Solusi Konkret Defisit Anggaran (BPJS) Kesehatan
Oleh : dr Chaled Adams
Praktisi kesehatan di Puskesmas Kuamang Kuning X, Kabupaten Bungo, Jambi yang ditugaskan sejak tahun 2018 melalui program
Nusantara Sehat yang dicanangkan Kementerian Kesehatan. Persoalan defisit BPJS kesehatan sudah bukan rahasia umum lagi.
Tercatat pada tahun 2018 defisit mencapai Rp. 9,1 triliun dan diproyeksikan melambung hingga 28 triliun pada akhir 2019.
Presiden Jokowi, dalam Pidato Tentang Nota Keuangan dan RUU APBN 2019 menyampaikan, akan mengalokasikan Rp 132,2 triliun untuk anggaran kesehatan pada tahun 2020, atau naik hampir dua kali lipat dari realisasi anggaran kesehatan tahun 2015 yang sebesar Rp 69,3 triliun.
Upaya pemerintah dalam bidang kesehatan semakin meningkat.
Tapi kemanakah anggaran kesehatan tersebut sebaiknya dikucurkan?
Langkah konkret apa yang dapat dilakukan?
Kalau bisa diibaratkan kondisi anggaran kesehatan (khususnya BPJS) saat ini ibarat ember bocor yang terisi separuh atau sedikit terisi.
Mau seberapa banyak pun diisi, jika kebocoran tidak diatasi maka tidak akan bisa penuh atau tercukupi.
Kondisi ini seyogyanya disiasati dari akar permasalahan yang menyebabkan bengkaknya anggaran.
Yaitu, besarnya biaya yang harus dikeluarkan karena banyaknya kasus/penyakit berat, seperti stroke, serangan jantung, cuci darah/gagal ginjal yang memerlukan pemeriksaan dengan peralatan dan pengobatan yang mahal di rumah sakit.
Berbagai persoalan yang muncul, semuanya dikarenakan;
1. Masih minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap penyakit yang mendasari penyakit berat tersebut (misal, diabetes, hipertensi, dan kolesterol).
2. Sekalipun sudah diedukasi dan dijelaskan, tidak sedikit masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh oknum tidak bertanggungjawab untuk lebih fokus menggunakan pengobatan alternatif (mis: ramuan herbal, kapsul penyembuh berbagai penyakit, supranatural dsb) yang tidak terbukti khasiatnya secara ilmiah.
Sebagian daripada oknum menyampaikan selama menggunakan pengobatannya untuk tidak digabung dengan obat dokter, atau menakut-nakuti pasien dengan bila terus menerus minum obat akan merusak ginjal, tuli, dsbnya.
Padahal informasi tersebut sangatlah keliru.
Sebaliknya keteraturan minum obat adalah kunci utama dalam penanganan penyakit-penyakit kronis.
3. Pengobatan alternatif mem-follow-up pasien hanya dengan gejala, bukan berdasarkan parameter penyakit yang diderita.
Misal, kepala atau pundak sudah tidak terasa tegang, badan terasa ringan, dan sebagainya.
4. Parameter penyakit kronis mungkin saja tinggi, namun tidak bergejala.
Hal demikian dikarenakan tubuh yang sudah terkompensasi dan terbiasa dengan kondisi yang terus menerus tinggi.
Misal, tekanan darah 180/120 atau gula darah di atas 300 tanpa gejala sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.
5. Pasien yang penyakitnya tidak terkontrol ini akan jatuh pada komplikasi akut ataupun kronis yang pada akhirnya dapat meramaikan UGD, ruang rawatan, ruang operasi, atau bahkan ruang rawat intensif.
Lalu membebani pembiayaan pengobatan, dalam hal ini peng-klaiman BPJS.
Beberapa solusi konkret yang dapat diterapkan, diantaranya;
1. Edukasi masyarakat yang menekankan kepada pentingnya pengontrolan penyakit yang dilakukan secara komprehensif.
Hal dapat dilakukan melalui berbagai media yang dapat menyasar semua lapisan masyarakat (kaya-miskin, kota-pedesaan, pendidikan rendah-tinggi).
Contohnya melalui iklan di media televisi (seperti dahulu ada iklan 3D, dilihat diraba diterawang untuk uang palsu atau 3M plus untuk Demam berdarah) dan mengingat era digital saat ini, juga dapat diberikan di iklan media sosial/ youtube.
Dengan edukasi yang digalakkan secara Nasional, seperti semua pasien penyakit kronis wajib minum obat terus menerus/ seumur hidup atau sesuai petunjuk dokter dan cek kesehatan minimal 1 bulan sekali meski tanpa gejala, diyakini dapat menurunkan angka kunjungan pasien dengan penyakit komplikasi secara signifikan.
Bentuk edukasi/layanan masyarakat ini agar bisa terus berkelanjutan dan tidak memakan anggaran, dapat dituangkan dalam bentuk hukum yang mengikat seperti Peraturan Menteri, atau Peraturan Presiden, atau Undang-Undang melalui DPR.
Misalnya, seluruh media media di Indonesia wajib mengalokasikan sekian persen/menit waktu untuk menayangkan iklan layanan masyarakat setiap harinya.
Wadah ini kedepannya juga dapat digunakan untuk mengedukasi topic lain dalam bidang kesehatan, seperti pemeriksaan kehamilan, gizi/tumbuh kembang anak, penyakit tuberkulosis, imunisasi, dan banyak lagi; atau digunakan sebagai informasi bidang pelayanan public lainnya, seperti pembayaran pajak.
Jika edukasi hanya diharapkan dari pelayan kesehatan terdepan (Puskesmas), hal ini sudah dari dulu dilakukan oleh dokter dan petugas kesehatan lainnya, namun tidak sepenuhnya efektif.
Mengingat banyaknya penderita, kondisi geografis, beragamnya latar belakang, budaya, kesibukan, tingkat pendidikan, kondisi,dan karakter masyarakat.
2. Pengontrolan terhadap praktek pengobatan alternatif yang terbukti merugikan pasien, seperti pemberian produk yang ternyata mengandung obat kimia berbahaya (contohnya kapsul/jamu herbal yang ternyata dicampur obat kortikosteroid), atau pengobatan alternatif yang memerintahkan pasien untuk tidak minum obat resep dokter.
Sekalipun mungkin praktek pengobatan alternatif tersebut telah legal dan berizin.
Dibuatnya peraturan yang jelas dan mengikat akan membantu masyarakat dan pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan dan penindakan.
3. Pengontrolan terhadap apotek/toko obat dalam memberikan obat golongan kortikosteroid.
Jenis obat ini paling sering disalahgunakan, dicampurkan pada dalam bentuk kapsul, bubuk, ataupun cair dan sering digunakan secara sembarangan oleh oknum "dokter-dokteran".
Karena, efeknya yang kuat dalam menyamarkan berbagai keluhan, namun sejatinya tidak dapat menyembuhkan.
Efek samping obat ini baik jangka waktu singkat ataupun lama sangatlah banyak.
Mulai dari ketergantungan, gagal ginjal, memicu peningkatan gula darah/diabetes dan katarak, superinfeksi, keterlambatan penyembuhan, gagal jantung, penimbunan cairan, dan sebagainya.
Meskipun bukan jenis narkotika, obat golongan ini seluruhnya adalah jenis obat keras yang seharusnya melalui resep dokter.
Namun, hingga saat ini masih bisa didapatkan bebas tanpa resep di berbagai daerah sehingga sangat gampang disalahgunakan.
Pencatatan dan pelaporan penggunaan obat jenis ini dapat dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan.
4. Pemenuhan fasilitas, obat-obatan, dan tenaga kesehatan yang merata di seluruh penjuru negeri.
Setiap daerah/kecamatan di Indonesia dapat dipastikan mempunyai minimal satu Puskesmas.
Tapi masih belum semua puskesmas mempunyai dokter, kendati sudah memiliki dokter, belum tentu alat dan obat-obatannya lengkap/ memadai.
Terutama untuk diagnostik seperti alat rekam jantung untuk mendeteksi serangan jantung atau stik pemeriksaan urin untuk gangguan fungsi ginjal.
Fokus pemerintah terhadap meratanya tenaga kesehatan, obat-obatan, dan peralatan medis masih perlu ditingkatkan.
Yakinlah, kita memang tidak bisa memilih dimana kita ditakdirkan berada, namun selayaknya pelayanan kesehatan di perkotaan = di pedesaan.
Perombakan besar-besaran manajemen BPJS kesehatan sekalipun tidak dapat terlalu diharapkan, jika akar permasalahan yang menyebabkan bocornya anggaran tidak teratasi.
Salah satunya karena belum maksimalnya kontrol terhadap penyakit komplikasi.
Semoga satu lagi Sila kita tegakkan.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, khususnya di bidang kesehatan.