SRIPOKU.COM - Dalam perspektif kajian politik pendidikan tidak ada kebijakan pendidikan yang diterapkan pada sebuah negara benar-benar bebas dari kepentingan politik atau ideologi tertentu.
Ideologi-ideologi besar dunia seperti kapitalisme, sekulerisme, liberalisme, bahkan komunisme akan terus mencari peluang untuk mendapatkan simpati dan pengaruh.
Pendidikan adalah pintu masuk untuk mendiskusikan berbagai ideologi tersebut.
Sejak era kemerdekaan sampai saat ini arah kebijakan pendidikan Indonesia berakar pada ideologi Pancasila sebagai fundamental pendidikan nasional.
Ideologi Pancasila sebagai dasar pengembangan pendidikan mengandung makna bahwa seluruh pemikiran dan praktik pendidikan harus mencerminkan proses pengejawantahan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan pendidikan secara utuh.
Setelah merdeka selama 76 tahun, apakah arah pembangunan sektor pendidikan Indonesia telah menunjukkan komitmen dalam membumikan nilai-nilai Pancasila.
Atau justru terdapat indikasi menyimpang dari garis lurus ideologi Pancasila.
Menurut Bung Karno ,“Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia secara turun temurun yang sekian abad lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan barat.
Pancasila tidak saja falsafah negara, tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia”.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:
Ideologi pendidikan Pancasila tidak sama dengan ideologi yang berkembang pada kebudayaan Barat.
Ketika unsur-unsur kebudayaan Barat telah mengalami penetrasi dalam konsep dan praktik pendidikan Indonesia, maka upaya pembebasan pendidikan dari belenggu ideologi dan kebudayaan Barat itu harus dilakukan.
Membebaskan Pendidikan dari Belenggu Ideologi Asing
Ideologi asing yang membelenggu pendidikan Indonesia di antaranya adalah sekularisme, komunisme dan kapitalisme pendidikan yang tidak mengacu pada nilai-nilai Pancasila.
Sekularisme merupakan ideologi barat yang tidak mengakui semangat keagamaan.
Pengelolaan pendidikan sekuler tidak mengacu pada nilai-nilai agama dan sekaligus tidak berorientasi untuk penguatan agama.
Sementara itu, kapitalisme mendorong semangat kompetisi untuk mendapatkan modal kapital se-cara bebas tanpa kontrol.
Kapitalisme sangat mungkin untuk menimbulkan kesenjangan sosial pendidikan di masyarakat.
Orang-orang tertentu yang memiliki modal dapat meraih kesempatan pendidikan yang baik, se-mentara orang-orang yang tidak memiliki akses kapital akan terus terpuruk dan terhalang mendapatkan layanan pendidikan bermutu.
Secara kultural bangsa Indonesia tidak memiliki akar pada sekularisme, komunisme dan kapitalisme.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:
Masyarakat Indonesia sangat memegang teguh nilai-nilai agama dan menjadikan agama sebagai tujuan dan proses penting pendidikan.
Mata pelajaran pendidikan agama telah, sedang, dan akan menjadi pelajaran utama yang harus diajarkan di sekolah-sekolah.
Karena itu, mengabaikan dan menolak pendidikan agama di sekolah merupakan pikiran-pikiran liar dan asing yang tidak mengakar pada landasan sosiologis bangsa Indonesia.
Ajaran agama yang lurus (hanif) tidak akan pernah bertentangan dengan fitrah kemajuan dan kebaikan peradaban manapun.
Di Indonesia, ajaran dan nilai-nilai agama yang bersifat universal justru menjadi semangat untuk melahirkan Pancasila dan membentuk serta mengembangkan konsep negara bangsa (nation state) NKRI sampai saat ini tanpa harus mempertentangkannya dengan agama.
Beberapa analisis menunjukkan bahwa saat ini pendidikan di Indonesia telah terkontaminasi oleh kebudayaan Barat yang berakar dari ideologi sekuler, kapitalis, bahkan komunis.
Indikasi yang dapat ditunjukkan adalah munculnya tawaran pemikiran untuk mengembangkan konsep dan kebijakan pendidikan yang cenderung tidak menjadikan agama dan nilai-nilai moral sebagai inti (core) pendidikan.
Penelitian Irwan Abdullah (2021) misalnya, menegaskan bahwa kebijakan pendidikan nasional yang berorientasi dunia kerja, pengembangan sisi kompetensi motorik, dan life skill ternyata di satu sisi telah berpotensi menimbulkan demoralisasi di dunia pendidikan.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:
Dampak nyata dari demoralisasi kebijakan pendidikan ini di antaranya adalah semakin maraknya perilaku tidak sopan, kurang menghargai sesama, tidak toleran, dan rendah kepedulian.
Fenomena pendidikan nasional yang sejak lama timpang dengan memberikan ruang yang lebih besar pada pembelajaran kognitif dan mengevaluasi pendidikan melalui konsep EBTANAS, UAN, UN dengan mengukur capaian pembelajaran dari sisi konten pengetahuan adalah cerminan dari implementasi ideologi pendidikan kapitalisme.
Jika akhir-akhir ini muncul kebijakan kontroversi terutama mengenai isu penghapusan frasa agama dalam kurikulum pada dokumen road map Kemendikbud tahun 2021-2035 dan hilangnya konten jihad dan khilafah dalam pelajaran pendidikan agama Islam.
Nampaknya cukup beralasan jika kekuatan asing yang anti agama mulai mempengaruhi kebijakan pendidikan nasional. Ideologi sekuler dan komunisme secara konseptual sejak awal tidak memberikan ruang kepada agama untuk dilibatkan dalam sistem pengelolaan negara.
Sementara itu, ideologi Pancasila memberikan ruang bagi berkembangnya agama melalui sistem pendidikan nasional.
Namun pengejawantahan konsep pendidikan nasional berlandasakan Pancasila ini masih membutuhkan analisis pengembangannya.
Sejak awal kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan pada waktu itu telah memikirkan dan mengembangkan konsep pendidikan nasional melalui tiga paradigma pendidikan yaitu: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:
Ketiga konsep itu bersesuaian dengan tiga teori besar pembelajaran yaitu behaviorisme (membentuk), kognitivisme (mengembangkan), dan konstruktivisme (membangun) sebagai rujukan teoritis dalam mendidik semua potensi peserta didik.
Setidaknya mutiara pemikiran Ki Hadjar telah dibukukan dalam bentuk dua bagian penting yaitu bagian pertama tentang pendidikan dan bagian kedua tentang kebudayaan.
Kedua buku ini dicetak pertama kali oleh percetakan Taman Siswa Jogjakarta pada 1962.
Karya Ki Hadjar ini selanjutnya menjadi inspirasi untuk menetapkan nomemklatur Kementerian Pen-didikan dan Kebudayaan sampai hari ini.
Konsep yang dikembangkan oleh Ki Hadjar ini seharusnya menjadi dasar-dasar konseptual pengembangan kebijakan pendidikan nasional di era modern ini.
Dalam karya Ki Hadjar Dewantara, khususnya pada jilid pertama mengenai pendidikan dengan tegas dikemukakan pentingnya Ilmu Adab, pendidikan sistem pondok, pendidikan kesenian, pendidikan keluarga, pendidikan kanak-kanak, dan ilmu jiwa.
Gagasan Ki Hadjar ini sesungguhnya sangat visioner dan berorientasi masa depan.
Konsep pendidikan sistem boarding school yang banyak berkembang dan menjadi trend seperti sekolah-sekolah modern terpadu saat ini, telah digaungkan sejak lama oleh Ki Hadjar.
Update 24 Agustus 2021. (https://covid19.go.id/)
Bahkan paradigma pembelajaran learning is fun yang sukses diterapkan di Finlandia, juga telah digagas dan diterapkan oleh Ki Hadjar dengan konsep Taman Siswa.
Bahwa sekolah harus menjadi tempat belajar yang indah dan menyenangkan.
Sekolah bukan tempat yang membosankan siswa dengan menjejali sederetan konsep dan materi tanpa makna.
Pendidikan dan sistem persekolahan di Indonesia harus dibebaskan dari berbagai ideologi dan kebudayaan asing yang akan melahirkan generasi tanpa cahaya ruhani dan adab.
Paradigma dan cara pandang pendidikan yang timpang pada aspek pengembangan materialisme semata dan tidak memperdulikan pengembangan religiusitas, spritualitas, dan moral adalah pengingkaran atas ideologi Pancasila.
Semoga momentum peringatan hari kemerdekaan RI ke-76 ini mampu menegaskan kembali komitmen seluruh warga bangsa ini untuk kembali kepada khazanah pendidikan Indonesia yang genuine dan otentik. Semoga !!!! (Dr Abdurrahmansyah MAg / Dosen Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang)