Prada Lucky Tewas Dianiaya Senior

'Anak Saya Mati Sia-sia' Jerit Tangis Ibu Prada Lucky Antar Kepergian Anak, Teriak Minta Keadilan

Sepriana terus memeluk peti jenazah anaknya. Dengan suara bergetar dan air mata yang terus mengalir, Sepriana terus memohon. 

Editor: Fadhila Rahma
POS-KUPANG.COM/RAY REBON
PELUK PETI - Sepriana Paulina Mirpey memeluk peti jenazah anak kandungnya, Prada Lucky, Sabtu (9/8/2025). Prada Lucky, anggota Yonif TP 834/WM di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, NTT, meninggal diduga akibat dianiaya seniornya. 

Pernyataan Sepriana bukan sekadar ungkapan duka, tapi bentuk perlawanan terhadap sistem kekerasan yang kerap dianggap "tradisi". Dalam video yang viral, ia menangis sambil berkata:

“Saya mama kandung, saya melahirkan dia. Kalau kalian tidak proses semua pelaku, kalian bunuh saya ikut anak saya langsung!”

Baginya, tidak ada ruang untuk ampun atau pilih kasih. Semua yang terlibat harus diadili, tidak cukup hanya empat orang.

 “Kalian Hancurkan Saya Lebih dari Sekadar Membunuh”

Ada rasa perih yang tak bisa dijelaskan dengan kalimat. Dari komunikasi terakhir, Prada Lucky masih sempat menyapa sang ibu lewat pesan singkat:

“Mama, apa kabar? Saya kangen mama.”

Itu adalah pesan terakhir yang diterima Sepriana. Kini pesan itu jadi semacam pusaka terakhir, pengingat bahwa anaknya pernah hidup, pernah punya cinta, dan tidak layak mati seperti binatang yang dihajar ramai-ramai.

Apa yang Terjadi di Balik Barak?

Menurut laporan resmi ke Asintel Kasdam IX/Udayana, penganiayaan dilakukan oleh 20 prajurit senior. Mereka dibagi menjadi dua kelompok: satu menggunakan selang, yang lain menggunakan tangan kosong.

Beberapa nama berpangkat Letda, Sertu, Serda, dan Pratu. Meski sudah ada klarifikasi dari pihak militer bahwa pemeriksaan internal sedang berlangsung, Sepriana dan keluarga meminta pengusutan terbuka dan transparan.

Kasus Lama, Pola Berulang

Kematian Prada Lucky menambah daftar panjang kekerasan di tubuh militer.

Dalam dua dekade terakhir, berbagai kasus serupa pernah muncul—dari kekerasan fisik, perundungan, hingga penyiksaan.

Namun sebagian besar mengendap di balik dinding barak. Budaya “senioritas” yang kebablasan kerap menjadi alasan kekerasan dilegalkan secara informal.

“Saya Tidak Takut, Saya Ibu”

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved