Kemelut Carrefour

SAYA setuju dengan berbagai pendapat bahwa kisruh antara PT Bayu Jaya Lestari Sukses (BJLS), pengelola Palembang Square Mall (PS), dengan Carrefour Palembang bukan masalah politik. Murni soal hukum. Itu sebabnya, dalam menyelesaikan persoalan ini harus pula mengedepankan cara-cara hukum. Setiap pihak harus taat dengan asas-asas dan aturan-aturan hukum. Pihak yang jujur harus dilindungi hak-haknya agar ada kepastian hukum. Citra hukum di Indonesia tidak boleh semakin terpuruk.

Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dalam membahas soal ini. Untuk urusan “sebesar ini” fokus utama dan pertama adalah pada kontrak tertulis. Kontrak merupakan acuan yang harus dipegang.  Tujuannya tidak lain agar ada kepastian hukum dalam suatu perjanjian. Dalam aktivitas bisnis, kepastian hukum merupakan salah satu daya tarik untuk berinvestasi. Negara-negara yang aktivitas bisnisnya baik sangat mungkin dikarenakan sistem hukum dan kepastian hukumnya juga baik. Sebaliknya, negara-negara yang kepastian hukumnya “kadang-kadang pasti” sangat mungkin aktivitas investasinya juga menjadi unpredictable.

Negara yang tidak ada kepastian hukum menjadikan aktivitas bisnis beresiko tinggi. Business risk ini terkadang dimasukkan kedalam cost investasi. Akibat yang paling mungkin harga jual suatu produk baik barang ataupun jasa menjadi tinggi. Bukan juga mustahil para investor enggan masuk ke negara tersebut secara total. Diantara mereka malah merelokasi pusat-pusat bisnis ke negara lain yang memiliki kepastian hukum. Singapura diminati oleh banyak investor salah satu alasannya karena negeri ini memiliki kepastian hukum yang lebih baik ketimbang negara-negara tetangganya. Walhasil negara pulau ini kebanjiran investor yang memanfaatkan Singapura sebagai main office bagi berbagai aktivitas bisnisnya. Singapura berhasil menjadikan kepastian hukum sebagai modal awal mereka.

Dalam suatu hubungan hukum akibat sewa menyewa antara PT BJLS dengan Carrefour maka keduanya, beserta para lawyersnya, haruslah berpegang teguh dengan kontrak. Tidak hanya saling ngotot saja.  Secara sederhana kontrak dapat diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.
Jika mengikuti media, sebenarnya tidak ada masalah antara PT BJLS dengan pihak Carrefour. Kita yakin pada saat menandatangani kontrak kedua belah pihak “tertawa terbaha-bahak” karena dibenak masing-masing terbayang keuntungan yang bakal atau telah diperoleh. Pihak yang menyewakan menerima uang sewa, sedangkan pihak penyewa memperoleh tempat yang representatif untuk berusaha. Terbayang keuntungan-keuntungan yang bakal diperoleh.

Persoalan baru muncul ketika terjadi pergantian pemilik Palembang Square dimana raksasa retail Carrefour selama ini berdiri. Terjadi akuisisi PS dari pemilik lama PT BJLS oleh Lippo Karawaci Group. Pihak PT BJLS meminta Carrefour mengosongkan gedung lantai II dan III hingga batas waktu 14 Agustus 2009 pukul 00:00 WIB.  Pertanyaan hukumnya, apakah bisa secara sepihak, Carrefour dipaksa hengkang dari bangunan yang disewanya berdasarkan kontrak yang sah? Jawabnya bisa iya bisa juga tidak. Namun yang pasti kontrak yang telah dibuat oleh kedua belah pihak memang merupakan suatu perikatan yang dapat dihapuskan. Walaupun tentu saja penghapusan suatu perikatan harus memenuhi beberapa persyaratan.

Syarat Pembatalan
Mengacu kepada Pasal 1381 KUH Perdata bahwa suatu perikatan hapus karena: a) pembayaran, b) penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, c) pembaruan utang, d) perjum-paan utang atau kompensasi, e) percampuran utang, f) pembebasan utang, g) musnahnya barang yang terutang, h) kebatalan atau pembatalan, i) berlakunya syarat pembatalan, j) lewat waktu.

Saya akan memulainya dengan syarat pembatalan dikarenakan lewat waktu. Artinya, pihak Carrefour baru bisa diminta meninggalkan PS apabila telah lewat waktu dari yang diperjanjikan. Kontrak Carrefour dengan PT BJLS dalam berdagang di PS berlaku untuk 20 tahun yang akan berakhir pada 2023. Artinya, Carrefour memiliki hak untuk mempertahankan tempatnya sampai dengan 2023. Tidak bisa secara sepihak, begitu saja PT BJLS secara semena-mena mengusir pihak penyewa. Namun demikian, selama kontrak berjalan tentulah dapat dibatalkan atau batal demi hukum sepanjang berlakunya syarat pembatalan dari suatu perjanjian.

Dalam hubungan hukum antara Carefour dengan PT BJLS ada dua kemungkinan yang dijadikan dasar untuk “mengusir” Carrefour dari Palembang Square yaitu berlakunya syarat pembatalan atau lewat waktu. Secara tegas dinyatakan oleh pihak PT BJLS bahwa Carrefour telah memenuhi unsur syarat pembatalan perikatan yang telah mereka buat. Di antara syarat pembatalan itu bahwa Carrefour dalam menjalankan aktivitasnya tidak boleh melakukan pelanggaran perundang-undangan.

Carrefour pernah bermasalah dengan KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha). Dalam putusan Nomor Perkara No. 02/KPPU-L/2005 tentang Carrefour yang diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung bahwa betul Carrefour telah melakukan pelanggaran undang-undang terkait dengan persaingan usaha. Inilah yang menjadi dasar pihak PT BJLS untuk meminta Carrefour keluar dari PS. Walaupun tentu saja alasan ini masih dapat diperdebatkan juga. Misalnya, apakah memang pelanggaran undang-undang semacam ini yang dapat dijadikan persyaratan pembatalan perjanjian kedua belah pihak. Bukankah persoalan Carrefour dengan KPPU soal perdata dan telah pula terselesaikan karena Carrefour telah membayar denda sebesar Rp 1,5 Milyar pada tahun 2005.

Selain itu Carrefour yang dipersoalkan KPPU adalah Carrefour yang berlokasi di Jakarta, bukan Carrefour yang ada di Palembang. Jelas tidak ada kaitan antara Carrefour yang dinilai bermasalah oleh KPPU dengan Carrefour yang ada di kota Palembang. Putusan KPPU sama sekali tidak mengutak-atik Carrefour di daerah. Manajemen yang dinilai bersalah di Jakarta tidak otomatis mejadi karma bagi Carrefour yang ada di Palembang. Lagi pula, jikapun itu dianggap masalah, mengapa peringatan itu tidak dilakukan sejak lama. Terlalu jauh jarak antara 2005 ke tahun 2009 sekarang ini. Itu sebabnya jangan heran kalau ada yang punya feeling bahwa bukan ini masalah sebenarnya sebagai alasan pembatalan perjanjian. Ada persoalan lain.

Ada yang menduga bahwa masalah peralihan pengelolaan PS ke pihak lain itulah yang menjadi pangkal kemelut. Sedari awal antara PT BJLS dengan Carrefour merupakan mitra bisnis yang baik. Oleh karena hubungan baik itulah mengapa Carrefour bersedia berdagang di PS. Jika benar apa yang diungkapkan oleh media akibat Palembang Square Mall beralih pemilik dari PT BJLS kepada Lippo Karawaci Group. Artinya dikarenakan adanya “jual beli” itulah makanya muncul persoalan karena mengganggu hubungan mesra antara PT BJLS dengan pihak Carrefour.

Hukum juga telah mengantisipasi kemungkinan hal-hal seperti itu. Apabila terjadi penjualan terhadap objek yang disewa, tetap saja pihak penyewa yang jujur dilindungi oleh hukum, kecuali ada hal lain yang telah diperjanjikan. Itu sebabnya dikenal asas hukum Koop Break Geen Huur (jual beli tidak menghapuskan sewa-menyewa).  Artinya, pemilik suatu bangunan boleh saja menjual bangunan yang dimiliki kepada siapa saja yang dikehendakinya, namun terhadap mereka yang sedang menyewa tidak dapat diusir begitu saja semata-mata karena bangunan itu telah beralih kepada pemilik lain. Pertanyaannya apakah Carrefour merupakan pihak penyewa yang jujur? Ini yang perlu pembuktian secara akurat.

Pemerintah daerah yang terkait dengan komplek Palembang Square tentulah berkepentingan dengan persoalan ini. Menjadi kewajiban pemerintah menjaga iklim investasi yang  kondusif. Kehadiran para investor di Palembang karena ada kepercayaan terhadap pemerintah. Pemerintah harus melindungi kepentingan kedua belah pihak baik PT BJLS ataupun pihak Carrefour. Namun acuannya haruslah tetap kepada kontrak yang telah dibuat oleh kedua belah pihak. Pemerintah daerah harus mampu menjadi mediator agar persoalan ini tidak melebar “kemana-mana” tanpa arah. Kepentingan karyawan harus diutamakan. Jangan sampai kemelut Carrefour justru menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dapat berimplikasi macam-macam. Jika terjadi “keributan” pastilah akan menyeret pula pemerintah daerah yang mungkin awalnya “tak ada urusan” dengan kemelut ini. Itu sebabnya niat baik DPRD dan pemerintah kota Palembang mestinya disambut baik oleh pihak yang bersengketa.

Masyarakat hanya bisa berharap agar PT BJLS dan Carrefour dapat menyelesaikan kemelut ini secara arif. Sebagai pengusaha, maka keuntungan memang dicari. Namun haruslah berpegang kepada aturan-aturan bisnis yang berlaku umum. Apalagi rule of contract nya tertuang secara tertulis. Masing-masing pihak tidak boleh mencari-cari alasan dan menghalalkan segala cara untuk mengalahkan pihak lainnya. Memang sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan. Namun cost yang harus dikeluarkan jauh lebih mahal ketimbang penyelesaian melalui musyawarah. Itu sebabnya saya menyarankan kemelut Carrefour diselesaikan melalui penyelesaian sengketa diluar pengadilan saja.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved