Mimbar Jumat: Fenomena Cinderella Tanpa Sepatu Kaca

Kasus Cinderella yang sedang viral di media sosial seharusnya mampu menjadi informasi penting bahwa pergaulan muda-mudi masa kini sedang tidak baik

Editor: adi kurniawan
Handout
Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah, M.Ag Dirda LPPK Sakinah Kota dan Dosen UIN Raden Fatah Palembang 

Salah satu ciri perempuan yang menjaga kehormatan adalah berhijab. Semua bagian tubuh perempuan adalah keindahan, karenanya dia merupakan aurat yang harus dijaga dan dipelihara dengan syariat-Nya.

Menutup aurat atau berhijab merupakan bentuk pemuliaan perempuan yang telah disyariatkan dalam al-Qur’an dan sunnah.

Aturan berpakaian yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta melambangkan kebaikan iman. Pernyataan ini bukan hendak mendeskriditkan perempuan yang belum menutup aurat dan mengatakannya tidak baik.

Namun dalam perkara ini, hijab merupakan cermin ketaatan kepada Allah SWT, karena berhijab adalah perintah-Nya. Apabila meninggalkan perintah bermakna bahwa ia telah tersesat dan mendurhakai Allah. Firman Allah:

“Tidaklah patut bagi mukmin dan tidak (pula) bagi mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu
ketetapan, kemudian mereka mempunyai pilihan (yang lain) tentang urusan mereka dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata (Q.S. al-Ahzab, 36). Jika mau meneladani ketaatan perempuan awal yang berhijrah, maka mereka segera menutup aurat setelah turunnya perintah hijab (Q.S. al- Nur, 31), meskipun harus merobek kain panjang/ baju mantel atau apapun yang mereka punya untuk kemudian menggunakannya sebagai khimar.

Selain sebagai simbol ketaatan, hikmah mengenakan hijab adalah berhubungan dengan upaya menjaga kesucian diri. Hijab mampu menjaga perempuan dari tatapan liar dan keisengan laki-laki, mengidentifikasinya sebagai perempuan muslimah, menggiring pemakainya kepada akhlaq karimah, serta dapat melindunginya dari fenomena alam seperti debu dan terik matahari.

Dalam aturan mengenakan hijab, harus mampu menutupi seluruh tubuh dan perhiasan yang digunakan dari pandangan laki-laki yang bukan mahram, tidak ketat, tidak tembus pandang dan tidak berlebihan serta tidak menampakkan perhiasan Sabda Rasul:

“Ada dua golongan ahli neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, yaitu sekelompok orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuk manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya telanjang, mereka berjalan melenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak bisa mencium aromanya.

Dalam konteks sosial di masyarakat, jilbab tidak hanya dipandang sebagai persoalan agama atau keyakinan, tetapi sangat terkait dengan poblematika sosial.

Hal ini bisa dilihat dalam fenomena saat perempuan tersandung kasus pidana. Semula pada kesehariannya perempuan tersebut tidak menggunakan jilbab namun saat tertangkap aparat secara spontan bergegas mengenakan hijab.

Fenomena lainnya adalah kasus peminta-minta, demi mencari simpati dan mendapatkan sumbangan, tidak sedikit dari mereka yang memilih menggunakan hijab.

Begitupun perempuan yang berpropesi sebagai pencuri, jilbab biasanya mereka gunakan sebelum melakukan aksi kejahatan.

Selain agar tidak mudah dikenali, memakai jilbab dimaksudkan untuk mempermudah aksi dan sebagai tempat menyimpan hasil curian.

Jilbab juga dianggap sebagai senjata untuk memancing kelengahan korban. Karena korban akan menganggap hijab yang dikenakan sebagai simbol dari perempuan baik-baik sehingga tidak perlu diwaspadai.

Menurut Quraish Shihab menggunakan hijab, perintahnya ditujukan hanya kepada perempuan merdeka bukan hamba sahaya.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved