Berita OKU Timur

Mengenal Tari Sada Sabay dalam Pernikahan Adat Komering Sumsel, Simbolik Cinta, Kesatuan 2 Keluarga

Inilah Tari Sada Sabay, sebuah tarian adat dari suku Komering, Sumatera Selatan, yang sarat makna dan menjadi penanda sakral.

|
Penulis: Choirul OKUT | Editor: pairat
Tribun Sumsel/Choirul
TARI ADAT KOMERING - Orang tua dari kedua mempelai menari berhadapan dalam Tari Sada Sabay, mengikuti irama kulintang yang mengatur setiap gerakan penuh makna, Minggu (01/06/2025). Ini simbol penyatuan dua keluarga dalam tradisi Komering yang diwujudkan lewat Tari Sada Sabay. 

SRIPOKU.COM, MARTAPURA - Berikut Tari Sada Sabay, sebuah tarian adat dari suku Komering, Sumatera Selatan, yang sarat makna dan menjadi penanda sakral dalam prosesi pernikahan adat.

Suara yang syahdu terdengar di pinggiran Sungai Komering, dimana denting lembut kulintang memecah kesunyian. Irama itu tak han ya menggoda telinga, tetapi juga menggugah rasa.


Di tengah alunan musik tradisional, sekelompok orang tua berdiri berhadapan di atas panggung. Mereka mulai menari perlahan.


Gerakan tangan mereka bertolak belakang arah kiri dan kanan namun terlihat saling melengkapi, seolah menari dalam satu napas.


Inilah Tari Sada Sabay, sebuah tarian adat dari suku Komering, Sumatera Selatan, yang sarat makna dan menjadi penanda sakral dalam prosesi pernikahan adat.

TARI ADAT KOMERING - Orang tua dari kedua mempelai menari berhadapan dalam Tari Sada Sabay, mengikuti irama kulintang yang mengatur setiap gerakan penuh makna, Minggu (01/06/2025). Ini simbol penyatuan dua keluarga dalam tradisi Komering yang diwujudkan lewat Tari Sada Sabay.
TARI ADAT KOMERING - Orang tua dari kedua mempelai menari berhadapan dalam Tari Sada Sabay, mengikuti irama kulintang yang mengatur setiap gerakan penuh makna, Minggu (01/06/2025). Ini simbol penyatuan dua keluarga dalam tradisi Komering yang diwujudkan lewat Tari Sada Sabay. (Tribun Sumsel/Choirul)


Tari Sada Sabay bukan sekadar hiburan bagi para tamu undangan. Ia adalah bahasa batin, ritual simbolik yang menyampaikan pesan cinta, penerimaan, dan kesatuan dua keluarga besar.


Dalam tradisi masyarakat Komering, tarian ini menjadi momen penting yang menandai pengangkatan menantu sebagai bagian dari keluarga inti bukan lagi sebagai orang asing, melainkan sebagai anak kandung sendiri.


“Gerakan tari ini tidak sembarangan. Setiap anggukan kepala, setiap ayunan tangan, mengikuti irama kulintang yang berpanduan pada gong utama. Gong itulah ‘komando’ gerakan,” tutur H. Leo Budi Rachmadi SE, Ketua Umum Jaringan Masyarakat Adat Komering (JAMAK) Indonesia sekaligus Ketua Lembaga Pembina Adat Kabupaten OKU Timur, saat ditemui dalam sebuah prosesi adat di Martapura, Minggu (01/06/2025).


Leo menjelaskan bahwa tarian ini adalah pengejawantahan filosofi hidup masyarakat Komering yang menjunjung tinggi keselarasan, sopan santun, dan gotong royong.


Menurutnya, gerakan tangan yang saling bertolak belakang bukan mencerminkan pertentangan, melainkan simbol dari dua entitas yang berbeda namun berjalan menuju satu tujuan: menyatu dalam keluarga.


“Kalau tangan ayah mempelai pria bergerak ke kiri, maka tangan ayah mempelai wanita bergerak ke kanan. Ini menandakan bahwa dalam perbedaan, ada kesatuan arah. Itu falsafah Komering,” jelasnya.


Tak hanya itu, adat pun mengatur secara ketat bagaimana posisi tangan para penari. Para ayah dari kedua mempelai mengangkat tangan hingga di atas bahu, dengan ketiak terbuka sebagai simbol kejujuran dan keterbukaan.


Sebaliknya, para ibu menahan tangan hanya sampai setinggi bahu tanpa memperlihatkan ketiak simbol kesopanan dan penjagaan aurat dalam adat.


Detail seperti ini menunjukkan betapa adat Komering sangat memperhatikan etika dan simbolisme dalam setiap ekspresinya.


Di antara para penari itu, berdirilah sepasang pengantin muda di belakang orang tua masing-masing. Di tangan mereka tergenggam sepasang kipas, bukan sebagai hiasan semata, tetapi sebagai lambang kesopanan dan kesiapan untuk mengabdi.


Posisi berdiri mereka bukan tanpa makna: di belakang orang tua, menunjukkan penghormatan dan pengakuan bahwa kini, orang tua pasangan adalah orang tua mereka juga.


“Pengantin berdiri di belakang mertua sebagai bentuk kerendahan hati. Mereka belum sepenuhnya masuk ke dalam keluarga besar sampai tarian ini selesai. Setelah itu, barulah mereka diakui secara adat sebagai anak kandung dari keluarga pasangan,” ujar Leo.


Dalam budaya Komering yang kaya akan simbol dan makna, prosesi ini adalah puncak emosi dalam pernikahan adat. Tidak sedikit keluarga yang menitikkan air mata saat tarian ini berlangsung, bukan karena sedih, tetapi karena haru inilah momen sakral di mana dua keluarga bersatu secara batin dan adat.


Meski zaman telah berganti, dan globalisasi merambah hingga pelosok desa, Tari Sada Sabay tetap bertahan sebagai pelindung nilai-nilai luhur masyarakat Komering.


Di tengah derasnya arus budaya luar, tarian ini menjadi jangkar yang meneguhkan identitas bahwa mereka adalah masyarakat yang menjunjung tinggi kasih sayang, penerimaan, dan harmoni dalam kehidupan berkeluarga.


Para tokoh adat kini giat mengajarkan tarian ini kepada generasi muda, bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai media pendidikan karakter.


“Anak-anak muda perlu tahu bahwa ini bukan sekadar tarian. Ini adalah doa dan pengharapan. Ini adalah nilai-nilai kehidupan yang dibalut dalam gerak,” kata Leo.


Di balik keindahan geraknya, Tari Sada Sabay menyimpan nilai yang jauh lebih dalam bahwa dalam keluarga, tidak ada yang ditinggikan atau direndahkan. 


Semua saling melengkapi, saling menerima, dan berjalan bersama dalam satu tujuan. Sebuah filosofi yang barangkali sederhana, namun begitu relevan dan abadi.


Dan saat kulintang terus berdentang di bawah langit senja, satu pesan tetap mengalir di antara langkah para penari dalam adat Komering, cinta bukan hanya milik dua insan, tetapi milik dua keluarga yang kini telah menjadi satu.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved