Masya Allah, si “Pria Es” itu!! Tiba-tiba dunia berputar, penuh bintang dan hitam… bukan karena “Pria Es itu. Tapi aku merasa sakit luar biasa di belakang kepala dan mendadak muntah.
Selanjutnya aku ada di rumah sakit. Kulihat ibu kostku di runag rawat , ia menangis melihatku. “Pria Es” itu juga ada disana. Ia mendekatiku.
“Maaf mbak saya yang menabrak mbak tadi pagi. Soal sepeda dan biaya rumah sakit, InsyaAllah saya yang tanggung. Mbak disini sampai sembuh."
"Saya juga sudah minta ijin ke pabrik. Maaf juga mbak, saya yang mengabari ibu kost. Dan kalau saya boleh tahu saya minta alamat mbak dan untuk ngabari orang tua mbak.
“Ya, terimakasih mas, saya nggak punya orang tua. Saya Cuma punya dua kakak laki-laki. Dinasnya di Kalimantan dan Sumatra. Nggak usah dikabari, nanti saya yang memberi tahu sendiri”. “Oo…”, hanya itu yang keluar dari mulutnya..
Malamnya “Pria Es” itu yang menjagaku. Hasil pemeriksaan siang tadi, aku mengalami gegar otak ringan. Saat menjagaku, ia hanya duduk di kejauhan. Sesekali bertanya apa yang aku perlukan dan apa yang aku keluhkan.
Terkadang ia berbicara dengan ibu kostku yang sudah sepuh. Beliau tinggal sendiri. Beliau adalah teman ibu saat mengajar di SD.
Setelah bapak dan ibu meninggal, kebetulan orang tua kami sama-sama anak tunggal, aku tinggal bersama dua kakakku hingga mereka ditempatkan di luar jawa.
Sebenarnya mereka ingin aku ikut mereka, tapi aku tak mau. Rumah besar peninggalan orang tua kami kontrakkan dan aku oleh kakakku dititipkan pada sahabat ibu sekalian menemani beliau.
Baru hari ke dua di RS, aku menanyakan keadaannya, ia hanya menjawab pendek dan tak perlu mengkhawatirkannya. Padahal kulihat, lengan tangannya penuh luka merah yang belum mengering. Mukanya lebam dan dagu diperban dan jalan pun pincang.
Dua malam ia tidur di lantai, jauh di ujung kamar kelas 1, dan selalu membelakangiku… agak aneh menurutku, ia pun sering membuang pandangan bila berbicara denganku…
Dua bulan sejak keluar dari RS , aku tak pernah melihatnya lagi. Tapi ia masih menitipkan uang pada bu Has, ibu kostku untuk biaya kontrolku.
Padahal aku tak berharap atau menuntutnya terus-menerus mengobati pengobatanku. Aku tak mau membebaninya, aku juga tahu kondisinya yang hanya berdagang kecil-kecilan.
Aku menyimpan uang pemberiannya. Ada niatku untuk mengembalikan padanya suatu hari.
Delapan bulan berlalu, aku sudah melupakan “Pria Es” itu. Tapi lewat bu Has, ia masih rajin menitipkan uang kontrol. Bu Has bilang pria itu ingin aku pulih seutuhnya.