Imbauannya soal berkerumun itu juga termasuk dalam hal mendirikan tenda untuk bermalam. Terutama di tempat kemping yang luas seperti Alun-alun Suryakencana di Gunung Gede, Pondok Selada di Gunung Papandayan.
"Dengan kesadaran sendiri membuat camp-nya jangan berdekatan. Bikin kavling sendiri. Pokoknya jangan sampai gunung menjadi klaster baru," katanya lagi.
3. Jangan salaman
Salah satu kebiasaan pendaki gunung di Indonesia selama ini adalah, bila bertemu kelompok pendaki lain yang merupakan kenalannya, akan bergabung dan melakukan perjalanan bersama.
Untuk sementara kebiasaan ini disarankan tidak dilakukan lagi pada masa ini, untuk jaga-jaga saja.
"Juga ada kebiasaan salaman di antara pendaki. Itu juga jangan dulu deh. Kalau saya langsung sikap 'namaste' (mengatupkan dua tangan di depan dada), dan orang-orang sudah tahu artinya," ujar Mul, yang juga dikenal sebagai pendaki gunung yang ramah.
Mul mengaku sangat ketat dalam menerapkan aturan ini, demi menjaga kesehatannya dan keluarganya. Dia dengan jelas mengatakan, usianya yang sudah kepala 5 menjadi salah satu dasar pertimbangannya.
Pria yang pernah mendaki gunung Carstensz Pyramid, Aconcagua, beberapa gunung di Nepal ini menjadi salah satu orang yang diminta Kemeparekraf mengulas CHSE wisata pendakian gunung, sebelum diterbitkan pada 17 Agustus 2020.
Pasalnya pada tahun 2008, dia merupakan salah satu anggota tim perumus Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) pemandu wisata mendaki gunung, yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ketika itu.
Mul juga mengingatkan untuk membawa masker, meski tak digunakan saat mendaki. Namun masker harus digunakan ketika bertemu kelompok pendaki lain, dan berada di kerumunan.
Tak lupa pula membawa hand sanitizer sebagai pengganti air untuk mencuci tangan.
Dengan menerapkan saran-saran ini, dia berharap wisata mendaki gunung tetap menyenangkan sekaligus aman bagi semua orang.