Ancaman Resesi Ekonomi Tidak Perlu Ditakuti Berlebihan
Ancaman resesi ekonomi kali ini lebih disebabkan karena bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem
Oleh: AMIDI
(Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Palembang dan Pengamat Ekonomi Sumsel)
SRIPOKU.COM -- SEBELUMNYA beberapa negara besar di dunia sudah terlebih dahulu merasakan resesi ekonomi akibat pandemi covid-19, seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Korea Selatan dan Singapura, karena pada saat itu kinerja ekonomi kuartal II - 2020 negara - negara besar tersebut terus menyusut dan menunjukan pertumbuhan minus. Kini resesi ekonomi tersebut akan mengancam kembali.
Berdasarkan informasi yang dapat dihimpun setidaknya ada beberapa negara yang akan terancam resesi ekonomi 2023 seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, China, Mongolia, dan Korea Selatan. Namun, ancaman resesi ekonomi tahun 2023 tersebut pun diperkirakan juga akan mengamcam Indonesia (CNN Indoensia, 06 Oktober 2022).
Memang dibandingkan dengan negara–negara besar di dunia tersebut, Indonesia juga dibayangi oleh ancaman penyakit ekonomi “resesi ekonomi” tersebut. Sebenarnya bagi Indonesia ancaman resesi ekonomi ini memang harus dicermati secara seksama, namun jangan pula terlalu dikhawatirkan, ,jangan ditakuti secara berlebihan, sekali lagi yang harus dilakukan adalah melakukan berbagai langkah antipasi kini dan ke depan.
Apalagi Indonesia memiliki perbedaan dengan negara lain, seperti Singapura. dalam mengejar laju pertumbuhan ekonomi-nya. Dalam tulisan saya sebelumnya, sudah saya sampaikan bahwa, Singapura dalam mengejar laju perekonominya bergantung pada perdagangan internasional, sementara Indonesia dalam mengejar laju pertumbuhan ekonominya sangat bergantung pada tingkat konsumsi, investasi dan eskpor. Hal ini sering dikemukakan oleh menteri Keuangan dalam menyikapi permasalahan pertumbuhan ekonomi yang melambat beberapa tahun belakangan ini.

Ancaman resesi ekonomi kali ini lebih disebabkan karena bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, maka dapat dipastikan dunia mengalami resesi di tahun 2023 ini, hal ini telah disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam keterangan pers APBN secara virtual (29/09/2022)
Resesi yang merupakan fenomena turunnya perekonomian dunia karena dipicu oleh inflasi atau memburuknya perekonomian suatu Negara dimana Produk Domestik Bruto (PDB) bernilai negatif yang menyebabkan peningkatan pengangguan tersebut, memang perlu diantisipasi dan disikapi secara seksama.
Apabila terjadi resesi, kita akan mengalami hambatan seperti menjual asset di harga terbaik akan sulit (harga asset akan jatuh). Sebab daya beli masyarakat sedang lesu saat itu. Kemudian jika melihat kondisi saat ini, resesi dipicu kenaikan suku bunga bank sentral yang memang sangat regresif. Sehingga menggerek suku bunga kredit yang membuat utang menjadi lebih mahal. Kemudian daya beli masyarakat yang menurun karena pendapatan berkurang tersebut akan beresiko meningkatkan kemiskinan. (CNBC, 30 September 2022).
Ancaman kemiskinan dan atau meningkatnya kembali angka kemiskinan akibat resesi ekonomi tersebut, harus benar-benar menjadi perhatian pihak yang berkompeten. Ancaman kemiskinan tidak hanya merupakan permasalahan ekonomi semata, karena akan berakumulasi menjadi permasalan sosial dan politik dan akan menciptakan instabilitas yang tak terkendalikan.
Langkah Antisipasi.
Bila resesi ekonomi melanda, maka akan mengganggu sumber pertumbuhan ekonomi. Dengan terganggunya sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut, yang ditandai akan terkoreksinya pertumbuhan , investasi dan ekspor harus diantisipasi dengan beberapa langkah. Upaya yang harus kita lakukan adalah setidaknya bagaimana mengantisipasi agar ke tiga sumber pertumbuhan tersebut dapat diperbaiki.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Konsumsi. Beberapa waktu yang lalu akibat pandemi, konsumsi mengalami penurunan, karena pendapatan turun, usaha macet, karyawan tidak sedikit yang kena PHK. Pengalaman tahun 2020 lalu, BPS mencatat , bahwa pada kuartal I - 2020, konsumsi tumbuh 2,83 persen sementara ekonomi tumbuh 2,97 persen.
Pada kuartal II - 2020, konsumsi terkoreksi minus 5,51 persen, ekonomi minus 5,32 persen. Memang kalau kita simak konsumsi rumah tangga pada saat ini mengalami pertumbuhan 5, 51 persen pada kwartal II tahun 2022 (databoks) . Namun tetap harus diwaspadai, jika pendapatan masyarakat akan mengalami penurunan ditengah ancaman resesi ekonomi tersebut.
Dikatakan oleh kepala BPS bahwa yang menyebabkan konsumsi rumah tangga terkontraksi adalah penjualan eceran yang mengalami kontraksi pada seluruh kelompok penjulan. Antara lain, makanan, minuman, dan tembakau. Lalu ada sandang,perlengkapan rumah tangga lainnya bahkan bahan bakar kendaraan, barang budaya dan rekreasi. (Kontan.co.id, 5/08/2020). Nah, faktor penyebab terkontraksinya konsumsi tersebut harus diwaspadai, bila terjadi resesi ekonomi. Berbagai langkah antisipasi agar konsumsi tetap bertahan dan cendrung meningkat harus benar-benar diperhatikan.
Untuk membangkitkan kontribusi sektor konsumsi ini, pemerintah harus dapat memberikan stimulus kepada dunia usaha (termasuk UMKM) berupa keringanan kredit, keringanan pajak dan stimulus fiskal termasuklah menopang konpensasi (gaji) pegawai / karyawan untuk beberapa waktu tertentu ke depan, seperti Presiden yang telah memberikan bantuan Rp. 600.000,- per bulan kepada pegawai / karyawan yang berpenghasilan Rp. 5.000.000,- ke bawah tersebut sebagai konvensasi kenaikan BBM harus dipertahankan terlebih dahulu.