Learning Loss Dan Gagalnya Fungsi Sekolah Di Masa Pandemi

Editor: Bejoroy
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DR. Abdurrahmansyah Dosen Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang

Prolog
Learning loss adalah istilah yang sangat populer saat ini untuk menggambarkan hilangnya pembelajaran di sekolah sebagai akibat tidak dilaksanakannya proses belajar tatap muka.

Selama masa pandemic covid-19 sejak dua tahun lalu sekolah seperti kehilangan arah untuk mengorganisir pelaksanaan pembelajaran peserta didik.

Sebagai solusi pemerintah melaksanakan kebijakan belajar dari rumah melalui sistem pembelajaran online.

Sepintas kebijakan ini sangat tepat seiring dengan dicanangkannya konsep merdeka belajar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Secara umum konsep merdeka belajar adalah memberikan ruang yang luas kepada peserta didik untuk bebas mengakses ilmu pengetahuan dari berbagai sumber belajar di luar kelas melalui internet dan media online.

Sehingga guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar seperti selama ini.

Konsep merdeka belajar tidak lagi dibatasi oleh kurikulum formal, tetapi peserta didik dan guru harus kreatif untuk menggapai pengetahuan.

Peserta didik benar-benar dilatih untuk mandiri.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Jika kebijakan merdeka belajar telah efektif maka proses belajar di masa pandemic dengan menggunakan sistem daring seharusnya tidak menjadi masalah.

Namun kenyataannya, sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua sering mengeluh bahwa proses belajar dengan sistem online tidak efektif dan disorientasi.

Survei yang dilakukan SMRC menunjukkan bahwa 92 persen peserta didik mengalami banyak masalah dalam pembelajaran sistem daring (Katadata.co.id, 2020).

Beberapa riset mengenai efektivitas pembelajaran dengan sistem online menunjukkan banyak kendala dalam proses pembelajaran daring sehingga tidak efektif untuk memberikan peserta didik pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara optimal.

Gagalnya Fungsi Sekolah di Masa Pandemi
Peter F. Oliva dalam Developing Curriculum (1992) menegaskan bahwa salah satu fungsi penting penerapan kurikulum di sekolah adalah memungkinkan terjadinya human activity atau aktivitas kemanusiaan di lingkungan sekolah.

Sekolah wajib memfasilitasi terjadinya interaksi yang positif dan mendidik antara guru dan peserta didik, dan peserta didik dengan peserta didik lainnya.

Dalam proses pembelajaran daring, justru human activity ini telah dirampas, sehingga peserta didik sama sekali teralienasi dengan lingkungan pendidikannya sendiri.

Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Bahkan menurut survey UNICEF menyebut, sebanyak 66 persen dari 60 juta peserta didik dari berbagai jenjang pendidikan di 34 provinsi mengaku tidak nyaman belajar di rumah se-lama pandemi Covid-19.

Dari jumlah tersebut, 87 persen siswa ingin segera kembali belajar di sekolah (Kompas.com).

Proses pembelajaran yang dilakukan dalam kondisi tidak nyaman tidak akan pernah efektif.

Lebih jauh hal ini akan mempengaruhi psikologis peserta didik yang berdampak pada motivasi dan minat belajar yang sangat menurun.

Mengacu John Dewey dalam Democracy and Education (1916), mendidik sejatinya tidak hanya mengembangkan potensi intelektual peserta didik, tetapi sekaligus untuk menumbuh-kembangkan potensi sikap dan keterampilan.

Sekolah harus menjadi lapangan yang mampu menghidupkan semangat kebersamaan dan menghargai sesama sebagai tempat untuk membelajarkan demokrasi.

Karena itu, pertemuan tatap muka di sekolah sama sekali tidak bisa diabaikan karena banyak potensi non akademik dari peserta didik yang dapat dibentuk dan dikembangkan melalui pertemuan kelas secara nyata.

Dengan demikian, konsep dan kebijakan Merdeka Belajar harus mempertimbangkan aspek non akademik ini.

Pendidikan tidak semata-mata urusan menguasai konten kognitif dan materi akademik saja, sehingga cukup diserahkan pada pola pembelajaran mandiri melalui akses sumber belajar dari internet dan media sosial.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Salah satu aspek yang sangat penting namun hilang dalam pendidikan di masa pandemic ini adalah pendidikan karakter (ranah afektif).

Peserta didik tidak lagi dapat melihat dan mempraktikkan perilaku sopan santun, bekerjasama antar teman, dan bertanggungjawab atas tugas-tugas di sekolah.

Keteladanan guru sama sekali tidak dapat diakses melalui pembelajaran daring.

Demikian halnya dengan pengembangan skill dan keterampilan personal peserta didik, sama sekali luput dari sistem pembelajaran online.

Satu-satunya aspek yang mungkin dikuasai peserta didik adalah materi pengetahuan.

Namun, mengacu pada beberapa riset terakhir, ternyata sistem pembelajaran daring menunjukkan peningkatan hasil belajar semu (pseudo evaluation).

Di satu sisi nilai hasil belajar dalam bentuk skor cenderung meningkat, namun di sisi lain penguasaan kompetensi peserta didik terhadap materi pelajaran justru cenderung rendah.

Sebagai fenomena sosial pendidikan yang bersifat darurat dan tidak terduga, kebijakan learn from home (LFH) yang diterapkan pemerintah di masa merebaknya Covid-19 memang dapat dimaklumi.

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Namun, persoalannya adalah sejauhmana kesiapan pemerintah dalam mengorganisasikan sekolah dalam hal ini guru, tenaga pendidik, peserta didik, kurikulum, dan proses pem-belajaran yang efektif.

Meskipun tujuan pembelajaran secara komprehensif tidak dapat tercapai seluruhnya, setidaknya problem pengiring yang muncul dari pelaksanaan pembelajaran daring dapat diminimalisir.

Berdasarkan penelusuran penulis misalnya, masih banyak guru yang tidak mampu secara optimal mengorganisasikan kelas daring secara baik.

Kebijakan untuk mengiplementasikan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) singkat ternyata tidak dipahami oleh kebanyakan guru.

Sehingga yang terjadi adalah mengajarkan struktur kurikulum normal di masa yang tidak normal.

Ketidakmampuan guru dalam mengembangkan sistem pembelajaran online dengan berbagai model pembelajaran berbasis jaringan semakin memperburuk tampilan implementasi kurikulum di masa pandemic.

Akibat dari ketidakmampuan guru dalam implementasi kurikulum ini, maka munculah ambiguitas dalam menilai hasil belajar peserta didik dalam bentuk penilaian semu.

Harus dipahami bahwa kemampuan guru dalam mengimplementasikan kurikulum sangat berkaitan dengan pengetahuan guru mengenai kurikulum teoritik dan implementatif.

Update 1 Agustus 2021. (https://covid19.go.id/)

Pengetahuan tentang kurikulum selanjutnya mempengaruhi sikap guru terhadap perubahan kurikulum dalam bentuk respon dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran yang lebih efektif.

Guru yang sekedar mengajarkan struktur materi seperti pada kurikulum normal dan tidak melakukan redesain ulang sehingga sesuai dengan kondisi pandemic, merupakan sikap yang buruk dalam merespon perubahan kurikulum.

Bahkan dapat menimbulkan mal praktik pendidikan.

Mengacu pada penerapan kurikukum darurat di negara-negara Eropah yang sering mengalami cuaca ekstrem dan bencana alam sehingga menghajatkan peserta didik untuk tidak dapat da-tang ke sekolah dalam waktu yang cukup lama.

Maka sekolah memberlakukan konsep curriculum packages.

Konsep kurikulum paket didesain secara sederhana sehingga peserta didik dapat belajar dan mengerjakan tugas-tugas sesuai dengan ketersediaan fasilitas di sekitarnya.

Peserta didik tidak dituntut untuk belajar sesuai kurikulum formal seperti di masa normal, sehingga mereka tetap fun dan senang belajar.

Sebagai konsekwensi dari penerapan curriculum packages, maka penilaian hasil belajarpun menggunakan konsep automatic promotion.

Pada pola penilaian ini semua peserta didik diluluskan.

Penerapan kurikulum di masa darurat seperti ini, lebih mengutamakan sisi psikologis peserta didik sehingga tidak merasa tertekan dan stress.

Di Indonesia, penerapan kurikulum di masa pandemic justru banyak menimbulkan akibat psikologis pada peserta didik.

Mengacu fenomena di Indonesia dan Malaysia misalnya, terdapat beberapa kasus peserta didik yang melakukan aksi bunuh diri karena tidak mampu beradaptasi dengan problem pembelajaran daring yang dihadapi.

Hal ini mengindikasikan betapa sangat menyiksanya proses pembelajaran sistem daring dengan berbagai sisi keterbatasan dan ketidakmampuan orang tua dalam memfasilitasi proses pembelajaran online.

Kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah di masa pandemic sejauh ini terkesan kurang komprehensif dan tidak mendasar.

Manajemen sekolah, guru, tenaga pendidikan terlihat kesulitan dan tidak siap mengorgani-sasikan pembelajaran di masa pandemic.

Banyak orang tua dan peserta didik membenci pola pembelajaran daring yang dikoordina-sikan sekolah.

Seabrek permasalahan pendidikan di masa pandemic ini merupakan ujian dan tantangan bagi para pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini.

Pola rekrutmen guru dan penguatan kompetensi guru dan tenaga kependidikan melalui pelatihan perlu dievaluasi secara serius, sehingga sekolah dapat berfungsi dengan baik.

Sekolah dikatakan berfungsi dengan baik jika mampu mengembangkan potensi intelektual, moralitas, skill, dan spiritualitas peserta didik secara optimal.

Mengabaikan salah satu dari proses pengembangan potensi itu adalah sebuah potret buruk dari sistem persekolahan.

Semoga pandemic ini segera berlalu sehingga sekolah kembali menjalankan fungsinya untuk mendidik anak bangsa secara benar (logic), baik (ethic), dan indah (art). Wallahu a’lam bi al-Shawwab.

Oleh : DR. Abdurrahmansyah
Dosen Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang

Berita Terkini