Berita Sriwijaya FC
Sosok Ajie Syahrial Bastari, Manajer Sriwijaya FC Cucu Mantan Gubernur Sumsel dan Mantan Kapolda
Tim yang tengah menjalani TC di Yogyakarta ini ternyata telah memiliki Manajer Sriwijaya FC bernama Ajie Syahrial Bastari
Penulis: Abdul Hafiz | Editor: Abdul Hafiz
Tercatat tanggal kelahiran Ahmad Bastari pada tanggal 3 Syawal tahun 1910 (masehi) dan ketika mulai masuk sekolah HIS (Hollands Inlandse School) di Palembang diubah menjadi tanggal 3 Oktober 1912.
Berkat bantuan Ki Agus Mohammad Husein, tahun 1920 Ahmad Bastari bisa masuk HIS (Hollands Inlandse School) di daerah Kebun Duku, Palembang dan lulus bulan Juni 1927. Pada kelas tujuh, Ahmad Bastari mulai mengenal politik dengan mendirikan semacam partai dengan nama Partai Kelas Tujuh dalam rangka melawan beberapa orang keturunan Ambon di sekolah tersebut.
Salah satu aktivitasnya adalah membuat semacam selembaran mingguan yang berisi bermacam-macam berita baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang selalu menyindir pihak Pemerintah Kolonial.
Selanjutnya Ahmad Bastari melanjutkan pendidikan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Palembang. 2 tahun di MULO Palembang, Ahmad Bastari pindah ke MULO 1 Weltevreden di Jakarta. Di Jakarta, Bastari sering menghadiri rapat-rapat yang diadakan partai-partai politik di gang kenari dan tempat-tempat lainnya. Selain itu Bastari bergabung juga dengan Pandu Pemuda Sumatra (PPS), Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) serta Indonesia Muda dan menjadi Komisaris cabang MULO.
Setelah menamatkan MULO, Bastari meneruskan sekolah AMS di Jalan Hospitaalweg (Jl. Abdurrahman Saleh) dan kemudian pindah ke MOSVIA, Bandung. Di Bandung, kegiatan politik terus dilanjutkan dan menjadi wakil Ketua Indonesia Muda cabang Bandung. Namun kegiatan politik tersebut harus dihentikan karena diancam dikeluarkan dari Mosvia oleh direktur Mosvia Mr. Cassutto. Dari Mosvia Bandung, Bastari pindah ke Mosvia Vereeniging di Magelang dan tamat pada bulan Mei 1935.
Dimulai sebagai pegawai sementara di kantor Asisten Residen Baturaja bulan Juni 1935 dan kemudian akibat kegiatan politik, Bastari dimutasi kedaerah Banyuasin (daerah lapangan terbang Talang Betutu). Di akhir tahun 1941 ketika Jepang menginvasi Palembang melalui Talang Betutu, Bastari dipindahkan ke Muara Enim dan setelah Jepang mulai menduduki Palembang bulan Februari 1942, Bastari ditugaskan kembali di lapangan terbang Talang Betutu, Banyuasin.
Kemudian karier Bastari sebagai Polisi dimulai dengan mendaftarkan diri dan mendapat pangkat Keibu dan menjadi Kepala Polisi di Lahat yang selanjutnya mengikuti Dikoto Keisatsu Gakko (Sekolah Tinggi Kepolisian) untuk seluruh Sumatra di Padang.
Setelah Jepang kalah, dari Lahat Bastari kemudian menjadi Kepala Polisi seluruh Palembang Hulu sampai Lubuklinggau sampai periode sebelum perjanjian Linggarjati. Berdasarkan perintah Dokter A.K. Gani, Bastari ditunjuk sebagai Kepala Polisi Negara di Sumatera Utara dan Timur termasuk Medan guna mempersiapkan hasil perjanjian Linggarjati. Belanda ternyata melanggar perjanjian tersebut dan Bastari ditahan beserta seluruh anak buahnya dan kemudian diusir ke Palembang.

source: https://id.wikipedia.org/wiki/Achmad_Bastari#/media/Berkas:Achmad_Bastari.jpg
Baca juga: Jadwal Kick-off Liga 2 Dipercepat, Launching Tim Sriwijaya FC Masih Belum Jelas
Akibat didudukinya Palembang dan desa Campang Tiga oleh NICA, Bastari terpaksa bergabung dengan perjuangan republik di Lampung dan menjalankan fungsi sebagai Kepala Polisi Negara di Lampung dan turut berjuang dengan kesatuan tentara di front depan untuk berjuang menghadapi NICA.
Dari Lampung, Bastari ditunjuk sebagai Kepala Polisi Keresidenan Jambi sampai periode Belanda merebut Yogyakarta yang menahan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Bastari segera bergabung dengan Kolonel Abundjani mundur ke hulu Batanghari atau Muara Tebo.
Di dalam pengungsian, Bastari menjadi pembantu Residen dalam upaya membangun kembali Pemerintahan Keresidenan Jambi di daerah gerilya. Disanalah muncul usaha percetakan uang darurat yang sangat dikenal dengan istilah Uang Hitam dari Jambi.
Bastari diangkat menjadi Administratur Keuangan dan Percetakan Negara. Usaha tersebut dilakukan sampai bulan Juli 1949 dan terpaksa dihentikan ketika Belanda menyerbu Muara Tebo. Dari Muara Tebo, perjuangan terpaksa dipindahkan ke Muara Bungo (2 bulan) dan kemudian pindah ke dusun Tantau Ikil di hulu sungai Jujuhan dekat dengan Sumatera Barat.
Perjuangan di Jambi dilakukan sampai tahun 1950. Bulan April 1950, Bastari mendapat jabatan sebagai Kepala Polisi Provinsi Sumatra Tengah yang terdiri dari daerah Sumatera Barat, Jambi, dan Riau. Tahun 1952 Bastari dipindahkan ke Pusat Kepolisian Negara di Jakarta dan memimpin bagian Hukum.
Dilanjutkan pendidikan kepolisian di Hendon Police College London di Inggris, diteruskan studi banding ke Italia, Belanda, dan Skotlandia. 7 bulan kemudian pulang ke tanah air, Bastari kembali ke Palembang untuk menjabat Kepala Polisi Provinsi Sumatra bagian Selatan (mencakup Sumsel, Bengkulu, Lampung, dan Babel) sampai tahun 1954. Selanjutnya Bastari dipercaya untuk menjabat sebagai Kepala Polisi Jawa Tengah termasuk Yogyakarta selama hampir 5 tahun.
Di awal masa jabatan sebagai Kapolda Jawa Tengah & Yogyakarta tersebut, Bastari sudah mendapatkan tugas membantu menumpas pemberontakan komunis yang berpusat di Merapi-Merbabu Complex (MMC), kemudian juga gerakan Kartosuwiryo dan Angkatan Umat Islam (AUI) yang fanatik, serta gerakan pengacauan oleh eks Tentara Pelajar (Ex TP).
Pelatih Sriwijaya FC Bantah Adanya Derby Sumsel, Coach Azul: Isu Dari Mana Itu |
![]() |
---|
Ibrahim Bahsoun Gagal Dikontrak Sriwijaya FC, Mengaku Diperlakukan Tidak Baik |
![]() |
---|
Sudah 6 Pelatih Gagal Bawa Sriwijaya FC Promosi ke Liga Utama, Coach Azul Tak Targetkan Liga 1 |
![]() |
---|
Racikan Ala Head Coach Zulkifli, Sriwijaya FC Dipenuhi Pemain Muda, Arungi Liga 2 Musim 2025/26 |
![]() |
---|
Sriwijaya FC Bersiap Gelar Launching Akbar Akhir Agustus, Libatkan Pecinta Elang Andalas |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.