Bayu Gatra tidak menimba ilmu sepakbola di Sekolah Sepak Bola (SSB) seperti kebanyakan anak-anak yang menyukai sepakbola.
Bayu justru belajar si kulit bundar secara otodidak.
Hasrat besarnya untuk mahir bermain sepak bola terinspirasi dari kehebatan sang ayah, Untung Supriadi.
Semasa kecil, Bayu Gatra mengaku ayahnya itu adalah anutan dirinya, di dalam maupun di luar lapangan.
• Ritual Pulang Kampung Jelang Latihan Perdana bersama Sriwijaya FC di Palembang
Bahkan, Bayu Gatra mengaku semasa kanak-kanak kerap mendengar sang ayah dieluk-elukan oleh warga di daerah tempatnya tinggal saat turun di turnamen kelas tarkam.
Begitu menginjak masa kolah menengah pertama, Bayu Gatra mengikuti jejak sang ayah, bermain tarkam.
Bayu Gatra punya alasan kuat dibalik keputusannya bermain tarkam di usia yang sangat muda.
Dia ingin meringankan beban orang tuanya dalam membiayai sekolahnya.
Dengan bakat besar yang dimilikinya, Bayu Gatra kerap mendapatkan tawaran bermain tarkam. Ia pun tidak pilih-pilih dan menerima ajakan yang datang.
Bayu Gatra yang ketika itu masih berusia belasan tahun harus menghadapi pemain yang usianya lebih tua darinya.
Bermacam-macam bayaran di turnamen ini pun pernah didapatnya. Mulai dari dibayar Rp 30 ribu dalam satu pertandingan, Rp 75 ribu, hingga Rp 250 ribu.
• 25 Agustus Ini Sriwijaya FC Gelar Latihan Perdana di Stadion Bumi Sriwijaya Palembang
Setelah makan banyak asam garam di turnamen tarkam, Bayu Gatra lebih serius dalam menekuni kariernya.
Ia menimba ilmu di Persid Jember dan kemudian hijrah ke Persekap Pasuruan pada 2008.
Kariernya yang mulai menanjak langsung meredup setelah ia dihantam cedera lutut parah tahun 2010 lalu.
Cedera yang memaksanya absen dari lapangan hijau sekitar satu tahun. Padalah ia sudah memainkan beberapa laga profesional bersama Persekap Pasuruan.