DARIMANA ANGKA KEMISKINAN DIPEROLEH?
Rillando Maranansha Noor, SE
Koordinator Statistik Kecamatan Belitang, BPS Kabupaten OKU Timur
Angka kemiskinan menjadi hal yang paling seksi untuk dibicarakan bagi banyak orang apalagi jika dikait-kaitkan dengan politik.
Sebagai salah satu indikator keberhasilan pemerintah, angka kemiskinan selalu dinanti banyak pihak kehadirannya, baik pemerintah sendiri, pengamat, akademisi, dan sebagainya.
Pembahasan mengenai kemiskinan adalah pembahasan yang debatable, masing-masing punya persepsi tersendiri tentang kemiskinan.
Banyak pro dan kontra terhadap data kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik.
Tak jarang isu soal kemiskinan menjadi senjata pada saat pilkada atau pilpres untuk menyerang calon
incumbent atau petahana, karena angka kemiskinan dianggap salah satu indikator keberhasilan suatu pemerintahan.
Mengentaskan kemiskinan selalu menjadi misi utama para pemimpin negeri ini, walaupun misi tersebut sampai kini belum dapat dikatakan terealisasi.
Namun demikian kita harus tetap mengapresiasi upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, pemerintah telah cukup serius dalam hal ini dan menjadikannya program prioritas meski hasilnya belum memuaskan.
Kemiskinan sendiri merupakan suatu permasalahan yang kompleks dan multidimensional, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dalam pengentasannya diperlukan upaya terpadu dan komprehensif mencakup dimensi-dimensi yang terkandung di dalamnya.
Dimensi-dimensi tersebut antara lain ekonomi, politik, dan sosial.
Faktor mendasar yang mempengaruhi kemiskinan diantaranya adalah sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sistem serta sosok pemimpin.
Sumber daya alam (SDM) yang rendah tentu mempengaruhi kemiskinan, hal ini terkait juga dengan rendahnya pendidikan dan banyaknya masyarakat yang malas.
Pendidikan yang rendah membatasi masyarakat untuk dapat diterima di dunia kerja formal.
Fenomena semakin banyak ditemukannya pengemis di jalanan juga menjadi indikator banyaknya penduduk yang malas, yang menggadaikan harga dirinya untuk pemenuhan kebutuhannya.
Terkait sumber daya alam (SDA), sebagai negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau yang terkandung banyak kekayaan alam di dalamnya, maka tidak seharusnya rakyat Indonesia banyak yang terkategori miskin.
Pengelolaan SDA yang belum cukup baik dan banyaknya kekayaan alam Indonesia yang dikelola asing turut memberi konstribusi dalam kemiskinan.
Banyaknya sumber daya alam (SDA) yang dimiliki Indonesia tidak menjamin atau berbanding lurus dengan terselesaikannya masalah kemiskinan.
Sistem dan sosok pemimpin juga diperlukan dalam pengembangan sektor-sektor perekonomian yang ada, kebijakan yang pro masyarakat miskin juga diperlukan untuk mengangkat mereka yang terjebak di dasar jurang kemiskinan, setidaknya mampu mengeluarkan mereka dari garis kemiskinan.
Kemiskinan menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah bangsa Indonesia, bahkan dapat dikatakan seluruh energi terkuras habis untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Kemiskinan menjadi tanda tanya besar di benak banyak orang, mengapa permasalahan ini seakan tak ada habisnya, seakan tidak ada masalah lain yang lebih besar selain kemiskinan.
Pengentasan kemiskinan harus menjadi tujuan utama dari penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa ini, karena aspek dasar yang dapat dijadikan acuan keberhasilan pembangunan ekonomi adalah teratasinya masalah kemiskinan.
Miskin atau tidaknya seseorang dilihat berdasarkan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs approach).
Badan Pusat Statistik pun menggunakan konsep memenuhi kemampuan dasar (basic needs approach) untuk mengukur kemiskinan.
Melalui pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Dengan pendekatan ini dapat dihitung pula Headcount Index, dimana dapat diperoleh persentase penduduk miskin terhadap jumlah penduduk.
Garis Kemiskinan menjadi pembatas antara kelompok miskin dan tidak miskin.
Metode yang digunakan dalam menghitung Garis Kemiskinan (GK) menggunakan dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
Garis Kemiskinan sendiri merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan dan Garis Kemiskinan Non Makanan.
Garis Kemiskinan Makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).
Garis Kemiskinan Non Makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Paket komoditi dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah antara wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan.
Seseorang baru bisa disebut penduduk miskin apabila pengeluarannya per kapita per bulan berada dibawah Garis Kemiskinan.
Melalui gambaran diatas maka unbtuk penanggulangan kemiskinan sendiri diperlukan strategi yang tepat yaitu melindungi kelompok masyarakat miskin tersebut dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, hal ini dapat dilakukan antara lain dengan menjaga stabilitas harga bahan pokok dan pemberian subsidi ke
beberapa kelompok komoditi.
Pada September 2017 BPS mencatat adanya penduduk miskin di Indonesia sejumlah 26,58 juta jiwa (10,12%), atau mengalami penurunan sebesar 1,19 juta orang dibandingkan data BPS pada Maret
2017 yang berjumlah 27,77 (10,64 %) juta orang.
Berdasarkan klasifikasi wilayah, persentase penduduk miskin di perkotaan pada September 2017 sebesar 7,26 %, berkurang dari data Maret 2017 sebesar 7,72 %.
Persentase penduduk miskin di perdesaan pada September 2017 sebesar 13,47 %, berkurang dari data Maret 2017 sebesar 13,93 %.
Peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, kesehatan dan pendidikan).
Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada September 2017 adalah sebesar 73,35 %.
Jenis komoditi yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan baik di perkotaan maupun perde-
saan adalah beras, rokok kretek filter, daging sapi, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan dan gula pasir.
Untuk komoditi bukan makanan yang memiliki konstribusi terbesar terhadap Garis Kemiskinan baik di kota maupun di desa adalah perumahan, bensin, listrik, pendidikan dan perlengkapan mandi.
Pada periode Maret 2017 sampai dengan September 2017 nilai Garis Kemiskinan naik sebesar 3,39 %, yaitu dari Rp.374.478,- per kapita per bulan pada Maret 2017 menjadi Rp.387.160,- per kapita
per bulan pada September 2017.
Beras menjadi komoditi makanan yang paling besar konstribusinya terhadap angka kemiskinan dengan
persentase sebesar 18,80 %, kemudian disusul rokok kretek filter sebesar 9,98 %, daging sapi sebesar 5,71 %, telur ayam ras sebesar 3,63 %, daging ayam ras sebesar 3,36 %, mie instan sebesar 2,24 dan gula pasir sebesar 2,17 %.
Bagaimana angka angka tersebut didapat? BPS menyelenggarakan suatu kegiatan yang bernama Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) sebanyak 2 kali dalam setahun yaitu pada bulan Maret
dan September.
Survei ini bisa dikatakan sebagai induk atau cikal bakal dari angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS.
Tujuan SUSENAS sendiri adalah untuk mengetahui pola konsumsi rumah tangga, baik konsumsi makanan maupun konsumsi non makanan.
Dari data SUSENAS tersebut akan diperoleh nilai konsumsi komoditi makanan dan non makanan yang digunakan sebagai dasar penghitungan garis kemiskinan.
Garis kemiskinan Rp.387.160,- perkapita perbulan merupakan data makro, yang didapat dari hasil rata-rata nasional dan mencakup semua usia mulai dari bayi hingga lansia.
Setiap provinsi pun memiliki garis kemiskinan yang berbeda.
Metode yang digunakan dalam penetapan garis kemiskinan oleh BPS mengikuti metode baku yang diterapkan lembaga internasional.
Penghitungan Garis Kemiskinan (GK) didasarkan pada konsep garis kemiskinan (GKM) makanan ditambahkan dengan garis kemiskinan non makanan (GKNM). GKM sendiri merupakan nilai pemenuhan kebutuhan makanan 2.100 kilo kalori per kapita perhari.
Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978.
Banyak pihak yang belum memahami asal usul angka garis kemiskinan ini, ada yang mengira datanya berasal dari Sensus Ekonomi, padahal yang didata pada Sensus Ekonomi adalah usaha atau perusahaan.
Hanya karena ada embel-embel “ekonomi” orang sering salah kaprah terhadap asal usul angka kemiskinan. Ada pula yang mengaitkan angka kemiskinan dengan Basis Data Terpadu (BDT), padahal BDT adalah hasil dari pendataan PBDT (Pemutakhiran Basis Data Terpadu) oleh BPS dimana yang didata adalah 40 % penduduk dengan pendapatan terendah, bukan penduduk miskin dan data tersebut kini dipegang oleh TNP2K.
Data angka kemiskinan yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut telah melalui berbagai tahapan, seperti pengumpulan data, pengolahan data, validasi data, hingga analisis data tersebut.
Data tersebut bukanlah data yang tiba-tiba muncul dari langit, bukan pula data yang timbul dengan hanya mengucapkan mantra “bim salabim”, semua itu butuh proses.
Bila data yang tersaji belum dapat memuaskan berbagai pihak, setidaknya semua pihak dapat menghargai proses yang membidani kelahiran data tersebut.
Sebagai insansi yang independen, Badan Pusat Statistik (BPS) tidak mempunyai kepentingan terhadap data yang disajikan.
Peran BPS layaknya seorang juru potret, memotret kondisi riil yang terjadi di masyarakat, dengan menangkap setiap fenomena dari kondisi yang terpotret tersebut, termasuk memotret kemiskinan langsung dari pengeluaran masyarakat.
Sesuai dengan visi BPS sendiri sebagai
pelopor data statistik terpercaya untuk semua.
(Sumber: Badan Pusat Statistik)