Rekam Jejak Brigjen Dedy Murti dan Brigjen Dwi Agus 2 Jenderal Termuda Polri, Sama-sama Akpol 1999

Inilah rekam jejak 2 jenderal termuda Polri yakni, Brigjen Pol Dedy Murti Haryadi dan Brigjen Pol Dwi Agus Prianto.

Editor: adi kurniawan
Handout
Inilah rekam jejak 2 jenderal termuda Polri yakni, Brigjen Pol Dedy Murti Haryadi dan Brigjen Pol Dwi Agus Prianto. 

SRIPOKU.COM -- Inilah rekam jejak 2 jenderal termuda Polri yakni, Brigjen Pol Dedy Murti Haryadi dan Brigjen Pol Dwi Agus Prianto.

Brigjen Pol Dedy Murti Haryadi dan Brigjen Pol Dwi Agus Prianto pecah bintang dalam upacara kenaikan pangkat yang dipimpin Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, Sabtu (28/9/2024). 

Brigjen Pol Dedy Murti Haryadi dan Brigjen Pol Dwi Agus Prianto merupakan sama-sama jebolan Akademi Kepolisian (Akpol) 1999. 

Brigjen Pol Dedy Murti Haryadi merupakan pati kelahiran 15 Desember 1977. 

Artinya, Brigjen Pol Dedy Murti Haryadi pecah bintang pada usia 46 tahun. 

Kemudian, Brigjen Pol Dedy Murti Haryadi juga menjadi pati Polri yang mendapat promosi jabatan. 

Jabatan lama Brigjen Pol Dedy Murti Haryadi adalah Koorspripim Polri, kini diangkat jadi penyidik Tindak Pidana Utama Tingkat II Bareskrim Polri. 

Selama kariernya di kepolisian, Dedy sudah menempati berbagai posisi strategis.

Sebelum Koorspripim Polri, Dedy bertugas sebagai Wakil Direktur Reskrim Polda Metro Jaya.

Ia juga penerima tanda kehormatan Bintang Bhayangkara Nararya dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 1 Juli 2024 lalu. 

Sementara Brigjen Pol Dwi Agus Prianto juga bernasib mujur di kepolisian.

Lulusan Akpol 1999 kelahiran 30 Agustus 1977 itu juga pecah bintang 1.

Usia Brigjen Pol Dwi Agus Prianto lebih tua dibanding Dedy.

Saat pecah bintang, Brigjen Pol Dwi Agus Prianto sudah berumur 47 tahun.

Itu menegaskan, gus merupakan salah satu jenderal paling muda di Korps Bhayangkara. 

Brigjen Pol Dwi Agus Prianto juga pernah menempati beberapa posisi strategis di Polri seperti yang dialami teman angkatannya itu.

Brigjen Pol Dwi Agus Prianto pernah bertugas sebagai Kapolres Tegal.

Agus pernah menduduki posisi wakil kepala Sekolah Polisi Negara (SPN) Purwokerto.

Kabag Penum Divhumas Polri Kombes Erdi A. Chaniago menyampaikan,  selain upacara kenaikan pangkat, Kapolri memimpin serah terima jabatan pati Polri. 

”Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo memimpin upacara pelantikan dan serah terima jabatan pejabat utama Mabes Polri dan para Kapolda, serta upacara laporan kenaikan pangkat ke dan dalam golongan pati Polri,” kata perwira menengah Polri dengan tiga kembang di pundak tersebut. 

Rekam jejak Brigjen Pol Dedy Murti Haryadi

Saat masih berpangkat Kombes,  Dedi Murti Haryadi menjabat Pimpinan Spripim Polri (Koorspripim).

Tugasnya adalah adalah unsur pelayanan yang bertugas membantu Kapolri/Wakapolri dalam melaksanakan tugas kedinasan dan tugas khusus dari Kapolri/Wakapolri.

Spripim Polri berada pada tingkat Mabes Polri yang berada di bawah Kapolri.

Sedangkan Pada tingkat Kepolisan Daerah disebut Spripim Polda.

Pimpinan Spripim Polri disebut Koorspripim dan dijabat oleh Perwira Menengah berpangkat Komisaris Besar Polisi. 

Dilansir wikipedia, dalam melaksanakan tugas, Spripim Polri menyelenggarakan fungsi:

1. pelaksanaan tata usaha yang menyangkut keperluan Kapolri/Wakapolri untuk melaksanakan tugas kedinasan

2. penyiapan dan pengkoordinasian bahan-bahan yang diperlukan Kapolri/Wakapolri dalam menghadapi tugas sehari-hari

3. pengamanan pribadi Kapolri/Wakapolri serta kegiatan protokoler

4. pelaksanaan urusan dalam untuk mendukung kelancaran kegiatan sehari-hari di lingkungan Spripim Polri

Profil Brigjen Pol Dedy Murti Haryadi

Dedy Murti Haryadi, S.I.K., M.Si. lahir 15 Desember 1977.

Ia adalah seorang Pati Polri yang sejak 20 September 2024 mengemban amanat sebagai Penyidik Tindak Pidana Utama Tk II Bareskrim Polri.

Dedy, lulusan Akademi Kepolisian tahun 1999 ini berpengalaman dalam bidang Reserse.

Jabatan terakhirnya adalah Koorspripim Polri.

Riwayat Jabatan

Kanit Reskrim Polsek Metro Penjaringan Polres Metro Jakarta Utara Polda Metro Jaya.

Kasat Reskrim Polres Metro Bekasi Kota Polda Metro Jaya 2011

Kanit II Subdit V/Sumdaling Ditreskrimsus Polda Metro Jaya tahun 2014

Pamen Reskrimsus Polda Metro Jaya 2015

Pamen Polda Metro Jaya 2015

Kasubdit I/Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya 2017

Wadirreskrimum Polda Metro Jaya 2019

Koorspripim Polri 2020

Penyidik Tindak Pidana Utama Tk II Bareskrim Polri.

Rekam jejak Brigjen Pol Dwi Agus Prianto

Dwi Agus Prianto meraih gelar Doktor Ilmu Hukum, Universitas Jayabaya Jakarta saat berpangkat Kombes.

Dwi Agus Prianto, S.I.K.,M.H meraih gelar doktor dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,90 dengan predikat cumlaude.

Yudisium digelar di Ruang Sidang/Ruang Yudisium Gedung Rektorat Lantai V Program Pascasarjana Universitas Jayabaya, Jakarta, Jumat (10/3/2023).

Yudisium dipimpin Rektor Universitas Jayabaya Prof H Amir Santoso, Moc.Sc.,Ph.D.

Turut dihadiri Direktur Program Pascasarjana Dr H  Yuhelson,S.H.,M.H.,M.Kn, Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Prof Fauzie Yusuf Hasibuan,S.H.,M.H., Wakil Direktur I Program Pascasarjana Dr Ramlani Lina Sinaualn,S.H.,M.H.,M.M dan Sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Hukum Dr. Maryano,S.H.,M.H.,CN.

Dalam yudisium tersebut, delapan mahasiswa lulus Program Doktor Ahli Hukum.

Kombes Pol Dwi Agus Prianto menempuh program Doktor Ilmu Hukum selama enam semester atau tiga tahun.

Perwira yang pernah bertugas sebagai Kepala Kepolisian Resor Tegal dan kala itu menjalani tugas di Badan Intelijen Negara (BIN).

Ia menyusun disertasi berjudul Formulasi Penundaan Penanganan Perkara Pidana Dalam Sengketa Prayudisial Untuk Mewujudkan Kepastian Hukum dengan dipromotori oleh Prof Fauzie Yusuf Hasibuan, S.H.,MHum.

Dalam paparan singkatnya, Dwi Agus Prianto menyebut, perkara yang memuat prajudisial geschil terdapat perlakuan penanganan yang berbeda antara perkara satu dengan lainnya, tidak ada keseragaman dan kepastian hukum dalam penanganan prajudisial geschil.

Dampaknya banyak aduan dan komplain dari masyarakat karena merasa diperlakukan tidak adil dan tidak mendapat perlindungan hukum.

Dalam beberapa literatur dan yurisprudensi putusan peradilan, banyak sekali argumentasi para pihak berperkara yang mendalilkan bahwa perkara yang dihadapinya seharusnya tidak diperiksa terlebih dahulu dalam lingkup peradilan pidana, melainkan harus diperiksa diperadilan perdata terlebih dahulu karena memuat sengketa prayudisial.

Masing-masing institusi peradilan di atas pada dasarnya menerapkan hukum dan melakukan penindakan terhadap pelanggar hukum sesuai dengan bidang kewenangannya.

Namun pada praktiknya, penerapan hukum dan penindakan terhadap pelanggar hukum seringkali melibatkan beberapa bidang kewenangan karena suatu perbuatan mengandung unsur-unsur yang diatur pada dua norma hukum yang berbeda.

Persinggungan antar norma hukum inilah yang selanjutnya menimbulkan ‘perselisihan pra-yudisial’, yaitu pada waktu yang bersamaan baik dalam lingkungan peradilan yang sama atau berbeda, terjadi titik singgung pemeriksaan antar perkara.

Adanya pertemuan dua norma hukum yang berbeda yang ditangani dalam proses peradilan berbeda inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai: (1) perkara manakah yang harus diputuskan lebih dahulu; (2) perkara manakah yang seharusnya ‘ditunda’ atau ‘dihentikan’ atau ‘ditangguhkan’; dan (3) sebagai alternatif, dapatkah kedua perkara dilakukan pemeriksaan secara bersamaan.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Kejaksaan Agung Republik Indonesia juga sudah menerbitkan Surat Edaran nomor: B/230/E/EJP/01/2013, tanggal 22 Januari 2013, perihal penanganan perkara pidana umum yang obyeknya berupa tanah.

Dalam surat edaran tersebut ditegaskan agar para Jaksa Penuntut Umum tidak tergesa-gesa menerbitkan P21 terhadap perkara pidana tanah yang ditanganinya.

Apabila terkait obyek perkara tersebut terdapat gugatan perdata atau TUN agar JPU menunda atau menangguhkan penanganan perkara pidananya menunggu hingga ada putusan perkara perdata/TUN nya.

“Apabila kita cermati, semangat dari substansi surat edaran Jaksa Agung tersebut tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan hukum berupa adanya kepastian hukum bagi masyarakat yang menghadapi perkara prejudicial geschil, agar perkaranya tidak terkatung-katung,” tutur Dwi Agus Prianto yang kini berhak menyandang gelar Doktor di depan namanya.

Ketika perkara prayudisial dikembalikan kepada penyidik, maka tahap selanjutnya penyidik akan menindaklanjuti dengan melakukan penanganan perkara prayudisial tersebut.

Permasalahan yang dihadapi, pada tahap penyidikan hingga saat ini belum ada aturan yang dapat dijadikan rujukan dalam penundaan perkara prayudisial pada tahap penyidikan.

Lebih lanjut dijelaskan olehnya, dari hasil penelusuran produk hukum dilingkungan Polri terkait penanganan perkara yang belum dapat dilimpahkan kepada JPU, baru ditemukan adanya Surat Edaran Kapolri nomor: SE/7/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018, tentang Penghentian Penyelidikan dan Surat edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018, tentang Penerapan Keadilan Restorative dalam Penanganan Perkara Pidana.

Merujuk pada substansi kedua surat edaran tersebut secara yuridis belum ditemukan skema tindakan hukum terhadap perkara prajudisial.

Akibatnya timbul keraguan dikalangan penyidik ketika akan menerapkan skema penundaan perkara prajudusial.

Kekosongan hukum ini pada tahap selanjutnya akan berpotensi memicu terjadinya ketidakpastian hukum, karena adanya perlakuan yang berbeda dalam menangani perkara yang memuat sengketa prayudisial antara penyidik satu dengan lainnya.

Hal ini tentunya sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Moeljatno, bahwa kepastian hukum setidak-tidaknya mempersyaratkan adanya sebuah hukum positif dan substansinya dirumuskan dengan jelas.

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, Dwi Agus Prianto, berpandangan,  untuk mendekati terwujudnya kepastian hukum dalam penanganan perkara prajudisial, dibutuhkan konsep ideal formulasi penundaan penanganan perkara pidana dalam sengketa prayudisial.

Konsep ideal tersebut secara sistematis diperoleh melalui upaya penemuan hukum yaitu proses konstatering, kualifikasi, dan konstituir yang mana hasil dari proses ini akan membuat aparat penegak hukum bertemu pada beberapa kemungkinan jawaban yaitu: (1) menunda atau tidak menunda bergantung pada ada atau tidaknya ketergantungan antara dua perkara; atau (2) menunda atau tidak menunda karena walaupun apgakkum merasa tidak diperlukan putusan lain, tetapi para pihak mengajukan perkara di pengadilan lainnya; (3) tidak perlu ditunda karena antar putusan tidak terkait sehingga tidak akan muncul putusan kontradiktif.

Ketiga langkah tersebut diharapkan mampu mendorong penegakan hukum yang sistematis oleh apgakkum sehingga mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

“Ke depan, untuk mewujudkan kepastian hukum dalam penanganan perkara prajudisial sedini mungkin, maka idealnya peraturan perundang-undangan yeng mengatur tentang penundaan penanganan perkara prajudisial pada tahap penyidikan harus dipersiapkan dengan baik. Karena tahap penyidikan ini merupakan pintu gerbang awal masuknya perkara pidana kedalam sistem peradilan pidana Indonesia,” paparnya.

Karena saat ini di lingkungan Polri belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pedoman dalam penundaan penanganan perkara prjudisial, maka ia menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:

(1) Polri dapat melakukan amandemen terhadap Perkap No 06 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana; dan peraturan kabareskrim No 1 tahun 2022 tentang standart operasional prosedur pelaksanaan penyidikan tindak pidana, untuk selanjutnya memasukkan ketentuan mengenai mekanisme penundaan penanganan perkara prajudisial kedalam substansi peraturan baru tersebut;

 (2) sambil menunggu proses amandemen terhadap peraturan diatas, untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, Kapolri dapat menerbitkan surat edaran tentang pedoman penundaan penanganan perkara prajudisial. Sehingga penyidik memiliki pedoman yang jelas ketika menangani perkara prayudisial.

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved