrasi belum dewasa di RI dengan adanya politik uang," kata Febrian.
Dari kesimpulan kalkulasi itu Dekan Fakultas Hukum Unsri ini menilai, politik uang itu barang terasa tetapi saat dibuktikan itu menjadi persoalan rumit, sehingga masuk dalam ranah hukum pidana atau hukum admnistrasi dalam konteks pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Inilah sebenarnya menarik, besaran uang itu ada beberapa strategi termasuk juga modal paket sekarang ngetopnya kalau bahasa sport tandem dengan orang, biasanya Caleg DPR RI yang tidak popularitas elektabilitas ditandemkan popularitas Caleg DPRD provinsi, ataupun anaknya di kota orangtuanya di provinsi banyak itu dan macam-macamlah, " paparnya.
Meski begitu, Febrian mengatakan perilaku masyarakat tidak bisa dinilai generalisir, dan tidak bisa ditarik secara umum karena tidak seluruh masyarakat serta merta menerima mau strategi paket atau masih konvensional gaya lama.
Artinya lagi-lagi dari sekian banyak yang diberih terhadap satu daerah yang jadi sasaran, bisa hanya satu paket atau beberapa paket atau orang.
"Nah, kalau semakin banyak daerah itu serangan ofensif money politiknya, makin banyak masyarakat menerima, belum lagi lihat bocornya. Misal diterima masyarakat seharusnya Rp 300 ribu belum tentu diterima masyarakat Rp 300 ribu bisa di bawah itu dan kalau besar tidak mungkin," jelasnya.
Febrian pun khawatir jika money politik ini juga sampai melibatkan penyelenggara Pemilu itu sendiri, sebab tak menutup kemungkinan penyelenggaraan yang mengetahui cela-cela pelanggaran yang aman.
"Inilah persoalan money politik, kita bisa rasakan, mendengar tapi membuktikan sulit, dan yang bermain itu juga termasuk peserta pemilu termasuk penyelanggara pemilu kalau bermain akan semakin kacau negara ini," tandasnya.
Ditambahkan Febrian, strategi apapun untuk mempengaruhi pemilih dengan iming- iming paket apapun hadiah namanya money politik, pastinya sangat disayangkan kejadian yang pesta demokrasi lima tahunan ini baik pilpres, pileg, maupun pilkada harusnya berjalan demokratis nyatanya masih banyak kecurangan.
"Harusnya yang perlu disosialisasikan akibat dari money politik itu akan berpengaruh pada peserta calon, jika terbukti maka ada sanksi disamping ancaman pidana, administrasi juga bisa pembatalan sebagai peserta dan pemenang," katanya.
Dilanjutkan Febrian, hal ini menjadi tugas Bawaslu untuk kedepan bisa menjadi 'wasit' yang adil, agar suara rakyat yang telah diberikan, benar-benar memilih calon wakil yang diharapkan dan memang bekerja untuk kepentingan rakyat.
"Jadi kalau melihat ada pelanggaran harus dilaporkan ke aparatur, kalau pelanggaran administrasi bisa dieksekusi Bawaslu. Tetapi pencegahan dari caleg dan partai harus jadi utama, kalau calegnya beranggapan itu bagian cost politik, karena cost beda dengan money politik, sehingga beranggapan positif cost politik dikeluarkan seperti itu keliru lah, sehingga pendidikan di caleg harus dibenahi," tandasnya.
Febrian pun berharap masyarakat cerdas dalam memilih dan tidak terpengaruh dengan pemberian uang untuk memilih caleg tertentu baik besar atau kecil, sebab satu suara pun bisa menentukan calon wakil dan pemimpin bangsa ini kedepan.
"Jadi bukan besar dan kecil, tapi yang pasti itu tidak boleh, karena melanggar hukum tidak boleh menerima dari siapapun, jadi mulailah dari diri kita karena tidak ada effeknya kita malahan berdosa karena sekecil apapun itu tidak boleh diterima, dan hati nurani keyakinan kita kepada caleg menyuarakan kedepan untuk dapil. Jadi masyarakat jangan terkontaminasi dan pilihlah dengan hati nurani sesuaikan dengan visi misi yang mereka tawarkan, kemudian tidak menghianati pemilihan 5 tahun kemarin seperti itu. Apakah caleg yang akan dipilih prospek akan menyuarakan suara rakyat dan kepentingan rakyat, apakah pembangunan terus berlanjut nanti," tukasnya.
Terpisah, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sumsel sendiri mengimbau mewaspadai potensi politik uang dan sejenisnya, pada masa tenang sampai pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
Menurut Ketua Bawaslu Sumsel Kurniawan pihaknya, akan menyampaikan himbauan kepada peserta pemilu terkait larangan kegiatan mengarah kampanye dimasa tenang, dan termasuk aturan terkait politik uang.
"Dalam pencegahan pastinya Bawaslu mengoptimalkan posko pengaduan, serta patroli pengawasan sebagai upaya pencegahan yang dimaksud," tuturnya.
Anggota Bawaslu Sumsel Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Massuryati mengungkapkan, untuk mengantisipasi money politik jelang pencoblosan pastinya mengoptimalkan pencegahan.
"Seperti money politik tetap diwaspadai terlebih dimasa tenang, kami akan melakukan patroli langkah yang dilakukan divisi pencegahan seluruh kabuapaten kota panwascam hingga pengawas Desa dan kelurahan melakukan patroli dimasa tenang, yang ada indikasi pembagian sembako dan uang, " tegasnya.
Dilanjutkannya, setiap perbuatan pelanggaran dalam pemilu akan ditindak dan bisa nantinya jika terbukti pelanggaran dilakukan terstruktur, masif dan sistematis (TMS), caleg tersebut bisa direkomendasikan dicoret nantinya.
"Kalau TMS pasti ada sanksi bagi caleg, makanya kita tetap menghimbau di langkah awal bawaslu melalui kordiv pencegahan agar tidak melakukan hal- hal seperti itu, yang telah diatur dalam aturan boleh atau tidak, " jelasnya.
Disisi lain, Massuryati tak menampik jika Politik uang itu susah pembuktian, salah satunya pasal yang disangkakan untuk sanksinya kadang-kadang tidak ada dalam undang- undang, baik di PKPU atau UU nomor 7.
"Karena dalam aturan pelaku itu pertama dalam kampanye dia harus terdaftar dalam tim kampanye, peserta dan pelaksana kampanye yang SKnya disampaikan ke KPU, nah subjek hukum dulu. Kedua jenis kegiatan itu apakah memenuhi unsur kampanye atau tidak itu dikaji, maka kita memberikan sanksi pidana itu sangat hati- hati, dan teliti sebagai bentuk Kehati-hatian Bawaslu jangan sampai kita salah melangkah," paparnya.
Dirinya sendiri mnghimbauan ke masyarakat jangan sampai mau suara diberikan karena iming-iming uang atau hadiah, namun pilihlah sesuai hati nurani.
"Kepada peserta kami menghimbau untuk taat pada aturan, artinya dihari tenang itu tidak ada kegiatan kampanye apabila ada kampanye artinya kampanye di luar jadwal sanksinya jelas pidana. Bagi masyarakat pemilih jangan mau diiming-imingi, intimidasi, gunakanlah hak pilihan sesuai hati nurani dan bagi penyelenggara kami mengingatkan kepada rekan-rekan KPU dan jajaran untuk taat pada aturan pada hari distribusi, pemungutan dan perhitungan suara, jangan ada yang melanggar norma-norma, " pungkas mantan Ketua KPU Ogan Ilir ini. (arf/one/joy/eds)