Diberitakan sebelumnya, MK menolak enam perkara gugatan ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen yang diatur Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Majelis hakim MK menyatakan, para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut, sehingga permohonan tidak dapat diterima.
Menurut Mahkamah, persoalan jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan berkontestasi dalam pemilu tidak berkolerasi dengan normal Pasal 222 UU 7/2017.
Adapun pasal itu berbunyi "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemmilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya."
Mahkamah berpendapat, pasal tersebut tidak membatasi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berhak mengikuti pemilu.
Karena itu, Mahkamah menyatakan tidak ada kerugian konstitusional yang dialami para pemohon dengan berlakunya Pasal 222 UU 7/2017.
Selain itu, tidak ada hubungan sebab-akibat norma Pasal 222 UU 7/2017 dengan hak konstitusional pemohon sebagai pemilih dalam pemilu.
Dalam pembacaan putusan ini, salah satu perkara yang diputus adalah gugatan yang diajukan oleh Gatot.
Selain itu, ada pula perkara yang diajukan politikus Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono serta anggota DPD RI Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, dan Fahira Idris.
Apa Itu Presidential Threshold
Dilansir dari kompaspedia.kompas.id, presidential threshold adalah ambang batas kepemilikan kursi di DPR atau raihan suara partai politik untuk mencalonkan presiden.
Aturan tersebut mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2004.
Aturan presidential threshold pencalonan presiden mengalami beberapa perubahan ketentuan dari pemilu ke pemilu.
Pada 2004, untuk pertama kalinya Indonesia melaksanakan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung.