Mimbar Jumat
Mimbar Jumat: Belajar Ridho Dari Nabi Ibrahim AS
Ridha merupakan sikap penerimaan secara totalitas dan dengan penuh kelapangan bathin terhadap segala ketentuan Allah Swt.
Oleh: H John Supriyanto
SRIPOKU.COM -- KETIKA setiap peristiwa yang terjadi dipahami sebagai sebuah takdir, maka sikap paling arif terhadapnya adalah ridha. Ridha merupakan sikap penerimaan secara totalitas dan dengan penuh kelapangan bathin terhadap segala ketentuan Allah Swt. Buah dari keridhaan adalah ‘baik sangka’ (husn azh-zhann) dan keyakinan bahwa ada hikmah di balik setiap peristiwa.
Ridha adalah puncak titik temu dari tiga sifat mulia yang menentukan kualitas beragama seseorang, yakni ikhlash, sabar dan syukur yang ketiganya sesungguhnya merupakan sumber persoalan-persoalan psikologis kemanusiaan. Di sinilah urgensi meneladani Nabi Ibrahim as. dalam konteks ibadah haji dan qurban menjadi sangat relevan. Beliau adalah sosok pribadi yang memiliki tingkat kematangan spiritual yang sangat luar biasa, yakni ikhlash yang luar biasa; syukur yang luar biasa; dan juga sabar yang luar biasa.
Ikhlash adalah syarat penting keshalihan aqidah dan dalam hal ini Nabi Ibrahim as. merupakan rujukan utama ketauhidan bagi para nabi dan rasul sesudahnya, sehingga beliau digelari “Abu at-Tauhid” (Bapak Monoteisme). Ditegaskan dalam Qs. an-Nisa’ : 125 : “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya pada Allah sedang diapun mengajarkan kebaikan dan ia mengikuti millah Ibrahim yang lurus? Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil-Nya”.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:
Dalam kitab-kitab tafsir dijelaskan bahwa seorang yang “mukhlish” adalah yang berbuat kebaikan tanpa berkepentingan sedikitpun terhadap makhluk. Ia tidak membutuhkan kebaikannya diketahui oleh orang lain, apalagi untuk disanjung dan dipuji. Ia meyakini bahwa Allah Swt. mengetahui sekecil apapun kebaikan yang ia lakukan, sehingga seorang yang ikhlash selalu merahasiakan dan menutupi kebaikan. Tidak hanya itu, orang yang telah mencapai puncak keikhlasan, juga segera mampu melupakan segala kebaikannya. Sebab, selain dapat menumbuhkan sifat ‘ujub dan takabbur, dengan selalu mengingat kebaikan dikhawatirkan akan merusak nilai-nilai keikhlasan dan karena hakikat keikhlashan adalah merahasiakan kebaikan.
Nabi Ibrahim as. juga digambarkan oleh Al Qur’an sebagai sosok hamba yang pandai bersyukur. Misalnya diungkap dalam Qs. an-Nahl : 120-121 : “Sesungguhnya Ibrahim adalah imam yang menjadi teladan yang patuh pada Allah dan hanif serta Ia tidak termasuk orang yang musyrik. Ia bersyukur atas anugerah-Nya, Allah memilih dan menuntunnya ke jalan yang lurus”. Ketaatan yang paling tinggi nilai dan kualitasnya adalah ketaatan yang dibangun atas dasar rasa syukur kepada Allah Swt.
Hakikat makna syukur adalah kelapangan dan kegembiraan bathin dalam menerima setiap anugerah Allah Swt. Puncaknya adalah tidak hanya terhadap anugerah Allah Swt. yang berupa nikmat dan kesenangan, tetapi juga terhadap semua anugerah-Nya yang mungkin menurut pandangan manusia adalah sesuatu yang menyakitkan, seperti bencana, kehilangan, musibah, penyakit dan lain sebagainya.
Allah Swt. adalah sumber dari segala kebaikan, karena segala sesuatu yang berasal dan bersumber dari-Nya adalah bernilai kebaikan. Sesuatu yang berasal dari Allah Swt. dan kemudian dianggap buruk oleh manusia pada dasarnya adalah klaim sepihak dan persepsi yang diciptakan sendiri oleh pikiran manusia. Hal ini tentu disebabkan karena keterbatasan pengetahuan dan daya pikir manusia yang belum mampu mengungkap rahasia-rahasia kebaikan dibalik setiap peristiwa.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Selain teladan dalam sikap ikhlash dan syukur, Nabi Ibrahim as. juga sosok teladan dalam sikap sabar yang dalam hal ini sudah benar-benar teruji. Beliau adalah satu-satunya nabi yang mendapat perintah ‘aneh’ sekaligus ‘nyeleneh’ menurut standard akal sehat dan tradisi kemanusiaan pada saat itu, yakni berupa perintah untuk menyembelih putra kandungnya sendiri, Isma’il as. Misalnya diungkap dalam Qs. ash-Shaffat : 103-105 : “Maka ketika keduanya telah berserah diri (menjalankan perintah Allah) dan segera menyembelih Isma’il. Kami menyerunya “Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan perintah dalam mimpi. Demikianlah Kami membalas orang-orang yang berbuat kebaikan”.
Bagaimana Ibrahim as. merespon wahyu mimpi dan menyakini bahwa itu adalah perintah Allah Swt., yang tidak ada komplain sedikitpun. Beliau menjalankan perintah Allah Swt. tanpa terlebih dahulu harus mempertanyakan maksud, makna dan hikmah dari setiap perintah-Nya. Sebab, pesan nilai yang tertinggi dari sebuah kesabaran adalah tawakkal, yakni penyerahan diri secara totalitas pada perintah, kehendak dan ketentuan Allah Swt. Dari sejarah keteladanan Nabi Ibrahim as. inilah ibadah qurban disyari’atkan; dan dengan dasar ikhlash, syukur dan sabar seperti yang telah beliau contohkan ini pula-lah ibadah qurban harus dilaksanakan.
Ibadah qurban sebagaimana juga ibadah-ibadah yang lain yang dimotivasi selain dari dan untuk ketaatan pada Allah Swt. hanya akan berujung kesia-siaan. “Allah sekali-sekali tidak menilai-mu dari daging dan darah hewan yang dikurbankan, tapi motivasi ketaatan, keikhlasan dan ketulusan bathin sebagai refleksi ketaqwaan, itulah yang semata-mata menjadi dasar kualitas-mu dalam pandangan Allah Swt.” Begitu diungkapkan dalam Qs. al-Hajj : 37. Meneladani Nabi Ibrahim as. menginspirasi untuk menjadi pribadi muslim yang tangguh dengan nilai-nilai spiritualitas yang tinggi, khususnya dalam menghadapi berbabagai problematika dan dinamika kehidupan. Wallahu a’lam.***
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.