Pemilu 2024

Sistem Pemilu Pengaruhi Strategi Kampanye Pileg, Fatkur : Tandem Caleg Antar Tingkatan Masih Efektif

Sampai sekarang belum putus bagaimana sistem pemilu di 2024 yang akan datang. Apakah menggunakan sistem proporsional terbuka, ataupun tertutup

|
Penulis: Abdul Hafiz | Editor: bodok
SRIPOKU.COM/fiz
Direktur Wilayah Sumsel Public Trust Institute Fatkurohman SSos. 

SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Menyimak terkait pemilu legislatif tentunya yang perlu digarisbawahi adalah sistem pemilu apa yang mau dianut itu yang harus kita pahami terlebih dahulu sebelum kita mengacu kepada bagaimana strategi kampanye di Pileg 2024.

Sampai sekarang belum putus bagaimana sistem Pemilu 2024 yang akan datang. Apakah menggunakan sistem proporsional terbuka, ataupun tertutup, ataupun semi tertutup. 

Di internal partai juga banyak mengalami dinamika. Dan beberapa waktu lalu juga sudah ada beberapa politisi internal partai besar yang ada di Kota Palembang yang sharing bertanya bagaimana sih bilangan pembagi pemilih (BPP) 30  persen. Dan juga bagaimana tentang Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). 

"Ini menandakan bahwa di internal partaipun saat ini masih menunggu bagaimana sistem Pemilu 2024 yang saat ini masih bergulir di Mahkamah Konstitusi," ungkap Direktur Wilayah Sumsel Public Trust Institute Fatkurohman SSos.

Dia mengatakan jika masih menggunakan sistem Pemilu terbuka dengan suara terbanyak seperti Pemilu 2019 lalu, tentunya strategi kolaborasi antar caleg semua tingkatan ini sangat penting dan juga termasuk bagaimana ini bisa menjangkau level yang paling bawah terutama untuk caleg DPR RI. 

Caleg DPR RI dan Provinsi tentu jangkauan wilayah sangat luas. Misalkan Sumsel 1 dan Sumsel 2 itu kan menjangkau hampir semua kabupaten/kota di Sumsel. Lima atau enam kabupaten/kota di Sumsel 1. Sedangkan sisanya di Sumsel 2.

Jika berjalan sendiri tidak mungkin untuk menjangkau seluruh konstituen atau masyarakat yang akan memilih tentunya bagaimana hal ini dapat dilakukan tentu dengan cara kolaborasi antar caleg di tingkatannya.

"Strategi kampanye intinya bagaimana calon-calon ini dapat menjangkau pemilih. Nah di pemilu 2019 ini sudah terjadi bagaimana caleg DPR RI berkolaborasi dengan caleg tingkat provinsi dan juga tingkat kabupaten/kota," ujar Bung FK.

Dia menjelaskan dari sisi cost (biaya) politik juga tentu lebih hemat dibandingkan dengan bekerja sendiri dalam satu tingkatan. Walaupun demikian, tentu ini juga perlu semacam pemetaan dalam berkolaborasi dan juga perlu ada komitmen tinggi. 

"Karena dalam beberapa kasus juga kolaborasi tidak efektif karena ternyata tidak ada komitmen antar caleg tingkatan yang melakukan kolaborasi ini. Bahkan ada beberapa caleg di tingkat kabupaten, Provinsi, yang sudah berkolaborasi dengan tingkat DPR RI, ternyata mengalami perpecahan dan pindah berkolaborasi dengan caleg lain," ujar Alumni FISIP Unsri ini.

Yang lebih unik diterangkan Bung FK, juga pernah terjadi di pemilu 2019, bagaimana caleg tingkat DPR RI berkolaborasi dengan caleg provinsi atau tingkat kabupaten/kota yang berbeda partai. 

"Nah ini menandakan  tidak ada komitmen yang kuat di internal partai terkait  dengan hal ini. Dan tentu dalam sisi ini menandakan bahwa bagaimana suara terbanyak itu menjadi salah satu tujuan dari caleg tersebut agar bisa terpilih. Tentunya yang dirugikan partai tersebut karena dengan kolaborasi yang lintas partai tentunya ada yang dikorbankan apakah partai A, ataukah partai B nantinya. Dan ini saya pikir menjadi catatan tersendiri bagaimana membangun kolaborasi yang kuat di internal partai itu sendiri," paparnya.

Dia juga mengatakan jika tetap menggunakan sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, kolaborasi caleg antar tingkatan masih sangat efektif baik DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terutama dalam menekan biaya kampanye.

Bagaimana kalau ini menggunakan sistem semi terbuka? Tentunya caleg-caleg yang punya modal besar yang  diuntungkan.

Misalkan dengan sistem BPP 30 persen artinya caleg dengan modal besar juga diuntungkan tentu punya kekuatan untuk mencapai target 30 persen.

Karena di sini bagi caleg yang memenuhi target angka yang sudah ditetapkan dalam pemilu misalkan 30 persen, secara otomatis akan terpilih jika partai sudah mendapatkan kursi.

Caleg tersebutlah yang menduduki kursi yang sudah diraih parpol. 

"Tapi kalau tidak mencapai 30 persen kembali ke suara nomor 1 dengan caleg nomor 1 yang diuntungkan di sini. Bila tidak ada caleg yang mencapai 30 persen maka akan  kembali ke nomor urut 1. Maka merebut caleg nomor urut 1 menjadi startegi politik yang pertama jika ingin menekan cost politik," ujar Sekjen IKA FISIP Unsri ini.

Lanjut dia, Nah kalau menggunakan sistem pemilu tertutup, tentunya kolaborasi antar caleg tidak begitu kental lagi.

Bahkan saya pikir tidak akan terjadi tapi bagaimana kolaborasi sistem partai di semua tingkatan misalnya partai yang mempersiapkan caleg di DPR RI, partai yang mempersiapkan caleg di provinsi, partai yang mempersiapkan caleg di kabupaten/kota.

Strategi politik perebutan ini bukan lagi di level pemilih, tetapi persaingan akan terjadi di level partai politik. Bagaimana caleg berlomba-lomba memperebutkan suara nomor urut 1 dan suara nomor urut 2. Ini kalau menggunakan sistem pemilu tertutup.

"Sehingga ketika nantinya sudah masuk dalam kampanye, yang bekerja bukan lagi caleg-caleg personal, tetapi sudah atas nama partai secara kelembagaan. Artinya partai yang nantinya mendapatkan kursi secara otomatis caleg nomor urut 1 yang berhak terlebih dahulu untuk duduk di legislatif," pungkas Fatkurohman. (fiz) 

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved