Semua itu berubah pada 6 Februari 1952 dengan kematian dini Raja George VI.
Ratu Elizabeth saat itu baru berusia 25 tahun dan Pangeran Philip berusia 30 tahun.
Mereka selalu tahu sang putri ditakdirkan untuk menjadi Ratu, tetapi berharap waktu itu datang beberapa tahun lagi, untuk sementara dapat menjalani hidup mereka sendiri.
Bagi Duke of Edinburgh, aksesi itu artinya ia harus melepas ambisi karier apa pun yang ia miliki terhadap Angkatan Laut Kerajaan.
Bagi seorang pria yang biasa menjadi komandan kapal, tiba-tiba diturunkan ke peran pendukung tidaklah mudah.
Selain itu, perlu diingat bahwa pada 1950-an, budaya patriarki masih sangat jarang seorang suami dikalahkan oleh istrinya.
Bagi Ratu, yang juga seorang ibu muda, ada aturan peran yang harus dia penuhi sejak lahir yang harus didahulukan.
Peran ganda Kisah cinta Duke of Edinburgh dan Ratu Elizabeth II dapat awet, mungkin salah satunya karena kemampuan mereka dalam bertukar posisi, yang dilakukan tanpa mengeksposnya ke publik.
Namun, bukan tanpa kendala.
Semasa hidupnya, diceritakan bahwa Pangeran Philip terkadang mempertanyakan perannya sendiri sebagai permaisuri istrinya. Ia seringkali melawan sikap para bangsawan.
Pada 1956, dia menghabiskan 4 bulan berkeliling ke negara Persemakmuran Inggris, yang sempat membuat beberapa orang mempertanyakan komitmennya kepada ratu.
Namun, kemudian pasangan itu menemukan ritme dan pola peran mereka dalam beberapa dekade selanjutnya.
Duke of Edinburgh memungkinkan Ratu untuk menjalankan perannya sebagai kepala negara, sementara dia mengambil peran sebagai kepala keluarga.
Bagi dunia luar, Ratu Elizabeth II adalah bosnya, tetapi dalam kehidupan pribadi perannya berbeda. Pangeran Philip yang bertanggung jawab dan memegang kendali.
Misalnya, Pangeran Philip bertanggung jawab mempersiapkan acara barbekyu, sementara Elizabeth mencuci.